Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Burung Cinta, Kasih Toge Biar Sering Bercinta

2 September 2011   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:18 3957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“I love a love birds!”

[caption id="attachment_127846" align="alignnone" width="628" caption="Warna-warni burung cinta yang mempesona"][/caption]

Begitulah kira-kira kesan dari perbincangan dengan paman, seorang pensiunan yang sedari remaja sudah menyukai berbagai jenis burung. Saya memanggilnya Mang Encep. Saya menemuinya sekalian berlebaran. Gairah seolah terpancar dari wajahnya selama ngobrol tentang burung-burung yang seolah mengiring kehidupannya. “Lihatlah burung berwarna kuning dengan mata merah, lutino namanya, itu yang paling mahal saat ini!”, tambahnya. Mata pun mengikuti arah yang ditunjuk telunjuknya, kami pun melangkah mendekat bangunan yang dikelilingi ram kawat.

“Berapa harganya, Mang?” “Rp 6,5 Juta sepasang!”

Saya terpana dengan angka itu. Entah benar atau tidak, saya pun mendekat ke kandang kecil yang berisi sepasang Lutino. Sepasang burung berwarna kuning bak boneka mainan pun terlihat jingkrak-jingkrak. Semakin kami mendekat, mereka malah makin narsis.

“Pernah dijual, Mang?“ “Kalau Lutino sih belum!“ “Berapa yang paling mahal terjual?“ “Sepasang pastel hitam, Rp 4,5 Juta ke orang Cirebon!“ [caption id="attachment_127848" align="alignleft" width="300" caption="Kuningpun bisa bersanding dengan biru"][/caption]

Obrolan tentang burung pun berlanjut. Memang pamanku ini sudah hobi memelihara burung selama masih bekerja di salah satu Bank BUMN. Halaman belakangnya pun disulap menjadi peternakan dan pemeliharaan burung. Tidak hanya love bird saja. Ada Merpati, Tekukur, Perkutut, Anis, Murai, Jalak, dan yang lainnya. Berbagai jenis burung cinta yang berbeda-beda warna itu pun ditunjukkan satu per satu. Ada pastel putih, hitam, biru, dan kuning. Ada juga albino dan lutino. Warna-warna bulunya memang terlihat indah. Dan, keindahan itu ada harganya. Betul, hobi yang berbuah rezeki. Peluang bisnis yang menggairahkan bagi seorang pensiunan.

“Demam Love bird baru kok, Cuma Rp 250 Ribu sepasang pada tahun 2006” “Wah, dah balik modal dong, Mang? “Lumayan, hobi membawa rezeki!“

Cerita pun berlanjut dengan suka-duka beternak burung cinta yang tadinya burung impor. Berkali-kali bertelur, namun tidak ada yang berhasil menjadi anak burung. Berkat ketelatenan dan kesabaran, akhirnya burung cinta itu berhasil diternakkannya sampai kini. Pernah suatu ketika, 10 anak burung dibawa pergi berwisata. Bukan apa-apa, anak burung itu layaknya bayi  manusia yang harus disuapi oleh pamanku sendiri. Namun itu dulu.

“Sekarang biar disuapi bapak-ibunya saja!“ “Ada bedanya gak?“ “Lebih jinak jika disuapi orang!“

Kami pun diajaknya masuk ke bangunan berdinding ram kawat. Bangunan bersegi enam dengan deretan puluhan kandang kecil di dalamnya. Setiap kandang kecil berisi sepasang burung, yang dilengkapi dengan kotak kecil seolah sarang burung. Lengkap dengan rumput kering atau seratun kayu di dasar kandang. Jika masanya bertelur, bahan sarang itu akan dibawa sendiri oleh burungnya ke kotak kecil berukuran 20x20x25 cm.  Mereka bertelur bisa sampai empat kali dengan jumlah telur berkisar antara dua sampai enam butir. Lama mengeramnya sama seperti ayam yaitu 21 hari.

“Semakin unik warnanya cenderung makin mahal” “Cuma dari warnanya saja, Mang?“ “Suaranya juga, apalagi jika menang kontes!“

Burung cinta dulu hanya hiasan saja. Berkat kreativitas dan keuletan para penggemarnya, burung itu juga sebagai burung ocehan. Penangkaran burung cinta itu dimulai ketika impornya dihentikan di saat marak wabah flu burung. Kontes atau kejuarannya pun diselenggarakan secara periodik dari kota ke kota. Saya pun teringat ketika mengantar paman mengikuti kejuaran nasional di lapangan senayan dulu. Beberapa burung yang sudah jadi pun ditempatkan terpisah. Ada juga yang kandangnya dikeliling oleh burung burung berkicau lainya seperti perkutut, murai batu, dan jenis burung lainnya yang terkenal indah suaranya.

“Biar akrab sama jenis burung lain ya Mang?“ “Bukan, itu lagi dalam proses master!“ “Apaan tuh?“ “Pembentukan suara, termasuk meniru suara burung berkicau lainnya!“

Kami pun mendekati kandang lain yang isinya sepasang burung cinta. Namun kali ini, jenis warnanya beda. Kuning dikawinkan dengan biru. Putih dan hitam pun bisa disandingkan. Hasilnya bisa semakin unik, dan itu bisa semakin mahal. Jadi bisa saja, sisi kiri berwarna kuning, sisi lainnya berwarna biru. Sepasang burung dewasa yang siap latih bisa dihargai sampai jutaan rupiah tergantung jenis dan keunikannya. Dengan ratusan burung cinta di rumahnya, burung cinta menjadi sebuah komoditas menggiurkan dengan nilai investasi ratusan juta rupiah. Menurutnya, bisnis burung cinta tidak serumit bisnis perkutut yang penangkarannya belum tentu menghasilkan anak yang suaranya persis induknya. Burung cinta lebih sering menghasilkan anak-anak yang identik dengan induknya, minimal keindahan warnanya. Makannya pun tidak rewel dan mudah diperoleh di pasar.

“Wah, selain jagung, ternyata dikasih sayuran juga ya?“ “Setelah tahu harganya, tantemu jadi semangat membeli kangkung dan toge!“ “Toge?“ “Iya, biar mereka sering bercinta!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun