Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saat Universitas Jadi Komoditas, Siapa (B)untung?

10 Juli 2012   12:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:06 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalangan yang menolak RUU Pendidikan Tinggi mempunyai berbagai alasan. Dua di antaranya adalah kekhawatiran terhadap komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Kedua isu panas tersebut menunjukkan sektor pendidikan sudah seperti sektor perekomian yang takarannya adalah untung atau rugi, serta barang murah atau mahal. Kapitalisme pun merambah sektor pendidikan. Kampus layaknya menjual barang ekonomi yang harus dibeli oleh calon mahasiswa yang menjadi konsumennya. Teori atau prinsip ekonomi pasar pun berlaku.

Mahalnya biaya pendidikan tinggi terasa ironis. Bukankah pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% seperti tercantum dalam UU Sisdiknas? Jika pemerintah menyediakan subsidi biaya operasional, termasuk menanggung gaji guru dan dosen, mengapa biaya pendidikan malah terus meningkat. Bahkan, dengan sembunyi-sembunyi, malu-malu atau terang-terangan, beberapa kampus memungut biaya-biaya tambahan kepada mahasiswanya. Kampus pun dituduh bak mesin pencetak uang yang menguras uang rakyat.

Dari perspektif ekonomi, pendidikan bisa pandang sebagai barang atau jasa. Kita kesampingkan dahulu peran pemerintah dalam menyediakan pendidikan gratis atau murah bagi sebagian masyarakat yang tidak mampu. Sebagai jasa, pendidikan bisa dianggap barang ekonomi yang tentunya mempunyai harga. Bukan barang bebas yang  bisa dikonsumsi oleh setiap orang. Dari perspektif proses produksinya, harga tersebut terbentuk dari seberapa banyak biaya yang harus dikeluarkan kampus untuk memproduksi jasa pendidikan secara layak.

Biaya pendidikan menjadi keniscayaan karena tidak ada sarana dan prasarana gratis. Kita kesampingkan dahulu adanya sinterklas  yang bersedia menyumbang sarana dan prasarana, atau pendidik yang rela tidak dibayar saat mengajar.  Saat ini pun, begitu banyak biaya yang dialokasikan untuk dosen, terlepas dari perbedaan standar gaji atau distribusi pendapatan yang tidak merata antar kampus.

[caption id="attachment_187150" align="alignnone" width="600" caption="Potensi anggaran bagi dosen berupa proyek, hibah, insentif, dan pos-pos anggaran lainnya (sumber: web DIKTI)"][/caption]

Pertanyaannya, adakah standar biaya penyelenggaraan pendidikan, yang dalam konteks produksi, perlu mempertimbangkan efisiensi agar biaya penyelenggaran pendidikan bisa ditekan? Kita tunda jawabannya karena standar biaya sangat tergantung kelengkapan sarana dan prasarana yang ada di setiap kampus, termasuk gedung dengan segala isinya, pun sumber daya manusianya, terutama dosen yang menjadi kini sudah menjadi profesi.

Efisiensi kadang terlupakan ketika pasar tetap bisa menyerap jasa pendidikan, apalagi konsumen berbondong-bondong ingin masuk ke perguruan tinggi. Hukum pasar pun dieksploitasi. Makin laku makin jual mahal. Efisiensi telah mati ketika pasar pendidikan cenderung kelebihan permintaan. Tidak heran jika calon mahasiswa masih berjubel, saling bersaing, dan akhirnya ada yang gagal masuk ke perguruan tinggi. Kampus pun berada di atas angin.  Bisa mendikte pasar dengan asumsi ketiadaan intervensi pemerintah.

Siapa yang Nombok?

Sekarang anggap saja kampus dibebani dengan total biaya pendidikan. Biar tidak merugi, biaya penyelenggaran pendidikan tersebut harus bisa tertutup dari pemasukan. Lalu darimana sumber pemasukannya?

Pertama, sebagian biaya tersebut ditutup dari anggaran pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Opsi ini berlaku untuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, misalnya PTN. Persoalan lainnya adalah apakah subsidi dari pemerintah tersebut mencukupi untuk seluruh biaya? Jika Ya maka opsi inilah yang paling ideal. Pendidikan pun bisa digratiskan. Jika tidak, darimana pihak kampus  bisa menutup defisit tersebut. Posisi pemerintah pun jadi dilematis ketika pasokan anggaran dari pemerintah tidak bisa menutup seluruh biaya pendidikan.

Ketidakberdayaan pemerintah dalam melarang praktek pungutan biaya tambahan yang dibebankan kepada calon mahasiswa bisa berujung pada kurangnya wibawa pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan. Harga pendidikan pun akhirnya beragam antar kampus. Ada yang mahal, moderat, namun jarang yang murah. Peran pemerintah hanya sebatas pemberian beasiswa kepada masyarakat miskin. Itupun tidak semua masyarakat miskin bisa mudah masuk kampus, dan golongan menengah menjadi korban mahalnya biaya pendidikan. Soal kalangan atas, biarlah kita kesampingkan dahulu. Toh, mereka pun mungkin punya pilihan menyekolahkan anaknya ke luar negeri.

Kedua, kampus bisa membuat jasa lain dengan menjual kepakarannya, namun bukan menjual ke mahasiswa yang sudah dibebani biaya pendidikan. Revenue generating program bisa menjadi pilihan, misalnya dengan jasa konsultan atau penerapan hasil riset dan pengembangan yang bernilai komersial. Kendalanya, seberapa banyak dosen atau kampus yang mampu dan mumpuni untuk menerapkan program ideal ini?

Opsi lainnya – seperti yang tertuang dalam RUU PT- adalah pembentukan badan usaha yang dikelola oleh kampus, misalnya mendirikan warung kopi atau toko buku, bahkan mall atau gedung perkantoran. Tantangannya, masih sempat dan mampukah manajemen kampus menjadi pemilik yang handal dalam mengawasi unit bisnisnya? Jika berhasil, keuntungan dari unit bisnis tersebut bisa menjadi setoran pemasukan yang bisa mengurangi beban mahasiswa. Rasanya kampus belum mempunyai kultur bisnis yang mumpuni. Atau jangan-jangan, kampus malah getol nyari untung melalui unit bisnis. Lupa dengan tugas utamanya sebagai pusat pengembangan IPTEKS. Yang lebih parah lagi, keuntungan bisnis tersebut tidak dialokasikan untuk subsidi anggaran pendidikan agar mahasiswa bisa membayar lebih murah.

Mengelola bisnis tidaklah mudah. Pakar atau guru besar di kampus pun belum tentu piawai dalam soal ini. Tentu kita masih ingat tentang pertentangan dikotomi klasik: Akademisi versus Praktisi.  Jika kampus hanya setor modal untuk unit bisnis tersebut, tidak ada jaminan bahwa unit bisnis tersebut akan sukses. Skenario terburuk adalah unit bisnis merugi. Investasi kampus pun bisa terbuang percuma. Alih-alih mengharapkan tambahan pemasukan untuk mensubsidi anggaran pendidikan, investasi dari kampus malah amblas. Bagaimana pertanggungjawabannya jika skenario terburuk tersebut terjadi?

Skenario sebaliknya, pengelola unit bisnis bisa mengeruk untung besar, dan sebagian besar labanya disetor ke kampus untuk mensubsidi anggaran pendidikan. Defisit anggaran bisa ditekan. Kondisi idealnya adalah porsi pemasukan dari mahasiswa menjadi lebih kecil. Akhirnya biaya pendidikan pun lebih murah. Mungkinkah skenario ini terjadi di Indonesia? Jangan-jangan, unit bisnis merugi, dan beban kerugiannya ditimpakan ke mahasiswa, atau minta talangan dari pemerintah yang notabene uang rakyat.

Ketiga, dana abadi yang terakumulasi dari sumbangan para pemangku kepentingan yang peduli dengan pendidikan. Saking besarnya dana abadi tersebut, bunganya saja bisa menutup total biaya pendidikan. Apalagi jika dana abadi tersebut terus bertambah tanpa menadahkan tangan ke pemerintah, yang dari sisi anggaran pasti terbatas.

Selama ini, anggaran pemerintah habis terserap untuk biaya operasional tahunan, atau kegiatan investasi sarana atau prasarana baru. Keberlanjutan pasokan anggaran dari pemerintah pun kadang tergantung keputusan politik, termasuk alokasi jenis anggaran pendidikannya. Sumber pemasukan dari dana abadi memang masih langka di Indonesia, termasuk penyediaannya oleh pihak pemerintah. Opsi ini masih belum bisa diharapkan untuk menutup anggaran pendidikan agar biaya yang dibebankan kepada masyarakat lebih rendah.

Keempat, opsi terakhir yang paling gampang adalah mengeruk pemasukan dari calon mahasiswa. Gampang dan besar hasilnya. Dari persepktif ekonomi, calon mahasiswa (berikut orang tua atau walinya) bak konsumen yang harus membeli produk atau jasa yang ditawarkan kampus. Ada harga ada barang. Begitulah. Prinsip ekonomi yang sangat sederhana. Toh, selalu ada segmen pasar yang berani membayar mahal untuk memperoleh gelar. Bukankah prilaku konsumen (pendidikan) pun beragam?

