Kelima, mungkin perlu perombakan kebijakan mengenai kewajiban tri dharma perguruan tinggi. Kewajiban tersebut sebaiknya diberlakukan di tingkat institusi, bukan individu dosen. Ini perubahan yang radikal yang bisa menuai pro dan kontra lagi. Namun, opsi ini perlu dipertimbangkan karena di lapangannya, kewajiban pelaksanaan tri dharma PT pun tidak efektif. Bukti pelaksanaannya pun hanya bersifat administratif. Keberhasilan melaksanakan tri dharma PT hanya ditunjukkan dengan laporan saja. Tidak menutup kemungkinan, seorang dosen gagal secara administratif – misalnya karena ketidaktahuan atau tidak mengisinya secara lengkap- padahal, pada kondisi yang sebenarnya di lapangan - bukan di atas kertas laporan- dia sudah memberikan banyak kepada mahasiswa, bahkan memberikan kontribusi besar dalam pemberdayaan masyarakat. Peran dosen inilah yang paling sulit dicapai, termasuk oleh saya pribadi. Saya sendiri menyadari opsi peninjauan tri dharma PT secara adminsitratif ini mungkin relatif "nyeleneh" atau "ngawur".
Keenam, sekali lagi, kualitas lulusan sarjana tidak hanya diukur dengan jumlah dan mutu publikasi saja. Banyak lulusan yang sudah terserap masyarakat- baik sebagai pekerja maupun wirausahawan- dengan kinerja dan prestasi yang dapat dibanggakan. Keberhasilan publikasi tidak menjamin lulusan sarjana bisa lebih mudah terserap pasar. Banyak aspek keahlian atau kemampuan lainnya yang dipertimbangkan oleh pasar. Bahkan, ada anggapan, mahasiswa yang hanya mengandalkan indeks prestasi tinggi justru punya peluang kecil untuk bekerja dibanding lulusan lainnya yang kemampuan non-akademisnya lebih mumpuni. Jadi, pemerintah jangan hanya menuntut kemampuan publikasi saja. Kemampuan atau kompetensi lulusan lainnya- misalnya soft skill- justru perlu lebih diprioritaskan.
Terakhir, membicarakan dunia pendidikan tidak ada habis-habisnya, cenderung ruwet, layaknya benang kusut. Saking kusutnya, kita pun kesulitan, aspek mana yang perlu diprioritaskan untuk dibenahi. Jadi, perang wacana dan pro-kontra terhadap sebuah kebijakan pun wajar saja. Saya pun malah ikut-ikutan berwacana atau beropini melalui tulisan ini, walaupun saya menyadari, tidak mudah menjadi dosen atau mengelola kampus. Semua kembali ke niat dan upaya masing-masing. Mudah-mudahan niat dan upaya dari pemerintah pun sejalan, seiya sekata demi memajukan negeri ini.
---
Tulisan sebelumnya:
Mau Lulus Sarjana? Wajib Buat Makalah di Jurnal Ilmiah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H