Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mewah di Kampus Merana di Jalan

29 Desember 2011   17:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:36 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul tulisan tersebut dikutip dari berita di harian Kompas (27/12/2011) bertajuk: “Harga Ilmuwan Indonesia”, yang ditulis oleh Saifur Rohman. Kutipan kalimat lengkapnya adalah “Paling banter, dalam banyak kasus, gelar seorang dosen dijadikan untuk ”menakut-nakuti” para calon pengguna. Setelah itu, dosen hanya mewah di dalam kampus, tetapi merana di luar.

Keberadaan dosen- yang bersama guru diberi label pendidik- sebenarnya sudah mendapat pengakuan dan perlakuan relatif istimewa dibandingkan profesi lain. Indikatornya adalah penyebutan dosen dan berbagai hak dan kewajiban yang melekat padanya sudah tertera dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU tentang Guru dan Dosen.  Menurut UU Guru dan Dosen, “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada  masyarakat”. Namun, pengakuan formal tidak selalu sama dengan realitasnya.

Soal gaji dosen, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen di antaranya disebutkan berhak  memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. (Pasal 51 UU Guru dan Dosen). Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum tersebut meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi (Ayat 1 Pasal 52).

Saya kutip dua kalimat lainnya dari berita Kompas yang ditulis oleh seorang pengajar filsafat di Semarang itu.  “Jika pendapatan dosen PTN mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 13 juta, dosen PTS jaraknya lebih sempit, yakni Rp 500.000 hingga Rp 3 juta”. “Pepatah Jawa, kebo bule mati setra, kerbau putih mati di lapangan. Kerbau putih adalah hewan yang sangat khusus karena hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, tetapi harus mati karena tidak ada yang merawat.

Data penghasilan dosen tersebut hanya rentang gaji saja. Informasi itu tidak menunjukkan distribusi atau rata-ratanya sehingga memberikan informasi lebih lengkap tentang seberapa kecilnya gaji dosen dalam konteks mayoritas. Juga tidak disebutkan informasi diperoleh dari atau dengan cara bagaimana. Namun terlepas dari sumber datanya, kisaran gaji dosen tersebut tetap memberikan kesan bahwa gaji dosen relatif kecil sehingga bisa dicap “tidak menjanjikan”.  Walau ada sedikit kontradiksi dengan metafora kerbau putih di atas- jelas bukan sembarang orang bisa membelinya- gaji dosen kecil “sebesar itu” akhirnya bisa juga identik dengan “merana di jalan”.

Jadi tergelitik untuk mengetahui kesan atau sikap teman-teman yang berprofesi sebagai dosen terhadap berita tersebut. Seberapa merananya dosen tentu tidak bisa dianalogikan dengan kerbau putih yang menjadi simbol "kemewahan". Menurut saya, setidaknya ada empat kelompok pendapat berdasarkan obrolan iseng di kampus .

Pertama, memang ada teman yang mengiyakan kondisi tersebut, bahkan menambahkan argumentasi lain yang terkesan ada penyesalan menjadi seorang dosen. Tapi apa daya, waktu telah menjeratnya untuk tidak bisa (atau tidak mampu) untuk beralih profesi. Dosen akhirnya menjadi “keterpaksaan”, daripada tidak ada cara lain untuk tetap hidup atau menghidupi keluarga. Mungkin saja implikasi dari keterpaksaan tersebut mempengaruhi produktifitasnya sebagai dosen, atau sebagai justifikasi dengan ketidakberdayaannya dalam memenuhi kinerja akademis yang memang berat jika merujuk ke tugas dan fungsi dosen menurut undang-undang.

Kedua, mengiyakan kondisi tersebut, namun menyikapinya lebih positif. Selalu ada nilai lebih yang tidak bisa diukur hanya dengan nilai finansial. Menyoal "kepasrahan" ini memang menarik dan mengundang perdebatan seru, khususnya berapa standar gaji yang masih bisa ditolelerir secara "pasrah". Sikap pasrah tersebut dibuai oleh nilai lain selain uang. Setiap orang mempunyai ukuran kebahagiaan atau hal-hal positif lainnya dari profesi dosen, walau secara materi memang tidak bisa dipungkiri bahwa gaji dosen memang relatif kecil. Kecil secara finansial tidak menghalangi teman-teman dari kelompok ini untuk tetap berkiprah dengan semangat, walau semangat saja tidak cukup untuk menjadi seorang dosen yang baik.

Ketiga, tidak peduli dengan pendapat tersebut, yang dibubuhi dengan “pembelaan” bahwa semua profesi selalu ada sisi baik dan sisi buruk. Seberapa besar “imbalan” yang diterima ketika harus mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat ternyata ada muatan sosial psikologis, misalnya hobi atau pengabdian. Tuntutan terhadap hak dosen - yang selalu disandingkan dengan kewajiban tridarma perguruan tinggi di sisi lain- ternyata tidak melulu soal finansial. Sedangkan ukuran hak finansial tersebut bersifat relatif bagi setiap individu. Selalu ada keragaman sikap dan pemikiran dalam menyoal tentang keseimbangan hak dan kewajiban seorang dosen. Kubu pun berpendirian bahwa mempersoalkan aspek finansial dari dosen tidak akan ada habisnya. Biarkan saja, begitu kata kelompok ini yang tetap menjalani profesinya dengan segala suka dan dukanya.

Keempat, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga teman-teman yang mapan dan nyaman dengan profesinya sebagai dosen, termasuk aspek finansialnya. Selalu ada teman-teman yang mempunyai energi berlebih yang bisa dikonversikan menjadi aset finansial karena kebisaannya sebagai dosen. Realitas keterbatasan kepedulian dari pemerintah atau insitusinya tidak menghalanginya untuk “berjuang” dengan tetap memanfaatkan kompetensinya sebagai dosen.

Menulis buku, menjadi konsultan, atau tugas lain yang ada apresiasi finansialnya menjadi contoh ikhtiar teman-teman dalam menjaga agar “dapurnya” tetap berasap. Memang ada pertanyaan berikutnya, apakah kiprah tersebut atas nama institusi atau pribadi, atau bisa juga, apakah kiprahnya tersebut mengganggu tugas utamanya atau tidak. Semuanya berpulang pada individunya masing-masing, walau ada “pagar-pagar” yang seharusnya tidak dilanggar. Bukankah ketika berurusan dengan “perut” setiap orang bisa menyikapi dan menyiasatinya berbeda-beda, termasuk yang harus “jungkir balik” untuk memperoleh kenyamanan dan kemapanan.

Itulah kelompok hipotetis dalam menyoal gaji dosen. Saya tidak tahu kelompok mana yang minoritas atau mayoritas karena itu hanya berdasar obrolan iseng saja. Mungkin saja ada kelompok lain yang luput dari perhatian. Terlepas dari itu, saya berkeyakinan bahwa semua kelompok pasti bersyukur seandainya gaji dosen dinaikkan. Namun yang lebih penting, apakah kinerja dosen bisa sesuai dengan harapan atau tidak. Itulah tantangan terbesarnya. Lagian, kok rasanya kurang tepat juga jika berdalih bahwa keterpurukan perguruan tinggi gara-gara kehidupan dosen yang "merana" secara finansial semata.

Kembali ke merana di jalan. Menurut saya, merana adalah realitas sosial yang bisa dianggap sebagai tantangan atau perjuangan untuk melewati kehidupan.  “Kemewahan” dalam hati dan pikiran atas nama kebebasan akademik, otonomi keilmuan, dan mimbar akademis bisa menjadi nilai lebih yang tidak bisa diukur dengan uang, walau ada juga yang mempersoalkannya sebagai kepasrahan – atau enggan pindah dari zona nyaman- sehingga terpenjara di menara gading. Dengan demikian, “kemewahan” tersebut tidak tersentuh atau tidak menjadikan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik.

Hidup kadang perlu keberpihakan. Saya pun mempunyai sikap atau pendapat terhadap gaji dosen ini. Soal ini, pilihan hidup memang bisa berbeda-beda. Dosen adalah pilihan tanpa keterpaksaan, termasuk menerima konsekuensi dari profesi ini. Ukuran daya tahan atau toleransi terhadap “seberapa merananya di jalan” pun berbeda-beda. Dan itu manusiawi karena dosen toh juga manusia. Sisi kemanusiaaan inilah yang membuat profesi dosen selalu ada dalam sorotan, sama dengan profesi lainnya. Dan soal gaji ini, saya tidak menyikapinya sebagai hidup yang “merana”, walau ada yang menganggapnya sebagai keprihatinan atau sebuah ironi.

Uang memang penting dan bisa membeli kemewahan, namun tidak ada niat menggunakannya untuk membeli “kerbau putih”, walau sikap itu tidak bisa menapikkan anggapan dosen yang dijadikan “kambing hitam” dari keterpurukan perguruan tinggi. Itulah persoalan terbesarnya, sebagai akumulasi dari kerikil-kerikil kecil yang harus dilalui seorang dosen. Dan hal-hal kecil bisa dilihat biasa, atau sebaliknya, jadi luar biasa, seperti halnya saya mendapatkan "kemewahan" ketika melihat senyum tulus ayahanda yang merestui anaknya menjadi dosen sebagai pekerjaan pertama, dan Insya Allah yang terakhir.

Saya setuju bahwa kata "merana" memang bukan sebatas makna finansial semata, namun lebih ke arah kontribusi dosen yang belum bermakna. Sepertinya, istilah "kambing hitam" menjadi analogi lain yang perlu mendapat perhatian lebih besar dibanding "kerbau putih". Walaupun terasa lebih menohok, dosen harus memaknai perumpamaan tersebut  secara positif.  Selalu ada ironi dan elegi, namun jangan pesimis untuk terus berharap ada simfoni indah bagi seorang dosen. Begitulah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun