“Buntok itu berasal dari kata Buntu dan Mentok,‘‘ begitulah kata teman yang mengantar kami. Entahlah, apakah itu lelucon atau serius. Menurut teman yang memang lahir di Buntok tersebut, plesetan itu menggambarkan kondisi jalan ke Buntok. Buntu dan mentok, cuma sampai di kota itu saja. Buntok menjadi kota terakhir yang dapat dikunjungi dengan jalan darat yang menghubungkan Palangkaraya dengan ibukota Kabupaten Barito Selatan ini. Namun kini Buntok menjadi salah satu kota yang dilewati Trans Kalimantan yang membentang dari Palangkaraya menuju Banjarmasin lewat jalur memutar ke arah utara melalui kota Ampah yang masuk wilayah Kabupaten Barito Timur. Sebelum ada Trans Kalimantan via Buntok, kota Ampah yang masih masuk provinsi Kalimantan Tengah ini lebih lancar dijangkau dari Banjarmasin dengan jarak sekitar 350 km.
Pada tanggal 24 Maret 2013 Saya bersama dua orang teman mendarat jam 13.45 di bandara Tjilik Riwut. Kami bertiga mampir sebentar di kantor pusat koperasi kredit Betang Asi untuk bertemu tujuh orang teman lainnya yang sudah tiba dua hari sebelumnya di Palangkaraya. Sesuai rencana, Saya bersama 4 orang teman melanjutkan perjalanan ke koperasi kredit di kota Buntok, yakni CU Sumber Rejeki.
[caption id="attachment_235335" align="alignnone" width="602" caption="Bandara Tjilik Riwut (dokumentasi bhermana)"][/caption]
Kami berangkat menuju Buntok menjelang jam 5 sore. Perjalanan terasa mulus dan lancar sampai kami mampir makan malam di kota Timpah. Itu baru setengah perjalanan. Setelah menikmati hidangan ikan nila goreng, kami melanjutkan perjalanan saat malam makin kelam. Menjelang perbatasan Kabupaten Barito Selatan, kami mulai terguncang-guncang karena kondisi jalan mulai memburuk. Kami belum bisa melihat ruas jalan dengan jelas karena temaramnya malam. Ruas jalan hanya terlihat dengan sorotan lampu mobil. Silhuet hutan di kedua sisi jalan terlihat samar-samar di bawah sinar bulan yang beberapa hari lagi purnama. Kami pun sampai di Kota Buntok menjelang jam 10 malam.
Pagi-pagi Saya menyempatkan diri untuk menyusuri jalan di depan penginapan. Kedai-kedai makanan mulai buka. Anak sungai Barito makin beriak saat perahu motor melaju membawa seorang penduduk ke arah sungai Barito. Gehidupan Kota Buntok mulai menggeliat di atas sungai.
[caption id="attachment_235367" align="alignnone" width="601" caption="Mengais rejeki di atas sungai (dokumentasi bhermana)"]
[caption id="attachment_235337" align="alignnone" width="601" caption="Darmaga Pasar Lama Buntok"]
Setelah menikmati sarapan ketupat kandangan di kedai kecil di pinggir jalan, saya menyusuri jalan ke arah pelabuhan di pinggir sungai Barito. Namanya Dermaga Pasar Lama Buntok. Lalu lalang becak dan ojek pun berbaur dengan orang-orang yang bergegas ke pelabuhan. Angkutan sungai menjadi alternatif penduduk untuk mengunjungi kampung-kampung yang ada di pinggir Sungai. Beberapa kali terlihat tongkang berisi batubara ditarik kapal motor menuju hilir.
[caption id="attachment_235339" align="alignnone" width="598" caption="Tongkang batubara pun melaju (dokumentasi bhermana)"]
Jam 9 pagi kami sudah menuju kantor CU Sumber Rejeki yang menjadi salah satu pilar ekonomi kerakyatan yang tumbuh pesat di Kalimantan. Mereka benar-benar menjadi soko guru perekonomian lokal. Koperasi Kredit menjadi salah satu upaya nyata dari masyarakat daerah untuk mewujudkan motto kabupaten Barito Selatan yaitu Dahani Dahanai Tuntung Tulus (Selamat, sentosa, adil, dan Makmur selamanya). Selepas makan siang bersama di restoran yang menyajikan ikan sungat Barito, Saya siap-siap kembali ke Palangkaraya sendirian, ditemani Supir dari jasa travel tentunya. Tiga teman tinggal di Buntok untuk menuntaskan tugas sampai tanggal 28 Maret 2013. Sebelum mulai perjalanan ke Palangkaraya, Saya menyempatkan diri keliling kota sekilas untuk mendokumentasikan beberapa bangunan atau landmark kota Buntok untuk bahan video profil kota Buntok.
[caption id="attachment_235341" align="alignnone" width="601" caption="Kantor Bupati Barito Selatan"]