Asal-usul nama dua kota bertetangga ini hampir mirip. Yang satu berawal dari "Tangga Arung", satunya "Sama Rendah". “Tangga Arung” artinya rumah raja. Ketika lafal “sama rendah” berubah jadi “Samarinda”, “Tangga Arung” pun ikut berubah menjadi Tenggarong. Dalam peta, kota Samarinda "terkepung" wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang beribukota Tenggarong. Jarak keduanya bisa ditempuh sekitar setengah jam saja dengan kendaraan. Dua-duanya punya jembatan yang melintasi sungai Mahakam. Kedua kota pun sama-sama menjajakan makanan laut yang memanjakan lidah wisatawan. Kedua kota seolah bersaing ketat dalam mencuri perhatian wisatawan. Dan itu tidak hanya wisata kuliner saja.
[caption id="attachment_143590" align="alignnone" width="642" caption="Jembatan baru di Tenggarong, yang lama di Samarinda"][/caption]
Kami beruntung bisa menikmati lezatnya makanan laut di kedua kota yang sama-sama ada di tepian Mahakam. Saya dan teman-teman menikmati 4 kali makan siang dan 3 kali makan malam di kota Samarinda dan Tenggarong. Dari agenda urusan perut tersebut, rincian tempat kulinernya adalah masing-masing satu kali makan siang dan makan malam di Hotel, satu kali makan siang di sebuah PTS yang menjadi sasaran pemetaan evaluasi mutu internal. Sisanya menikmati "Harry Crab" di malam hari dan "RM Tepian Pandan" dua kali di siang hari. Saking menikmatinya, kami makan sampai dua kali, dua makan malam di Harry Crab dan dua makan siang di RM Tepian Pandan. Kedua tempat tersebut sudah terpampang di www.foursquare.com.
Harry Crab cuma buka malam hari. Untungnya, saya dan teman bermalam di sebuah hotel yang berlokasi di jalan yang sama. Dengan berjalan kaki kami pun sampai di lokasi. Tempatnya sederhana saja, terletak di sudut persimpangan jalan di Jalan Pahlawan. Dua malam berturut-turut, kami selalu kesulitan mencari tempat duduk. Menu standar seafood pun dipesan. Kepiting, udang, dan ikan bakar. Minumnya hanya jeruk hangat saja. Kali ini bumbu favorit kami adalah asam pedas. Warna merah menyala pun menyelimuti kepiting dan udang. Lupa dengan kadar kolesterol, kami pun langsung menyantap hidangan di depan mata. Walau seafood bukan makanan asing, namun rasa dan suasanalah yang membuat kami menikmati hidangan di Harry Crab.
[caption id="attachment_143594" align="alignnone" width="641" caption="Menu makan malam di Harry Crabb Samarinda"][/caption]
Itulah menu makan malam kami selama dua malam berturut-turut di Samarinda. Besok siangnya, kami menyicipi seafood juga, namun kali ini berbeda lokasi. Kami harus bergerak ke arah Kutai Kartanegara. Setengah jam kami menyusuri jalan yang konturnya naik-turun. Sesekali kami melihat tambang batubara yang menyisakan lubang raksasa di pinggir jalan. Setelah melewati jembatan baru, kami sampai di kantor bupati. Kami terus menyusuri jalan yang sejajar dengan tepian mahakam di sebelah kiri kanan jalan. Tepat di depan Museum Mulawarman di Jalan Dipenogoro- yang menjadi target resmi kami dalam ekspedisi Kaltim- ada sebuah warung yang sederhana juga bangunanannya. Namanya Rumah Makan Tepian Pandan yang tepat di tepian sungai Mahakam. Berbagai jenis ikan laut dan air tawar terpampang di daftar makanan. Kami pun langsung memilih berbagai jenis ikan yang disimpan dalam lemari pendingin besar yang diletakkan persis di pintu masuk restoran.
