Mohon tunggu...
Budi Hikmat
Budi Hikmat Mohon Tunggu... profesional -

Menulis itu seperti menghembuskan nafas, setelah sebelumnya menghirup nafas melalui membaca. Menulis untuk bersyukur...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Merevisi Sudut Pandang: Kejatuhan Rupiah sebagai Obat

27 Agustus 2013   13:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:45 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencegah Krisis 1998 Terulang Tekanan jual yang dialami oleh pasar modal dan nilai tukar di India dan Indonesia dilandasi kecemasan investor terhadap melebarnya defisit anggaran dan neraca pembayaran. Mencermati melebarnya Net Foreign Asset perbankan selama dua tahun terakhir, nampaknya kita harus menerima pelemahan rupiah sebagai upaya untuk meredam defisit sekaligus obat untuk mencegah malapetaka yang lebih besar: Berulangnya krisis 1998! Mengegah Indonesia Jadi The Next India Defisit fiskal dan neraca berjalan Indonesia memang belum seburuk India. Inilah yang melandasi mengapa kejatuhan pasar modal dan nilai tukar Indonesia seolah “lebih ringan” ketimbang India. Sehingga sangat penting bagi pemerintah untuk berani mengambil tindakan efektif agar Indonesia tidak menjadi the next India. Defisit harus dikendalikan mengingat sumber pembiayaan defisit pasti ada batasnya. Kita tidak dapat terus menumpuk utang apalagi untuk membiayai pengeluaran yang tidak meningkatkan kapasitas produktif. Kita juga menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam menarik investor asing baik dalam investasi fisikal maupun keuangan untuk pembiayaan defisit. Selain merupakan konsekuensi mempertahankan subsidi BBM, defisit neraca berjalan triwulan kedua 2013 diperburuk oleh kecenderungan membesarnya defisit neraca pendapatan (income account). Sebaiknya pemerintah mengevaluasi sekaligus mengantisipasi kecenderungan ini yang menandakan menurunnya tingkat keuntungan berinvestasi di Indonesia. Kita juga tidak dapat hanya menyalahkan menurunnya surplus non-migas akibat belum pulihnya ekonomi global. Seperti yang telah dilakukan oleh negara pesaing, pemerintah dituntut meningkatkan daya saing ekspor terutama perombakan infrastruktur dan kualitas SDM. Mencegah Pemicu Krisis 1998 Selain krisis politik, krisis 1998 semula adalah krisis nilai tukar yang kemudian memburuk menjadi krisis perbankan. Krisis nilai tukar ditandai dengan pelemahan drastis kurs yang menyebabkan bank sentral harus mengintervensi sehingga menguras cadangan devisa. Seperti yang terjadi saat ini, krisis nilai tukar disebabkan oleh berkurangnya arus modal asing untuk membiayai defisit berjalan. Umumnya krisis nilai tukar seperti ini dapat disembuhkan setelah nilai tukar melemah drastis (dalam sistem nilai tukar tetap disebut devaluasi). Sebab pelemahan nilai tukar itu itu di satu sisi meredam pengeluaran konsumsi dan investasi termasuk untuk barang-barang impor (expenditure reducing). Pada sisi lain, pelemahan mata uang harus dimanfaatkan untuk memacu produksi barang yang dapat diekspor (resource switching). Tidak heran, bagi sebagian anggota masyarakat yang memproduksi barang perkebunan dan tambang yang banyak terdapat di luar Jawa, pelemahan rupiah membawa berkah. Krisis nilai tukar berisiko memicu krisis perbankan apabila neraca perbankan dan perusahaan tidak sepadan (mismatch): Berutang dollar jangka pendek untuk diinvestasikan rupiah dalam jangka panjang apalagi bila dollar dalam trend menguat. Pelemahan drastis rupiah menaikkan kewajiban utang dollar di dalam rupiah. Sementara nilai asset memburuk sejalan dengan kejatuhan ekonomi. Tantangan ekonomi semakin pelik bila yang berutang adalah bank. Sebab bank adalah lembaga intermediasi keuangan yang menyalurkan darah agar perekonomian dapat berjalan. Krisis neraca bank diringkas sebagai: Nothing left in the right dan nothing right in the left. Yang pertama, pelarian dana deposito yang menjadi kewajiban bank. Sementara yang kedua, penurunan kualitas asset perbankan atau lebih dikenal sebagai kredit macet (non-performing loan). Prof. Iwan Jaya Azis dalam diskusi terbatas bersama OJK mengindikasikan rumah tangga Korea Selatan menggunakan limpahan arus dana asing untuk pembelanjaan konsumsi. Pemerintah sangat disarankan untuk mewaspadai contagion effect dari krisis regional terutama bila the Fed memang memangkas stimulus. Salah satu saran adalah mengaktifkan protokoler krisis termasuk perjanjian bilateral swap dengan China, Jepang dan Korea. Kemungkinan besar dollar AS masih akan terus menguat selama ekonomi Eropa belum memanas dan ekonomi negara berkembang belum mendingin. Lalu bagaimana dengan Indonesia sendiri? Ternyata perbankan Indonesia juga mengalami gejala peningkatan penggunaan dana asing yang melandasi krisis 1998. Hal ini terlihat dalam peningkatan rasio net foreign asset terhadap total asset perbankan yang negative seperti terlihat pada peraga di bawah ini. Belajar dari pengalaman krisis 1998, sangat bisa jadi peningkatan utang itu terjadi karena rupiah “diatur” stabil terlalu lama. Arus dana asing mempertimbangkan selisih bunga dalam dan luar negeri serta risiko nilai tukar. Dari peraga di atas terlihat posisi NFA yang minus dibiarkan terlalu lama. Sementara saat itu trend dollar global menguat. Hal serupa sekarang telah terjadi. Lonjakan penciptaan dollar paska krisis 2008 melandasi arus modal masuk ke negara berkembang. Dana tersebut digunakan untuk pembiayaan defisit. Dapat kita saksikan negara yang mata uangnya paling anjlok adalah negara yang paling mengandalkan dana asing untuk pembiayaan defisit. Memang benar kita membutuhkan dana asing. Tantangan pemerintah dan Bank Indonesia sejak krisis 2008 adalah bagaimana memastikan dana tersebut produktif baik dalam artian mendorong ekonomi dan memadai untuk pembayaran utang itu sendiri. Pelemahan, bahkan volatilitas, rupiah diperlukan untuk memaksa perusahaan, pemerintah dan investor lebih berhati-hati dalam penggunaan utang luar negeri. Hanya perusahaan yang paling kuat yang berhak dan diapresiasi berutang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun