Bagaimana cara menjadi pelopor penurunan bunga kredit? Pertama, pemerintah jangan menjadikan bank persero menjadi ”sapi perah” untuk menyetor ke penerimaan negara dengan ”upeti” yang sebesar-besarnya. Per Desember 2011, empat bank pemerintah telah mencetak laba sebesar Rp 32,7 Triliun. Jika bank BUMN tersebut selalu diberi target tinggi, bank pemerintah pasti akan ”menghisap darah” para debitur yang meminjam kredit. Bank pemerintah pun akhirnya rajin ”mengejar setoran”, tanpa perlu mendengar teriakan pada debitur yang sangat berharap bunga kredit segera turun. Bukankah lebih baik jika sektor riil tumbuh dan berkembang pesat demi menopang perekonomian nasional, daripada mengejar pemasukan negara dari empat bank persero saja?
Namun, mengharap bank persero mengurangi tabiat "kejar setoran" kayaknya relatif sulit. Perusahaan perseroan- seperti halnya empat bank plat merah- memang didirikan untuk mengejar laba. Lihat saja Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-01/MBU/2012 yang ditandatangi tanggal 20 Januari 2012 oleh Dahlan Iskan:
Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan (Pasal 1, ayat 2)
Kedua, pangkas interest spread bank pemerintah dengan membuat kebijakan rentang maksimal antara bunga simpanan dengan bunga pinjaman. Saat ini interest margin dari bank pemerintah justru lebih tinggi dibandingkan bank umum swasta nasional devisa, bank campuran, dan bank asing. Bank pemerintah menunjukkan interest margin sebesar 6,55%, padahal rata-rata nasional sebesar 5,91%. Jadi dengan kebijakan rentang maksimal, ketika bunga simpanan turun, seharusnya bunga kredit pun ikut turun. Kita patut memberikan apresiasi karena: "BTN Berlakukan "Single Digit untuk KPR-KPA" (Kompas.com, 10-01-2012). Semoga langkah BTN tersebut diikuti tiga bank persero lainnya.
Sebagai pemegang saham pengendali, rasanya pemerintah mempunyai ”kuasa penuh” untuk memberikan target-target terukur yang wajib dipenuhi oleh para pengelola bank persero. Bukan sebatas target berupa keuntungan finansial belaka. Toh pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan geliat di sektor riil juga. Dan itu bisa melalui peran dari empat bank yang dimiliko pemerintah, yang saat ini menjadi ”gudang uang” terbesar di Indonesia.
Ketiga, benahi ketidakefisienan bank pemerintah, yang dicap sebagai kelompok bank paling tidak efisien dibanding kelompok bank lain. Ukuran efisiensi tersebut bisa dilihat dari Rasio BOPO (Beban Operasional dibagi dengan Pendapatan Operasional). Saat ini BOPO Bank pemerintah tercatat 91,94%, padahal rata-rata nasional 85,42%. Pemerintah rasanya perlu meminta pertanggungjawaban pimpinan bank persero tentang kondisi tersebut. Setidaknya bertanya: ”Kok bisa, bank pemerintah menjadi kelompok bank yang paling tidak efisien dibandingkan kelompok bank lain?”.
Jangan sampai ketidakefisienan bank persero malah dibebankan kepada para peminjam, yang dengan susah payah berusaha untuk tidak ”ngemplang”. Ada beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan, misalnya kebijakan untuk tidak membuat promosi berupa hadiah yang ”jor-joran” sehingga membebani biaya operasional bank. Toh kelihatannya masyarakat sudah semakin pintar untuk memilih bank bukan dari iming-iming hadiah, tapi kualitas layanannya. Lagian, masyarakat memang tidak mempunyai pilihan yang banyak untuk mencari tempat menyimpan uang selain bank. Saat ini, perbankan sangat mendominasi dalam sistem keuangan nasional. Sebuah kondisi yang relatif ”mengkhawatirkan” juga.
Keempat, jika opsi pertama sampai ketiga tidak efektif juga, pangkas saja komponen gaji para bankir di bank pemerintah yang memang tergolong ”gila-gilaan”, khususnya untuk top executive-nya. komponen gaji tersebut mempengaruhi biaya dana (cost of fund). Semakin tinggi cost of fund maka– agar bank tetap untung- bank pemerintah menjual kredit dengan ”tarif tinggi”. Akhirnya menaikkan bunga kredit menjadi cara gampang menutup komponen gaji bankir, dan kinerja bank pun tetap baik di mata pemerintah karena telah menyetor keuntungan luar biasa ke negara. Pemerintah punya kuasa untuk mengatur gaji ini sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-07/MBU/2010.
Namun, pengaturan gaji ini bukan di semua tingkatan mengingat pegawai di lower management mungkin sudah bekerja dengan sungguh-sungguh. Mutu layanan di mata nasabah sangat tergantung pada kinerja karyawan di lapangan. Ada dua opsi yang patut dipertimbangkan. Pertama, penentuan maksimal persentase komponen gaji terhadap total biaya over head bank. Ini mirip dengan kebijakan salary cap pada klub sepakbola. Opsi kedua adalah menurunkan rentang gaji – yakni perbedaan gaji tertinggi dengan gaji terendah- agar gaji petinggi bank tidak seperti bumi dan langit jika dibandingkan gaji keryawan rendahan. Artinya, saya setuju dengan ”merit system” di bank persero, tapi ya jangan terlalu ”kebangetan” karena bank itu "hidup” dari uang rakyat yang dititipkan padanya. Jadi sekali-kali, buatlah kebijakan yang membuat rakyat –khususnya para pengusaha- senang juga.
*****
Akhirnya, semuanya (kembali) tergantung pada political will dari pemerintah dalam berbisnis perbankan melalui empat bank persero. Mau atau tidak, bank pemerintah menjadi pelopor atau lokomotif penurunan bunga kredit bank? Jika tidak mau atau tidak mampu, quo vadis bank pemerintah? ____