[caption id="attachment_143595" align="alignnone" width="647" caption="RM Tepian Pandan di samping pelabuhan penyebrangan ke Pulau Kumala "][/caption]
Jika di Harry Crabb hanya menu kuliner saja yang menarik hati, maka di tepian Pandan kami bisa memanjakan mata juga melihat pemandangan di tepian mahakam. Pulau Kumala terlihat jelas dengan Patung Lembu Suananya. Persis di depannya, gedung Museum Mulawarman pun terlihat sedang direnovasi dan diperluas, Museum dan rumah makan hanya dipisahkan dengan Jalan Dipenogoro.
Di sebelah warung makan terdapat pelabuhan penyeberangan ke Pulau Kumala- sebuah pulau yang direklamasi dan ditata sebagai obyek wisata. Dari tempat kami makan pun terlihat jelas kapal penumpang dan tronton besar memuat batubara berlalu lalang di Sungai Mahakam. Di balik ruang kaca rumah makan terlihat pintu gerbang memasuki pelabuhan. Kapal tronton pun selalu lalu lalang di sungai mahakam yang melintasi kedua kota.
Tepian Pandan adalah nama lama dari Tenggarong ketika ibukota kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura pindah dari Pemagaran pada saat Sultan Aji Muhammad Muslihuddin berkuasa- yang dikenal dengan Aji Imbut. Kemudian nama Tepian Pandan berganti nama menjadi "Tangga Arung", artinya Rumah Raja. Seperti sejarah Samarida yang berasal dari “sama rendah”, konon lafal “Tangga Arung” pun berubah perlahan-lahan menjadi “Tenggarong”.
Kompleks Kesultanan Kutai yang sedang dipugar pun terlihat jelas dari rumah makan Tepian Pandan. Aji Imbut pun diabadikan menjadi nama stadion di Kukar- yang juga dapat dilihat di kejauhan sembari menikmati ikan bakar dan sambal mangga di tepian Mahakam. Makam Aji Imbut sendiri ada di kompleks pemakaman kesultanan Kutai yang ada di depan rumah makan Tepian Pandan.
Kota Samarinda dan Tenggarong seperti dua saudara kandung yang saling bersaing dalam merebut perhatian. Bukan hanya sejarah masa lalu, jembatan mahakam, dan kuliner saja- bahkan klub sepakbola pun ada Mitra Kukar dan Persisam yang sama-sama masuk divisi utama liga Indonesia. Bupati dan Walikota seperti berlomba-lomba memimpin daerahnya untuk terus bebenah dan menata kotanya agar seperti primadona bagi wisatawan.
Rabu pagi (16/11/2011) saya menyempatkan membaca koran Tribun Timur di sebuah Hotel di Samarinda, saya cuma bisa tersenyum ketika Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak - Awang berarti bangsawan keturunan sultan- menegaskan penolakannya terhadap rencana Kukar untuk membangun bandara International. Dua kota yang seperti saudara kandung ini pun seperti sedang bersaing terselubung. Keterlambatan pembangunan Bandara Samarinda Baru (BSB) Sei Siring yang di-backup anggaran dari pemerintah pusat sempat membuat Bupati Kukar Rita Widyasari- putri dari Bupati sebelumnya Syaukani Hasan Rais- berencana membuat bandara sendiri di Kukar.
[caption id="attachment_143597" align="alignnone" width="643" caption="Bandara Sepinggan, akankah ada bandara international lagi di Kaltim?"][/caption]
*****
Persaingan antar daerah di era otonomi wajar saja, namun sejatinya persainganny sehat dan positif demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Persaingan mungkin saja mempercepat laju modernisasi di kedua kota tersebut. Kembali ke dua kota ini, rasanya Tenggarong dan Samarinda bisa menjadi pasangan serasi yang dapat saling mengisi. Sinergi dan koordinasi pembangunan di antara keduanya dapat menjadi kekuatan besar dalam memperkuat gerbang utama wisatawan ke Kalimantan Timur. Semoga pembangunannya berkelanjutan dengan tetap menjaga alam dan lingkungan tetap lestari.
------
Tulisan terkait sebelumnya:
Panorama Samarinda di Atas Menara
Untaian Sejarah Kutai di Tepian Mahakam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H