Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bagi-bagi Kavling Akreditasi

30 Agustus 2012   05:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:09 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, anggaran pelaksanaan akreditasi. Dalam Permendikbud menyebutkan bahwa  BAN mendapat pasokan anggaran dari pemerintah. Kalau tugas BAN hanya sebatas akreditasi institusi yang jumlahnya sebanyak 3000-an PT, penyediaan anggaran tersebut jelas masih dimungkinkan.

LAM memang tidak disebutkan dalam Permendikbud tentang BAN. Pemerintah mungkin akan membuat regulasi tersendiri yang mengacu ke UU DIKTI, termasuk sumber anggarannya.  Sebenarnya Dirjen DIKTI sempat membuat draft Permendikbud tentang LAM sebelum UU DIKTI disyahkan. Draft tersebut pasti diparkir dulu sementara untuk disempurnakan agar sesuai dengan UU DIKTI.

Soal anggaran jelas pelik, apalagi jika harus dibebankan kepada LAM, atau iuran dari PT. Para pihak yang berniat mendirikan LAM pun masih mikir-mikir kalau belum ada kejelasan soal sumber anggara. Kelihatannya, semua pihak lebih baik bersikap “wait and see“ saja sampai regulasi khusus tentang LAM terang-benderang terlebih dahulu.

Ketiga, integritas dan kompetensi asesor. Selain reliabilitas dan validitas sistem penilaian oleh BAN atau LAM, penilaian akhir ada pada para asesor yang berwenang memberikan nilai berdasarkan kisi-kisi yang telah ditetapkan dalam matrik penilaian akreditasi. Perbedaan persepsi antara Asesor dengan pengeloa PT atau program studi pun sering terjadi pada saat “wrap-up meeting”, yang tak jarang berujung pada debat keras, walau ujung-ujungnya pihak asesor atau BAN-PT ada pada posisi: “di atas angin”.

Jika mencermati panduan matriks penilaian yang disusun BAN-PT, masih ada ruang subyektifitas pada butir-butir yang bersifat kualitatif. Bahkan indikator yang bersifat kuantitatif pun kadang menjadi bahan perdebatan antara asesor dan pengelola PT atau program studi pada saat visitasi. Bukti-bukti fisik pun sering tidak cukup atau tidak diakui untuk menunjang butir-butir penilaian karena dianggap tidak lengkap atau tidak relevan.

Keempat, validitas data atau informasi yang disajikan atau disiapkan oleh PT atau program studi. Ada sinyalemen bahwa pihak PT sering melakukan praktek, yang menurut istilah di perbankan disebut "window dressing", atau membagus-baguskan laporan yang disajikan pada borang akreditasi. Memang perlu kejelian dan obyektifitas dari para asesor untuk mengurangi praktek-praktek tersebut. Jangan sampai, demi mengejar nilai tinggi, aspek integritas dilupakan.

Ada juga fenomena yang menarik dalam upaya mengejar nilai tinggi, yakni nilai 4 untuk setiap butir penilaian. Sarana dan prasarana pun disediakan dan dibenahi. Jika belum punya alat, maka dibelilah. Jika belum ada pedoman dan prosedur maka dibuatlah. Saat publikasi dosen masih rendah maka diberi insentif bagi yang berhasil publikasi. Jika rasio dosen kurang dari seharusnya maka direkrutlah dosen baru. Dan berbagai upaya lainnya sehingga yang tadinya tidak ada menjadi ada, yang tidak lengkap jadi lengkap, dan yang tadinya sedikit menjadi banyak. Intinya, segala upaya dilakukan oleh program studi agar terlihat cantik di mata asesor. Upaya pencapaian berbagai standar mutu menjadi imbas positif dari proses akreditasi.

Kelima, jumlah dan mutu LAM yang dikaitkan dengan jumlah dan keragaman program studi. Idealnya, LAM didirikan – selain oleh pakar yang tahu persis proses pendidikan - oleh himpunan profesi yang tentu memahami keilmuan dan perkembangan profesi yang relevan dengan bidang studi yang diberikan di program studi.

Namun melihat jumlah dan banyaknya jenis program studi, kapasitas LAM menghadapi persoalan yang sama, yakni: apakah jumlah LAM bisa mengakreditasi semua program studi di Indonesia? Mengacu ke UU DIKTI pasal 55 Ayat (7): “Lembaga akreditasi mandiri dibentuk berdasarkan rumpun ilmu dan/atau cabang ilmu serta dapat berdasarkan kewilayahan.” Berikut rincian jumlah program studi menurut Surat Edaran Dirjen DIKTI Nomor 1061/E/T/2012.

[caption id="attachment_196048" align="alignnone" width="562" caption="Distribusi program studi (sumber data: Surat Edaran Dirjen DIKTI No.1061/E/T/2012) "]

13463031511527660753
13463031511527660753
[/caption]

Mengejar target jumlah program studi yang bisa diakreditasi masih bisa diupayakan walaupun perlu jumlah asesor dan anggaran yang tidak sedikit. Namun, tantangan yang sesungguhnya adalah apakah proses akreditasi bisa meningkatkan mutu perguruan tinggi di Indonesia? Secara konseptual memang diarahkan ke sana. Semoga saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun