Melanjutkan tulisan sebelumnya Definisi Periwayatan Hadis, pada artikel kali ini akan dibahas mengenai bentuk-bentuk periwayatan hadis. Ada dua bentuk periwayatan yakni periwayatan dengan lafaz (riwayah bil lafzi) dan periwayatan dengan makna (riwayah bil ma'na).
Riwayat dengan Lafadz
Periwayatan hadis dengan lafaz, maksudnya periwayatan hadis seorang perawi sesuai dengan lafaz (redaksi) yang dia terima dari orang yang menyampaikan hadis kepadanya, tanpa ada modifikasi sedikitpun. Periwayatan dengan cara ini menurut kesepakatan para ulama adalah cara periwayatan yang paling baik dan paling tinggi nilainya. Karena cara tersebut lebih menjamin kemurnian dan keutuhan makna hadis.
Hadis Nabi yang kemungkinkan diriwayatkan dengan lafaz oleh para sahabat sebagai saksi pertama, hanya hadis qauliyah, yakni hadis-hadis berupa ucapan Nabi. Adapun hadis-hadis fi'liyah dan taqrriyah kemungkinan besar hanya bisa diriwayatkan secara makna, sedangkan redaksinya diungkapkan oleh sahabat yang meriwayatkannya sesuai kadar pemahamannya. Begitu pula hadis yang berbentuk qauliyah juga tidak semuanya bisa diriwayatkan dengan lafaz. Penyebab sulitnya periwayatan secara lafaz bukan hanya karena tidak mungkin seluruh sabda Nabi itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan dan kecerdasan para sahabat Nabi berbeda-beda.[1]
Meski mustahil seluruh sabda Nabi bisa dihafal, tetapi tidak berarti bahwa tidak ada sabda Nabi yang berhasil dihafal oleh para sahabat dan kemudian diriwayatkan secara harfiah. Contoh sahabat Nabi yang bersungguh-sungguh menghafal hadis Nabi secara lafaz adalah Abdullah ibn Umar ibn Khattab. Hal ini mengisyaratkan adanya sabda Nabi yang diriwayatkan secara lafaz.[2]
Perlu diketahui beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa para sahabat dapat menghafal dan meriwayatkan sabda Nabi secara harfiah, sebagai berikut:[3]
Nabi begitu fasih ketika berbicara dan beliau selalu berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa (dialek), kemampuan intelektual dan latar belakang budaya pendengarnya.
Tak jarang Nabi menyampaikan sabda tertentu dengan mengulang hingga dua atau tiga kali sebagai penegasan.
Ada banyak sabda Nabi yang disampaikan dalam berbentuk jawmi' al-kalim (ungkapan yang pendek redaksinya tetapi sarat makna).
Di antara sabda Nabi yang disampaikan, ada yang berbentuk lantunan doa, ungkapan zikir dan bacaan tertentu dalam ibadah.
Orang-orang Arab telah dikenal sejak dahulu sampai sekarang sangat kuat hafalannya.
Riwayat dengan Makna
Adapun periwayatan dengan makna adalah periwayatan yang hanya berdasarkan makna dari sebuah teks tanpa mengubah kandungannya; atau meriwayatkan hadis dengan maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan.
Dengan kata lain, apa yang disabdakan oleh Nabi Saw. hanya dipahami maksudnya saja, lalu para sahabat menyampaikannya dengan lafaz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini disebabkan para sahabat berbeda daya ingatannya satu sama lain, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Selain itu, kemungkinan masa terjadinya sudah lama, sehingga yang masih diingat hanya maksudnya saja, sementara lafaz yang persis diucapkan Nabi sudah tidak lagi diingat. Penukilan atau periwayatan hadis secara makna ini hanya boleh dilakukan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi.
Adapun faktor penyebab adanya riwyah bi al-ma'n adalah:[4]
Sebagai hadis Nabi diriwayatkan secara mutawatir lafzi, berbeda dengan periwayatan Al-Qur'an yang keseluruhannya secara mutawatir lafzi.
Pada masa Nabi sampai masa sahabat, hadis Nabi belum berbentuk buku bahkan pada awalnya para sahabat tidak menulis hadis kecuali sahabat-sahabat tertentu, sedangkan pada waktu itu periwayatan hadis hanya secara lisan.
Adanya perbedaan kemampuan para sahabat dalam menghafal dan meriwayatkan hadis Nabi.
Hanya hadis yang berbentuk sabda saja yang mungkin diriwayatkan secara tekstual, padahal hadis beragam bentuknya, bisa berupa sabda, perbuatan, taqrr, hal atau ihwal Nabi.
---
Referensi :
1. M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) h. 68.
2. M. Sayuthi Ali. "Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna," Jurnal Al Qalam UIN Banten 59 (1996), h. 22-23. [Lihat juga Muhammad Ajjaj Al-Khatib. Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 126-128].
3. M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, h. 69-70
4. Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad. Studi Hadis (Depok: Rajawali Pers, 2019), h. 75.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H