Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kerja Sembari Menikmati Macet Jakarta

11 Oktober 2011   16:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu yang dbenci, namun tetap harus dilalui, akhirnya harus bisa menikmati karena mengais rezeki di Jakarta adalah kemacetan. Sungguh benar adanya perkataan teman di Banda Aceh yang memuji tingkat kesabaran orang Jakarta di kala macet.  Bayangkan saja, bisa dalam hitungan jam kita bisa terjebak kemacetan, atau minimal lama perjalanan bisa berjam-jam padahal jaraknya tidak lebih dari 10 km saja. Mungkin kita pun sudah bosan bercerita atau menulis tentang kemacetan di Jakarta.

Jam 10.30 Saya berangkat dari Depok menuju Jakarta. Sampai di Tajung Barat, ada tiga alternatif ke sasaran. Lurus lewat pancoran pasar Minggu, belok kiri ke Buncit, atau belok kanan masuk JORR. Tidak ada kepastian jalur mana yang bebas kemacetan. Lalu lintas Jakarta memang sudah diperkirakan. Pasrah saja dengan sopir taxi yang akhirnya memutuskan melalui JORR atau tol simatupang. Kemacetan langsung menyapa selepas pintu masuk tol dalam kota. Perjalanan dari Pintu Tol Taman Mini ke Perempatan Pancoran pun lebih dari setengah jam. Mungkin patung pancoran pun geleng-geleng kepala dengan kendaraan bermotor yang seperti semut di sekitarnya.

Mungkin patung pancoran pun bosan melihat kemacetan

Percuma masuk jalan tol dalam kota. Sudah bayar, lambat pula. Kendaraan di jalan biasa malah terlihat lebih cepat larinya. Motor, mobil, dan Trans Jakarta pun masih bisa berlomba adu cepat.

Siapa lebih cepat menerobos kemacetan

Mencapai Jembatan Semanggi tetap bak jalannya kura-kura. Gedung perkantoran di sisi kiri jalan Gatot Subroto pun menjadi sasaran kamera. Kantor pusat bank terbesar di Indonesia pun jadi sasaran. Gedung itu pun tampak menjulang, terkesan pongah sendirian di situ, maklum uang ratusan triluin ada dalam pengelolaan para bankir yang tentu berseragam perlente di ruang-ruang kantornya yang sejuk.

Bank umum terbesar di Indonesia

Setengah jam berikutnya baru sampai bundaran HI. Tugu selamat datang pun pasti bosan, kepada siapa salamnya disampaikan. Toh, para penumpang pun tidak merasa disambut dengan keramahan Jakarta. Berjalan kaki mungkin lebih cepat dibandingkan tetap di kendaraan. Namun siapa mau berjalan kaki di siang hari bolong. Jakarta terasa semakin panas. Terjun di kolam air mancur pun bisa diciduk pihak keamanan. Kolam itu bukan untuk renang atau berendam menepis panas. Kolam untuk pandangan mata dan keindahan saja. Itu pun kalau itu masih dianggap indah bagi warga Jakarta.

Jangan mandi di bawah patung ini

Tepat satu jam setengah, akhirnya saya sampai di lokasi sasaran. Sebelum masuk gedung KONI Jaya, saya menyempatkan diri memotret Museum Taman Prasasti yang tetap di samping kantor KONI Jaya. Sebuah Meriam tampak kesepian di balik pagar besi yang membatasi lokasi Museum dengan Jalan Tanah Abang 1.

Prasasti kematian di Taman Prasasti

Sebelum acara resmi, Saya makan siang hari ini bersama pada atlet, pelatih, dan pengurus cabang olah raga di KONI DKI Jakarta. Tepat jam 1 siang, acara resmi pun dimulai. Kami pun berkumpul di sebuah aula yang terlihat biasa saja. Padahal itu markas para atlet yang tergabung dalam kontingen yang selalu menjadi gudang atlet nasional. Juara umum PON seolah menjadi langganan dan keharusan.  Target prestasi pun diukur dengan medali emas, bukan perak, bahkan perunggu. Tekad tersebut pun seolah terpatri dalam dada, teriakan penyemangat sebelum acara dibuka pun bergema. Tidak cukup itu, mars pemacu semangat pun diperdendangkan sambil tegak berdiri sebelum pembukaan acara. Setelah itu, acara dimulai. Semua hadirin duduk kembali di sebuah Aula yang tergolong bagus. Saya pun menunaikan tugas di sini.

Kami patriot pemburu emas

Mencari emas di dunia maya

Supaya lengkap merasakan moda transportasi, saya menggunakan bajay untuk pergi dari lokasi. Tujuannya adalah Kampus yang berada di daerah kenari. Bukan dengan bajay ke sananya. Bajay hanya sampai ke stasiun busway yang berada di lapangan monas. Ternyata, bajay di larang masuk ke daerah medan merdeka. Terpaksa saya berhenti di samping Gedung Indosat di sebuah jalan kecil sebelum masuk jalan Medan Merdeka. Ternyata stasiun busway masih sekitar 200 an meter dari situ. Saya pun terpaksa berjalan kaki dari situ. Sambil jalan, iseng memoto Gedung BI yang terlihat paling megah sendirian di sekitar thamrin. Wajarlah sebagai penguasa perbankan di Indonesia. Kereta kuda pun tetap tidak beranjak di depannya.

[caption id="attachment_135188" align="alignnone" width="640" caption="Gedung gudang uang"][/caption] [caption id="attachment_135211" align="alignnone" width="642" caption="Kereta kuda pun tak beranjak di depan BI"][/caption]

Daripada berpindah bisa transjakarta, saya memutuskan naik bis yang ke arah Pulo Gadung. Siapa tahu melewati daerah Matraman. Kan ada juga jalur busway dari pertigaan pramuka yang menuju Pulo Gadung. Dasar kuper, ternyata bis menuju Pulo gadungnya melalui Senen. Saya pun terpaksa transit, berpindah bis yang rutenya Ancol ke Rambutan. Daripada bengong kepanasan di koridor stasiun, poster film nasional di sebuah bioskop legendari di bilangan senen pun jadi sasaran kamera saya. Filmnya tergolong seronok dengan judul yang seram dan menyerempet porno.

[caption id="attachment_135190" align="alignnone" width="634" caption="Poster film seram dan seronok"][/caption]

Sialnya, setengah jam tidak ada busway yang lewat. Waktu pun terus berputar, menjelang magrib. Mengingat jadwal mengajar setelah magrib, akhirnya diputuskan naik bajay lagi. Adzan magrib pun terdengar sayup-sayup, kalah suara dengan bunyi bajay yang meraung-raung. Pantas putri bungsuku suka menutup telinga ketika naik bajay. Sampai kampus, untung waktu magrib belum terlewat, namun saya terpaksa harus melewatkan siaran langsung Indonesia vs Qatar. Bukan tidak nasionalis, tenyata mahasiswa sudah menunggu di kelas.

Ya sudah. Siapa suruh datang ke Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun