Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Opera(n) Sepakbola

10 Juni 2012   14:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:09 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Football is the opera of the people”, ujar Stafford Heginbotham, mantan pemilik klub Braddford City Inggris; Michel Platini – mantan pemain yang kini jadi boss hajatan Piala Eropa – membantahnya: “For me, football is just a game, not a drama”. Perdebatan, perseteruan, bahkan baku hantam sudah biasa di sepakbola. Setuju atau tidak setuju, sepakbola kini menjadi tontonan utama yang membius semua penggemarnya. Toh Lesley Garret pun berkata: ”Opera is credible drama now, and it costs less than going to a football match. What have you got to lose?

Hasrat, Asa, Putus Asa

Permainan sepakbola sebenarnya gitu-gitu saja, namun aktor panggungnya silih berganti. Darrel Royal – pelatih American football - pun berkata: “You know, a football coach is nothing more than a teacher. You teach them the same subject, and you have a group of new guys every year”. Wah, jika guru beneran mengajar saat jadwal pertandingan sepakbola, bisa jadi sebagian besar siswanya mangkir belajar. Art Modell – pemilik National Foot Ball-  pun berkata: “The pride and presence of a professional football team is far more important than 30 libraries”.

Sepakbola layaknya hasrat, bahkan masyarakat Brazil menganggapnya sebagai agama kedua. “It is very important that football can see beyond religion but FIFA does not just ignore its impact”, kata dedengkot FIFA Sepp Blatter. Ya, dampak permainan 22 orang tersebut memang luar biasa. “Football is an incredible game. Sometimes it's so incredible, it's unbelievable”, ujar Tom Landry, seorang pelatih berkebangsaan Amerika.

Football will always be my foremost passion”, kata David Ginola – mantan Newcastle, Villa, Hotpsur, dan Everton - yang sempet beraksi juga di cat walk.  Tidak aneh banyak yang berganti warga negara, naturalisasi, bahkan hijrah demi mengais rezeki. “I need to go play football. I don't care about anything else”, kata Freddy Adu, sempat disebut The Next Pele kelahiran Ghana namu meredup dan kini memperkuat timnas AS. Cristiano Ronaldo – Sang kapten Portugal yang kemarin (10/6/2012) bertekuk lutut sama Jerman- pun berkata: “Without football, my life is worth nothing”.

Arena sepakbola kadang menghadirkan drama. Ada frustasi dan kecewa. Ada klimaks dan anti klimaknya dibungkus rasa pilu. Seperti retorikanya salah satu legendary Arsenal Thierry Henry: ”In football you always get judged on your last game. Whoever you are, or how amazing you are, it's the last game that everyone has seen”. Atau frustasinya Gary Lineker – mantan punggawa dari Three Lion yang mengakhiri karir di Jepang- yang berujar: “Football is a simple game. Twenty-two men chase a ball for 90 minutes and at the end, the Germans always win”. Jerman dan Inggris memang selalu memanas, seolah meneruskan perseteruan masa lalu.

Trik, Intrik, Politik

Permaian yang kelihatan sederhana itu membuat semua orang terpesona. “The rules of soccer are very simple, basically it is this:  if it moves, kick it.  If it doesn't move, kick it until it does”, kata Phil Woosnam, pemain Wales yang pernah main di Aston Villa dan Pelatih American Soccer (bukan American football). Namun, selalu terbersit keindahan dan kekuratan yang membuat orang terpana, seperti kata mantan pemain American football Knute Rockne: “The essence of football was blocking, tackling, and execution based on timing, rhythm and deception”.

Hasrat kuat menjadi pemenang menjadi energy luar biasa bagi pelaku sepakbola. Penguasaan bola memang penting, namun bukan menjamin jadi penguasa atau pemenangnya. Kadang segala trik dan intrik pun dilakukan, yang kadang mencederai peraturan dan semangat fair play. Tak jarang mengenyampingkan apa yang dikatakan mantan pemain dan pelatih American football Hayden Fry: “In football, like in life, you must learn to play within the rules of the game”. Ya, sepakbola disamakan seperti kehidupan. “Football is like life - it requires perseverance, self-denial, hard work, sacrifice, dedication and respect for authority”, kata Vince Lombardi, pelatih American football.

Trik dan intrik bukan hanya sebatas sepakbola, namun juga ranah politik. Para elite politik pun dilenda demam sepakbola, terlepas dari motifnya: apakah memang gemar, atau sekedar numpang tenar saja. Saat ini mereka mungkin rajin menonton, siapa tahu diwawancara mengenai pemain atau negara favoritnya. Dunia politik pun bisa dianalogikan dengan sepakbola, seperti John F. Kennedy pernah berkata: “Politics is like football; if you see daylight, go through the hole”.

Bak permainan sepakbola, saling tebas dan berkelit, menyerang lawan dan serangan balik pun seolah tersaji di dunia politik. Utak-atik ala Tiki-Takanya Spanyol atau akrobatik jogo bonitonya Brazil seolah menemukan padanannya di dunia Politik. Pemimpin sekelas Kanselir Jerman Angela Merkel pun berujar tentang timnas dan dunia politik: “In the German football team players from different clubs need to get on with each other both on and off the pitch. In the grand coalition Christian Democrats and Social Democrats sit in the same boat and need to pull in the same direction.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun