Di era informasi, web kampus bisa jadi etalase yang menarik bagi publik. Orang bisa rajin berkunjung dan berkerumun di sebuah situs perguruan tinggi karena kebermanfaatan isi atau layanannya. Seperti kata pepatah: “Ada gula ada semut”. Sebuah analogi sederhana untuk berbagai teori atau prinsip tentang pengayaan konten website. Pertanyaannya, bagaimana kampus bisa menyediakan “gula” itu dengan kadar yang pas?
Tips dan trik mengembangkan dan mengisi sebuah website perguruan tinggi menjadi topik diskusi hari ini (3/10/2012) di Jakarta. Acara dihadiri jajaran pimpinan sebuah perguruan tinggi swasta yang dikenal sebagai kampus reformasi. Saya mendapat kesempatan jadi penyaji kedua dari tiga narasumber yang diundang. Temanya mengenai strategi pengembangan sistem informasi akademik dan proses pembelajaran berbasis web.
Fungsi dan peran kampus – di antaranya sebagai pusat pengembangan IPTEKS – membuat strategi pengembangan konten web harus efektif dan efisien. Jangan sampai, apapun diunggah ke internet. Segalanya di-online-kan. Toh jargon di kalangan penggiatan teknologi informasi pun menyebutkan: “Garbage in Garbage out”. Walaupun secara teknis semua data atau informasi bisa di-web-kan, pengelola web kampus harus mempunyai kriteria dan alasan yang tepat ketika mengembangkan dan mengisi website.
Isi memang menjadi esensi dalam sebuah web. Content is King, kata Bill Gates. Namun kebermanfaatan isi tersebut dinilai oleh pengunjung, baik internal yaitu dosen, mahasiswa, maupun alumni, atau eksternal seperti perusahaan, pemerintah, atau masyarakat. Setiap pemangku kepentingan tersebut mempunyai kebutuhan informasi atau layanan yang berbeda. Jadi, kampus jangan hanya mengandalkan isi semata, namun konteks dan sasaran penikmat isi web pun perlu dipertimbangkan.
Popularitas web kampus tidak bisa dikejar dalam jangka pendek, misalnya berbagai tips dan trik sesaat atau jalan pintas. Web kampus akan banyak pengunjung dengan sendirinya jika konten atau layanan berbasis web memang dibutuhkan civitas oleh akademika, syukur-syukur oleh masyarakat juga. Salah satu strateginya adalah dengan mengintegrasikan TIK ke dalam proses pendidikan.
Bentuk konkritnya sangat banyak dan bervariasi, mulai yang sederhana seperti homepage pribadi dosen dan virtual-class, sampai ke akses informasi melalui mobile technology dengan dilengkapi sms gateway atau email gateway. Apapun jenis teknologi pembelajaran atau layanan informasi akademik yang digunakan, tantangannya adalah keberlanjutan dalam pemutakhiran konten atau kedisiplinan pengelola untuk mengoperasikan sistem tersebut sebagai salah satu media informasi atau layanan kampus.
Kehebatan teknologi atau sistem akan percuma jika sistem tersebut hanya sebagai asesoris atau sebatas upaya “ikut-ikutan” atau “gagah-gagahan” saja. Percuma ada homepage atau fasilitas blog jika dosen atau mahasiswa tidak menggunakannya. Virtual-class tidak akan efektif jika tidak diintegrasikan sebagai salah satu metoda yang tertuang dalam kurikulum dengan SAP atau GBPP-nya. Andaikan tercantum pun sistem tersebut tidak menjamin berhasil karena sisi manusiawi atau aspek pedagogik tidak bisa diambil alih begitu saja oleh oleh proses pembelajaran berbasis web.
Singkat kata, penerapan TIK di kampus terus berkembang, seolah tak terbatas. Namun keberhasilannya tergantung – satu di antaranya - pada tata kelola kampus, termasuk komitmen dari pimpinan dan partisipasi SDM atau satuan akademik dalam pemanfaatan TIK yang mendukung fungsi dan peran kampus. Disinilah kompleksitasnya, bukan kerumitan teknologinya yang masih bisa dipelajari dan dikuasai oleh dosen dan mahasiswa. Yang membuat rumit itu bukan teknologi pembelajaran, namun penggunanya. Setidaknya itu pendapat saya sih :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H