Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Siswa Miskin Berprestasi Sulit Masuk Kampus

28 Januari 2012   16:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:20 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tertarik dengan berita di Kompas.com berjudul: ”PTN: Tak Mudah Cari Mahasiswa Miskin Berprestasi” (27/1/2012). PTN mengaku sulit mencari calon mahasiswa miskin berprestasi yang akan diberi beasiswa dari pemerintah. Padahal alokasi anggaran beasiswa minimal sebesar 20% sudah menjadi tekad pemerintah. Apakah pengakuan tersebut menunjukkan ketidakmampuan, atau memang faktanya demikian?

Padahal penduduk miskin di Indonesia pasti banyak, setidaknya jika kita mengacu laporan BPS yang menyebutkan ada 29,89 Juta orang miskin di Indonesia sampai September 2011. Dari jumlah tersebut tidak semuanya termasuk calon mahasiswa. Namun rasanya, pasti masih banyak yang tergolong remaja yang mimpinya masuk perguruan tinggi terganjal masalah biaya. Apalagi biaya pendidikan di Indonesia tidak murah.

Sebenarnya kriteria miskin pun tidak mengacu ke garis kemiskinan versi BPS semata. Artinya, jumlah sasaranya menjadi lebih banyak. Pengertian "kurang mampu secara ekonomi" menurut Buku Pedoman BIDIK MISI (Beasiswa Pendidikan Mahasiswa Berperstasi) untuk tahun 2012 yang dirilis oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sebagai berikut:

"Kurang mampu secara ekonomi adalah (a) Pendapatan kotor gabungan orangtua/wali sebesar-besarnya Rp3.000.000,00 setiap bulan; (b) Pendapatan kotor gabungan orangtua/wali dibagi jumlah anggota keluarga sebesar-besarnya Rp600.000,00 setiap bulannya; dan (c) Pendikan orangtua/wali setinggi-tingginya S1 (Strata 1) atau Diploma 4."

Menyoal pengakuan beberapa rektor PTN tersebut, ada beberapa pemikiran, atau bolehlah disebut sebagai urun rembug, kritik atau masukan.

Pertama, sistem rekrutmennya bisa jadi kurang efektif atau kurang intensif. Ini tentang komunikasi atau promosi beasiswa kepada masyarakat. Harus diakui peluang beasiswa bisa dengan mudah dipampang di website masing-masing perguruan tinggi, atau ditempel di berbagai ruang publik di kampus agar bisa tersebar ke masyarakat. Namun, seberapa banyak penduduk miskin dapat menerima informasi tersebut. Efektifitas penyebaran informasi menjadi aspek yang perlu dikaji terlebih dahulu sebelum menyatakan kesulitan mencari warga miskin yang pantas mendapat beasiswa.

Promosi melalui media online belum tentu sampai ke pelosok kampung, atau seandainya terjangkau pun, patut diduga hampir semua penduduk miskin tidak bisa mengakses informasi digital. Program ICT for The Poor dari Worldbank pun tidak menghadapi rintangan. Selalu ada resistensi atau restriksi perluasan akses dan penggunaan fasilitas internet untuk warga miskin. Penyebaran informasi canggih belum tentu efektif untuk menggapai penduduk miskin. Rasanya PTN harus menjemput bola. Mendatangi calon mahasiswa miskin, bukan berharap sebaliknya, penduduk miskin harus berinisitaif untuk mendatangi kampus.

Ada beberapa pendekatan promosi lain yang sering digunakan beberapa kampus. Jejaring mahasiswa dan alumni yang rasanya sudah menyebar ke seluruh Indonesia bagi PTN ternama, bisa dijadikan agen atau “pembisik” untuk menginformasikan sasaran mahasiswa. Atau, bisa juga berkolaborasi dengan kepala SMA atau SMK melalui korespondensi intensif. Bisa juga dilengkapi dengan keterlibatan dinas pendidikan di masing-masing pemerintah daerah. Kalau perlu, kampus bisa bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam pendidikan atau pengentasan kemiskinan. Memang semuanya membutuhkan koordinasi dan sinergi. Tidak ada salahnya semua PTN berkolaborasi untuk menemukan pendekatan yang tepat.

Kedua, sulitnya mencari calon mahasiswa miskin berprestasi mungkin memerlukan peninjauan kembali terhadap kriteria berprestasi yang digunakan saat ini. Jika melihat peryaratan  "berprestasi" menurut Buku Pedoman BIDIK MISI memang agak ribet, yaitu "Memiliki prestasi akademik tinggi dan konsisten berdasarkan pemeringkatan oleh Kepala Sekolah, yaitu masuk dalam peringkat terbaik di sekolah yang sama pada semester 3, 4, dan 5 dengan ketentuan berdasarkan akreditasi, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Akreditasi A: 50% terbaik dan konsisten di semester 3, 4, dan 5.
  2. Akreditasi B: 30% terbaik dan konsisten di semester 3, 4, dan 5.
  3. Akreditasi C: 15% terbaik dan konsisten di semester 3, 4, dan 5.
  4. Lainnya : 5% terbaik dan konsisten di semester 3, 4, dan 5.

Memang masih ada pertimbangan lainnya, seperti prestasi ko-kurikuler dan ekstra kurikuler, yaitu paling rendah peringkat ke-3 di tingkat Kabupaten/Kota atau prestasi non-kompetitif lain yang tidak ada pemeringkatan (Contoh ketua organisasi sekolah/OSIS).

Banyak pakar pendidikan berpendapat bahwa prestasi atau kemampuan siswa tidak selalu identik dengan nilai-nilai yang tertera di rapor. Bisa jadi siswa miskin – namun sebenarnya pintar- malah tidak rajin sekolah karena faktor ketidakberdayaan finansial keluarganya. Apalagi mereka pun tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan warga kaya dalam kepemilikan atau akses ke sumber daya pengetahuan, misalnya buku, kegiatan ekskul, atau berbagai kursus bimbingan belajar. Justru karena keterbatasan tersebut, siswa miskin yang potensial akhirnya mendapatkan nilai raport yang tidak memuaskan menurut kriteria perguruan tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun