Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Saat Dirjen DIKTI Tanggapi Kontroversi Publikasi

8 Maret 2012   16:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:21 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seandainya ada gelar tokoh terpopuler di dunia kampus, mungkin Dirjen DIKTI Djoko Santoso patut menyandangnya di awal tahun ini. Beberapa kebijakannya menyedot perhatian dunia kampus, termasuk pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut, misalnya kebijakan unggah karya ilmiah dosen dan mahasiswa, serta yang paling terkini: kewajiban membuat makalah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan sarjana, magister, dan doktor.

[caption id="attachment_165278" align="alignnone" width="599" caption="Dirjen DIKTI Djoko Santoso"][/caption]

Hari ini di Bali (08/03/2012) – tepatnya di Hotel Inna Kuta –Dirjen DIKTI membuka sekaligus memberikan sambutan pada acara rapat pimpinan PTS di Kopertis wilayah 2. Para pimpinan PTS dari Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Bangka dan Belitung pun hadir di Bali. Pak Dirjen pun berkenan memberikan penjelasan panjang lebar tentang kebijakan pendidikan tinggi, khususnya yang terkait dengan PTS.

Selama dua jam Dirjen Dikti tidak hanya membicarakan soal publikasi ilmiah saja yang ditempatkan di urutan akhir pada topik sambutannya. Namun soal tersebut tetaplah menjadi topik menarik yang menyedot pertanyaan 150-an peserta, terutama komentar atau klarifikasi Dirjen DIKTI soal Surat Edaran tentang kewajiban publikasi ilmiah bagi lulusan perguruan tinggi. Peserta pun lebih banyak mempertanyakannya pada sesi diskusi, yang dimoderasi oleh Koordinator Kopertis 2 Prof.Dr.Diah Natalisa, MBA

[caption id="attachment_165280" align="alignnone" width="601" caption="Dirjen DIKTI didampingi Koordinator Kopertis II saat sesi diskusi"]

133122272455504624
133122272455504624
[/caption]

Dirjen Dikti pun mengetahui pro dan kontra terhadap surat edaran tersebut. Acara hari ini pun seolah mimbar bagi dirjen DIKTI untuk memberikan klarifikasi – kalau tidak bisa disebut membela diri – terhadap beberapa polemik yang beredar di masyarakat, atau setidkanya di dunia kampus.

Pertama, Dirjen Dikti memaparkan data tentang perbandingan jumlah publikasi ilmiah antara negara-negara di dunia. Data tersebut memang tidak terungkap dalam surat edaran. Saya pun pernah menyoal rujukan data tersebut dalam tulisan sebelumnya di sini. Dirjen DIKTI ternyata menggunakan Scimago Country Ranking namun untuk edisi tahun 2010. Lalu, mengapa harus menyebut Malaysia sebagai pembanding? Dirjen DIKTI berkelit, memang kenapa dengan Malaysia? Menurut Dirjen DIKTI, jika kita membandingkan dengan Amerika maka itu seperti bumi dan langit. Dirjen DIKTI pun mengungkap data pelengkap yang menunjukkan bahwa publikasi ilmiah Indonesia lebih rendah dari rata-rata negara-negara berkembang.

Kedua, seperti kita ketahui, Mendikbud sebagai boss-nya Dirjen DIKTI menyatakan bahwa tidak ada sanksi bagi perguruan tinggi yang tidak mematuhi surat edaran tersebut, namun esensi atau maksud dari SE tersebut patut didukung. Menyoal sanksi tersebut, Dirjen DIKTI menjelaskan bawha  sanksi sebenarnya tidak patut dipertanyakan oleh kalangan akademik. Beliau pun memberikan analogi bahwa kita pun tidak akan berpakaian sembarangan pada saat menghadiri acara resmi. Ini soal kepatutan dan kepantasan. Publikasi sudah menjadi kepantasan seorang lulusan perguruan tinggi.

Jadi mempertanyakan sanksi karena tidak melakukan publikasi bukan pertanyaan penting lagi. Soal kesiapan, Dirjen DIKTI mengharapkan adanya kolaborasi, resource sharing, atau sinergis antara PTS-PTS. Intinya, saling membantu dan berbagi pengalaman dan kemampuan satu sama lain.  Dirjen pun meyakini masih ada yang mendukung kebijakan tersebutm walaupun persentasi bisa saja lebih kecil dari yang menolak. Optimisme Dirjen DIKTI pun diperkuat dengan data tentang perkembangan luaran berbagai riset yang dibiayai oleh DIKTI, serta potensi publikasi ilmiah di masa datang.

Ketiga, apakah publikasi perlu dana penelitian? Tidak harus, demikian inti jawaban Dirjen Dikti, yang sempat disambut dengan tarian pendet pada saat datang di ruang pertemuan. Dirjen pun memberikan contoh di bidang sosial atau ekonomi. Menurutnya, masalah riset ada di sekitar kita. Seorang dosen atau mahasiswa bisa membuat publikasi ilmiah dengan menyebarkan kuisener.

Dirjen DIKTI melengkapi penjelasan mengenai dana riset tersebut dengan berbagai skim hibah dari Dirjen DIKTI yang dapat dimanfaatkan oleh dosen dan mahasiswa. Seolah tahu bahwa berbagai skim tersebut tidak bisa menyentuh semua dosen dan mahasiswa karena memang dikompetisikan, Dirjen DIKTI pun mengutip pernyataan dari Jawaharlal Nehru: “Because we are poor, we cannot afford not to invest in research….“.

[caption id="attachment_165281" align="alignnone" width="600" caption="Tari Topeng datang setelah Dirjen DIKTI pulang"]

1331222873433866631
1331222873433866631
[/caption]

Sebenarnya sambutan dan diskusi sore tadi tidak hanya menyoal kebijakan DIKTI tentang kewajiban publikasi saja. Namun, kali ini saya hanya tertarik dengan isu itu saja. Topik lainnya yang juga dipaparkan oleh Pak Dirjen yakni kondisi dan perkembangan program studi di Indonesia, akreditasi, Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, serta Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun