Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Sapardi Djoko Damono, Dewi Lestari, dan Perahu Kertas

3 Agustus 2016   00:08 Diperbarui: 20 Juli 2020   07:14 3725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lebih dari 30 tahun saya mengenal SDD (Sapardi Djoko Damono). Seorang penyair kondang di negeri ini sekaligus mantan dosen saya di jaman kuliah dulu. 

Hubungan kami lumayan dekat. Pak Sapardi pernah membuat testimoni untuk salah satu buku saya yang berjudul Sex After Dugem. Sebaliknya, beberapa kali saya membuat musikalisasi untuk puisi dia. Di antaranya Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari, Maka pada Suatu Pagi Hari, Metamorfosis, dll.

Pak SDD seorang penyair yang sangat produktif. Ada banyak sekali puisinya yang saya suka. Pada kesempatan ini, saya ingin membahas salah satu puisinya yang berjudul Perahu Kertas. Bunyinya seperti di bawah ini:

PERAHU KERTAS

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.

“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. 

Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu.

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, "Nuh", katanya, “Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit”

Gila ya lompatan situasinya? Dari seorang anak kecil yang bermain perahu kertas, tiba-tiba tokoh itu berubah menjadi Nabi Nuh dengan perahu legendarisnya. Cuma seorang Sapardi yang bisa membuat lompatan sejauh itu tapi jumpingnya tetap terasa mulus tanpa ada kesan maksa.

Terus terang saya rada sulit memahami puisi ini. Beberapa teman saya di FSUI mengkategorikan puisi di atas sebagai puisi relijius. Ga tau bener atau enggak sih. Jangan-jangan kesimpulan itu cuma berdasarkan kata 'Nuh' doang. Hehehehe....

Sebetulnya, lompatan dalam puisi itu menurut saya kaitannya cukup erat. Sekarang mari kita hitung, ada berapa tokoh di dalam puisi itu? Tiga ya? Anak kecil, Nuh dan Si Orang Tua. Kalo kita baca bait terakhir, kita bisa menyimpulkan bahwa anak kecil dan Nuh adalah orang yang sama. Jadi tokohnya tinggal 2 orang. Setuju ga?

Lalu siapa orang tua itu? Hanya orang yang lebih tua yang bisa memanggil Nuh dengan nama kecilnya saja. Hanya orang yang begitu berkuasa yang mampu menggunakan perahunya Nuh tanpa seizin dan sepengetahuannya. Jadi, jika dilihat dari usia, kebijakan dan betapa powerfulnya tokoh ini, saya menyimpulkan Si Orang Tua adalah Tuhan.

Nabi Nuh memang kurang memahami mengapa Tuhan menyuruhnya membuat perahu. Namun, karena itu perintah Tuhan, maka dia melaksanakan tugas tersebut dengan ikhlas dan senang hati. 

Dia hanya meyakini bahwa apa yang disuruh oleh Tuhan pastinya membawa kebaikan. Oleh SDD, keikhlasan seorang Nabi Nuh direpresentasikan dengan kepolosan seorang kanak-kanak. Fuiiih...luar biasa ya? 

Tapi tunggu dulu! Terus terang, saya masih belom sreg sama pemahaman yang saya peroleh di atas. Rasanya kok masih dangkal banget? Ketika kembali membesuk SDD di rumah sakit, saya iseng-iseng mendiskusikan puisi tersebut dengan penyairnya. 

Satu hal yang perlu dicatat, jangan pernah bertanya kepada seorang penyair tentang makna puisi ciptaannya. Saya ga pernah berani menanyakan apa makna puisi tersebut. Sapardi paling marah kalo ditanya kayak gitu...

"Kalo saya bisa menceritakan sesuatu dengan cara lain, maka saya nggak akan bikin puisi. Saya membuat puisi karena itu satu-satunya cara untuk mengekspresikan pikiran saya," katanya ketus.

Lagi asik-asiknya berdiskusi, tiba-tiba saya teringat bahwa Dewi Lestari juga membuat buku dan film berjudul sama; Perahu Kertas. Ada seorang temen yang mencurigai kalo Dewi Lestari nyontek puisi begawan ini. 

Alhamdulillah saya bukan tipe orang yang suka sembarangan menuduh. Saya memang ga kenal sama Dewi Lestari, tapi kalo ngeliat dia di TV dan membaca buku-bukunya, saya meyakini bahwa dia seorang perempuan yang baik dan cerdas. Saya berharap suatu hari nanti bisa ketemu dia, berdiskusi dan bertukar buku.

"Pak SDD kenal sama Dewi Lestari?" tanya saya tanpa basa-basi.

"Dewi Lestari penyanyi dan penulis buku itu? Ya kenal dong," jawab SDD.