Murah atau mahal pun akhirnya sangat relatif. Namun opsi ini sangat menarik untuk ditelisik lebih lanjut. Pemborosan atau ketidakefisienan penggunaan anggaran akhirnya menjadi beban calon mahasiswa. Semakin boros dan tidak efisien, semakin besar biaya pendidikan yang harus ditanggung calon mahasiswa.

Kapan Balik Modalnya?

[caption id="attachment_187149" align="aligncenter" width="454" caption="Berapa tahun lulusan bisa mengembalikan investasi yang dikeluarkannya saat kuliah? (sumber: Maureen Woodhall)"]

1341921970106619535
1341921970106619535
[/caption]

Pendidikan saat ini dikenal sebagai bentuk investasi dalam pengembangan modal sumber daya manusia yang menghasilkan manfaat ekonomi, serta memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan negara di masa depan melalui peningkatan kapasitas produktif dari masyarakat. Namun salah satu pertanyaan dari Maureen Woodhall adalah “Is education a profitable form of investment for the individual as well as for society?”.

Pertanyaan tersebut terkait dengan analisis biaya dan manfaat dari pendidikan. Nah di sinilah rumitnya karena konsep biaya dan manfaat dari pendidikan relatif sulit diukur, setidaknya tidak semudah barang dan jasa lainnya yang lebih berwujud.

Biaya pendikan dari perspektif calon mahasiswa bisa mencakup biaya sosial seperti gaji dosen, pembayaran buku, atau biaya untuk layanan yang diberikan kampus, termasuk segala sarana dan prasarananya. Sedangkan biaya pribadi meliputi biaya hidup selama menjadi mahasiswa. Bahkan biaya pendidikan tersebut mengandung konsep opportunity cost. Misalnya, berapa kerugian seorang mahasiswa karena memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi daripada bekerja?

Jika memutuskan masuk kampus dan rela (atau terpaksa) membayar biaya pendidikan yang dianggap sebagai investasi mahal, masihkah mahasiswa berharap balik modal? Salah satu jawabannya berkenaan dengan manfaat pendidikan.

Selain manfaat ekonomi, pendidikan pun bisa menghasilkan manfaat non-ekonomi, termasuk manfaat sosial dan budaya. Lebih rumitnya lagi, manfaat non-ekonomi tersebut bisa berbeda antara manfaat individu dengan manfaat publik atau negara. OECD dan Unesco pun –dalam publikasi berjudul: “Financing Education-Investments and Returns“ – menyatakan: “Educational outcomes also extend beyond individual and national income. Education is a force that develops well-rounded and engaged citizens, and builds more cohesive and participatory societies”.

Namun, tidak mudah mengkonversi manfaat non-ekonomi tersebut menjadi nilai uang agar bisa disandingkan dengan biaya pendidikan berupa sejumlah uang yang telah dibayar oleh mahasiswa. Sebenarnya rumusnya sederhana saja untuk menilai apakah masuk ke kampus itu menguntungkan atau tidak? Jika manfaat pendidikan – baik manfaat ekonomi dan non-ekonomi- lebih besar dari biaya yang telah dikeluarkan mahasiswa atau orang tua, maka masuk ke perguruan tinggi adalah investasi yang menguntungkan.

Jadi walaupun telah membayar mahal, jika manfaat setelah lulusnya lebih besar, misalnya gaji tinggi, maka – untuk sebagian orang - mahalnya biasa pendidikan tidak dipersoalkan. Namun jika sudah mahal, ternyata malah menjadi pengangguran dan beban keluarga, maka buat apa kita memaksakan diri masuk ke perguruan tinggi?

---ooOoo---

Tidak ada jaminan barang mahal itu berkualitas. Kalau toh barang tersebut tetap laku, mungkin ada alasan lain konsumen untuk tetap membelinya. Bisa jadi motif membelinya adalah gaya hidup, gengsi, atau sekedar menambah kepuasan semata, misal dengan gelar di atas kertas. Jika sektor pendidikan sudah dibiarkan seperti itu, pendidikan di Indonesia sudah memasuki era industri pendidikan. Apapun pilihannya, semoga tujuan dan makna pendikan tidak terabaikan. Dan pilihan itu ada di tangan masyarakat juga.

Catatan:

Untuk teman-teman yang tertarik dengan analisis biaya dan manfaat pendidikan, silakan dibaca “Cost-Benefit Analysis in Educational Planning” karangan Maureen Woodhall yang diterbitkan oleh Unesco tahun 2004.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun