Jika bunga kredit mau rendah, bank harus efisien. Itu simpulan dari struktur biaya dana bank. Walaupun kenyataannya tidak begitu, setidaknya untuk rata-rata perbankan secara nasional.
BI Tak Berkutik Menghadapi Pasar? Namun, “harga jual” dan “harga beli” uang di Indonesia sudah “dipasrahkan” ke mekanisme pasar. Orang bilang, “Tergantung permintaan dan penawaran”. Namun, jika ada pelaku pasar yang bisa mendikte pasar sehingga pembeli dengan terpaksa harus menerima “harga jual” yang ditawarkan bank, maka pasar perbankan mulai mengarah ke oligopoli yang cenderung berprilaku monopoli. Hanya sebagian kecil bank yang beraset besar, namun mereka menguasai aset perbankan nasional. Hanya 15 dsri 120 bank yang mempunyai aset di atas 50 Triliun. Inilah faktor kedua yang kelihatannya patut diduga sebagai penyebab tingginya bunga kredit. Kita lihat komposisi jumlah bank dilihat dari total asetnya. [caption id="attachment_141174" align="alignnone" width="635" caption="Jumlah bank umum berdasarkan total aset (sumber: SPI BI Agustus 2011)"][/caption]
Jadi, bunga kredit tinggi berhubungan dengan struktur pasar perbankan nasional. Masalahnya, ketika semua dipasrahkan ke pasar, BI seolah “haram” melakukan interfensi secara langsung, misalnya dengan mematok bunga kredit maksimal. Ini setidaknya dari pengakuan BI, yang juga merasa “sebal” dengan tingginya bunga kredit. Namun, sedikit melenceng pada kasus lain, BI justru mulai mematok bunga pinjaman melalu kartu kredit, yakni 3% per bulan. Mungkin karena kartu kredit tergolong produk “fee based income” yang sarat dengan masalah, jadi BI pun intervensi.
Lalu, mengapa BI tidak melakukan intervensi pada kasus tingginya bunga kredit bank? Padahal dua bank milik pemerintah menduduki peringkat atas bank umum dilihat dari total asetnya. Sebagai pemegang saham mayoritas, pemerintah mungkin bisa menghimbau para pengelola Bank Persero untuk menurunkan bunga kredit. Atau, jangan-jangan pemerintah pun tidak berani untuk mengotak-atik dapurnya bank persero atas nama Good Corporate Governance?
[caption id="attachment_141175" align="alignnone" width="639" caption="Sepuluh besar bank di Indonesia, Mendikte Pasar?"][/caption]
Sepuluh bank besar ternyata menguasai 63 persen pasar perbankan. Ini yang dikhawatirkan para pengamat bank. Struktur yang mengarah ke oligopoli tersebut berpotensi monopolistik dalam penentuan tingkat suku bunga. "Pemain besar" bisa saja mendikte pasar. Tingkat suku bunga kredit pun tidak hanya ditentukan oleh struktur biaya dana. Debitur harus menerima "harga" yang relatif "mahal". Menurut saya, pemerintah harusnya bisa memainkan "kekuasaannya" melalui dua bank persero yang menjadi "raja" di Indonesia untuk memelopori penurunan tingkat suku bunga kredit, termasuk dengan memperbaiki efisiensinya juga.
[caption id="attachment_141189" align="alignnone" width="643" caption="Bank terbesar milik pemerintah, harusnya menjadi pelopor penurunan bunga kredit "][/caption]
Dengan dalih BI tidak mau “mencederai” mekanisma pasar perbankan, BI pun cuma bisa berteriak, namun tidak memberikan solusi “cespleng” yang bisa menurunkan bunga kredit bank. BI hanya bisa menghimbau saja, sambil berharap semoga pelaku perbankan nasional mau dengan ikhlas untuk menurunkan bunga kreditnya. BI pun cuma harap-harap cemas saja, jika “barrier to entry” pasar perbankan nasional dibuka untuk bank asing dalam rangka AFTA. Bisa jadi, jika ada serbuan eksternal dari bank asing yang menawarkan bunga kredit yang lebih rendah, perbankan nasional baru mau menurunkan bunga kreditnya. Biar tetap untung ketika bunga kredit turun, bank harus mencermati kembali ketidakefisienannya. Dan itu tidak harus menunggu area perdagangan bebas ASEAN saja, toh penyaluran kredit murah bisa membantu sektor riil agar mulai menggeliat lagi, yang muara akhirnya adalah menggairahkan perekonomian nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H