"Jika calon mahasiswanya bagus, tidak usah diapaapakan juga mereka menjadi orang !". Sebuah pernyataan yang muncul pada saat diskusi tentang metode pengukuran kinerje perguruan tinggi di sebuah hotel berbintang di sekitar Senayan. Pernyataan tersebut tidak ada penolakan dari peserta diskusi yang lain, kalau pun ada reaksi, lebih ke arah bagaimana proses pendidikan yang dapat mendorong mereka menjadi manusia yang lebih baik melalui proses pendidikan. Diskusi pun menjadi lebih seru. Theory of Learning, Student Centered Learning, Constructivism, dan berbagai teori-teori dan best practices tentang proses pendidikan bermutu pun berliweran. Terngiang kembali beberapa pendapat para filsuf tentang dunia pendidikan. ..for the object of education is to teach us to love beauty (Plato). Everything we do not have at our birth and which we need when we are grown is given us by education (Jean Jacques Rousseau). The educated differ from the uneducated as much as the living from the dead (Aristotle). The only thing that interferes with my learning is my education (Albert Einstein). Semua terdengar indah dan bisa dipahami, namun tidaklah mudah untuk dipraktekan. Apalagi jika saya sendiri merupakan bagian dari proses pendidikan itu sendiri.
Ketika rasa kantuk dan lelah mulai menghampiri, tiba-tiba terdengar celetukan dari salah satu peserta, "Jika yang masuk sampah, kita bisa menghasilkan emas? ". Ruangan pun mendadak sepi, semua orang berupaya mencerna dan berusaha mencari jawabannya. "Mungkin itulah fungsi dari sistem penerimaan mahasiswa baru agar dihasilkan calon mahasiswa yang bagus-bagus saja". Sejenak orang-orang pun manggut-manggut dengan jawaban tersebut. Ukuran persaingan atau tingkat keketatan untuk mendapatkan sebuah kursi di PTN pun menjadi salah satu ukuran mutu Perguruan Tinggi (PT). "Lalu bagaimana dengan yang tidak berhasil masuk ke PTN pavorit?". Mereka adalah mayoritas dan terus berupaya mendapatkan PT lain, yang jumlahnya sampai saat ini sudah melebih 3000 Perguruan Tinggi. Mereka mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan tinggi karena pendidikan itu diperuntukan untuk semua orang, seperti halnya sudah dideklarasikan oleh UNESCO yaitu "Education for All".
Diskusi pun berlanjut dengan upaya penguatan proses pendidikan yang juga disesuikan dengan kualitas input dan target output yang diharapkan. Jadi masalahnya bukan mengenai sampah atau bukan, tetapi bagaimana proses pendidikan berhasil mencapai tujuannya. Ketika saya baca pengertian dan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, saya sedikit tertegun. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Duh, ternyata sangat sulit untuk mencapai tujuan pendidikan. Kita tidak cukup hanya mengembangkan kecerdasan atau kemapuan kognitif saja, namun bagaimana kemampuan psikomotorik dan afektif pun harus dididik dan dikembangkan. Einstein pun menyatakan bahwa pendidikan tidah hanya mendidik orang sebagai manusia individual yang bebas, tetapi mendidik mereka sebagai bagian dari masyarakat. Semoga lulusan PT tidak menjadi sampah masyarakat, namun menjadi motor dan penggerak kehidupan di masyarakat agar kehidupan kita semakin lebih baik di masa datang. Menyepuh emas biar lebih mengkilat itu biasa, namun jika kita berhasil mengolah sampah menjadi emas itu baru luar biasa. Itulah esensi dan makna pendidikan yang berhasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H