“I love a love birds!”
[caption id="attachment_127846" align="alignnone" width="628" caption="Warna-warni burung cinta yang mempesona"][/caption]
Begitulah kira-kira kesan dari perbincangan dengan paman, seorang pensiunan yang sedari remaja sudah menyukai berbagai jenis burung. Saya memanggilnya Mang Encep. Saya menemuinya sekalian berlebaran. Gairah seolah terpancar dari wajahnya selama ngobrol tentang burung-burung yang seolah mengiring kehidupannya. “Lihatlah burung berwarna kuning dengan mata merah, lutino namanya, itu yang paling mahal saat ini!”, tambahnya. Mata pun mengikuti arah yang ditunjuk telunjuknya, kami pun melangkah mendekat bangunan yang dikelilingi ram kawat.
“Berapa harganya, Mang?” “Rp 6,5 Juta sepasang!”
Saya terpana dengan angka itu. Entah benar atau tidak, saya pun mendekat ke kandang kecil yang berisi sepasang Lutino. Sepasang burung berwarna kuning bak boneka mainan pun terlihat jingkrak-jingkrak. Semakin kami mendekat, mereka malah makin narsis.
“Pernah dijual, Mang?“ “Kalau Lutino sih belum!“ “Berapa yang paling mahal terjual?“ “Sepasang pastel hitam, Rp 4,5 Juta ke orang Cirebon!“ [caption id="attachment_127848" align="alignleft" width="300" caption="Kuningpun bisa bersanding dengan biru"][/caption]
Obrolan tentang burung pun berlanjut. Memang pamanku ini sudah hobi memelihara burung selama masih bekerja di salah satu Bank BUMN. Halaman belakangnya pun disulap menjadi peternakan dan pemeliharaan burung. Tidak hanya love bird saja. Ada Merpati, Tekukur, Perkutut, Anis, Murai, Jalak, dan yang lainnya. Berbagai jenis burung cinta yang berbeda-beda warna itu pun ditunjukkan satu per satu. Ada pastel putih, hitam, biru, dan kuning. Ada juga albino dan lutino. Warna-warna bulunya memang terlihat indah. Dan, keindahan itu ada harganya. Betul, hobi yang berbuah rezeki. Peluang bisnis yang menggairahkan bagi seorang pensiunan.
“Demam Love bird baru kok, Cuma Rp 250 Ribu sepasang pada tahun 2006” “Wah, dah balik modal dong, Mang? “Lumayan, hobi membawa rezeki!“
Cerita pun berlanjut dengan suka-duka beternak burung cinta yang tadinya burung impor. Berkali-kali bertelur, namun tidak ada yang berhasil menjadi anak burung. Berkat ketelatenan dan kesabaran, akhirnya burung cinta itu berhasil diternakkannya sampai kini. Pernah suatu ketika, 10 anak burung dibawa pergi berwisata. Bukan apa-apa, anak burung itu layaknya bayi manusia yang harus disuapi oleh pamanku sendiri. Namun itu dulu.
“Sekarang biar disuapi bapak-ibunya saja!“ “Ada bedanya gak?“ “Lebih jinak jika disuapi orang!“
Kami pun diajaknya masuk ke bangunan berdinding ram kawat. Bangunan bersegi enam dengan deretan puluhan kandang kecil di dalamnya. Setiap kandang kecil berisi sepasang burung, yang dilengkapi dengan kotak kecil seolah sarang burung. Lengkap dengan rumput kering atau seratun kayu di dasar kandang. Jika masanya bertelur, bahan sarang itu akan dibawa sendiri oleh burungnya ke kotak kecil berukuran 20x20x25 cm. Mereka bertelur bisa sampai empat kali dengan jumlah telur berkisar antara dua sampai enam butir. Lama mengeramnya sama seperti ayam yaitu 21 hari.