"Kenal di TV doang apa kenal deket," serang saya lagi.

"Kenal deket. Emang kenapa sih?" tanyanya lagi.

"Kalo kenal deket berarti Dewi tau dong puisi Bapak yang berjudul Perahu Kertas?"

"Seharusnya tau."

"Kalo tau, kok dia bikin buku judulnya Perahu Kertas juga?" tanya saya.

"Loh? Ya ga papa dong? Emangnya kenapa kalo judulnya sama?"

"Bapak sama sekali ga terganggu?"

"Kenapa terganggu? Emangnya kalo saya bikin judul 'Perahu Kertas' terus dua kata itu jadi milik saya? Ya nggak dong! Dewi atau siapa saja boleh bikin judul sama."

"Serius nih Pak? Yudhistira mau menuntut Ahmad Dani gara-gara bikin lagu berjudul Arjuna Mencari Cinta, loh, Pak?"

"Ngaco! Kalo saya sih gak ada masalah sama sekali," kata Penyair tersohor ini dengan nada yakin.

Novel Hujan Bulan Juni. (Foto: Dok. Pribadi)
Novel Hujan Bulan Juni. (Foto: Dok. Pribadi)
Begitulah SDD, dia ga pernah mau mikirin soal yang dia anggap remeh-temeh. Padahal, buat sebagian orang, bisa jadi hal itu adalah masalah yang sangat prinsip dan pantas dipermasalahkan. 

Pernah suatu kali saya menemukan sebuah buku kumpulan puisi terjemahan karya-karya Kahlil Gibran. Ada sebuah kejadian fatal, yaitu si pembuat buku memasukkan sebuah puisi SDD yang berjudul "Aku ingin" sebagai salah satu karya Gibran. 

Saya murka bukan main melihat hal itu. Tapi percaya ga? Waktu denger puisi ciptaannya yang berjudul "Aku Ingin" ditulis sebagai karangan Kahlil Gibran, SDD bukannya ngamuk eh dia malah tertawa terbahak-bahak seakan-akan itu adalah sesuatu yang lucu.

Namun, saya belom puas buat ngetes dosen saya ini. Waktu jaman kuliah kan dia ngetes saya terus, sekarang giliran saya ngetes dia. Saya lanjutin ngomong, “Pak SDD, tau ga saya sekarang lagi mau menulis buku kumpulan puisi.”

“Oh ya? Apa judulnya?” tanya Pak SDD.

“Hujan Bulan Juni,” kata saya dengan suara mantep.

“Huahahahahaha… boleh-boleh. Hahahahaha…,” Sastrawan ini malah ngakak loh.

“Serius gapapa, Pak?”

“Yak gapapa dong! Tapi harus lebih bagus dari buku yang punya saya ya? Kalo jelek ntar dikira saya yang bikin, saya yang repot.”

"Huahahahaha...." tawa kami berdua berderai-derai dan baru berhenti ketika seorang perawat masuk ke kamar untuk mengukur tensi bapak ini.

Jam dinding di rumah sakit ini kayaknya berdetak jauh lebih cepat daripada jam pada umumnya. Ga terasa tau-tau udah adzan magrib. Saya pun pamitan kepada Pak SDD mau balik ke kantor. 

Baru saja saya menghadap pergi siap melangkahkan kaki, sekonyong-konyong SDD manggil saya, “Bud!”

“Ya Pak,” sahut saya kembali menghampiri ranjang tempat tidur. “Kamu belom punya novel saya yang ini kan?” katanya sambil mengangsurkan sebuah buku.

“Weiiits… belom punya, Pak,” sahut saya kegirangan dapet buku dia lagi.

“Judulnya Hujan Bulan Juni. Sama dengan buku kumpulan puisi yang sedang kamu tulis,” katanya lagi sambil nyengir.

“Saaah… nyindir nih yeee! Saya kan tadi becanda, Pak,” jawab saya tersenyum.

“Nih! Buku ini buat kamu. Kamu tau ga? Buku ini akan difilmkan?”

“Oh yang kemaren Bapak ceritakan itu ya? Wah hebat! Insya Allah saya doain supaya sukses, Pak.”

“Dan kamu tau ga siapa yang akan memfilmkan novel saya ini?” tanya SDD dengan wajah misterius.

“Siapa, Pak?”

“Dewi Lestari,” kata SDD lagi dengan suara biasa tanpa tekanan.

Saya terdiam. Sapardi juga tidak mengatakan apa-apa lagi. Lalu saya pun pamit, sekali lagi, dan mencium tangannya 

Semoga cepet sembuh ya Pak SDD. Semoga bisa segera berkarya lagi. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun