Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tanggapi Melek Finansial, Bank Inklusi atau Eksklusif?

27 Juni 2011   06:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:08 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tertarik dengan  berita singkat di Kompas Online yang hanya terdiri dari 107 kata, tidak termasuk judul: "Inklusi Keuangan Tingkatkan Akses Lembaga Keuangan" (Kompas.com, 27/06/11). Isinya tentang upaya perluasan akses terhadap lembaga keuangan, yang berpijak pada dugaan financial iteracy yang masih rendah. Terkesan bahwa "melek keuangan" yang rendah bisa dianggap sebagai salah satu faktor penghambat akses ke lembaga keuangan di negara-negara berkembang. Salah satu hipotesisnya adalah jika masyarakat belum melek keuangan maka akses mereka ke lembaga keuangan masih terbatas. Benarkah? Jangan-jangan peningkatan inklusi keuangan hanya mengejar laba rente yang bisa dikeruk oleh perbankan nasional. Untuk menghindari itu, ada beberapa pemikiran yang bisa dijadikan pertimbangan.

BI dan perbankan nasional sudah membuat berbagai gebrakan agar bank bisa menjadi tempat menyimpan uang buat semua orang. Program Ayo ke Bank dilanjut dengan Gerakan Indonesia Menabung (GIM) yang dideklarasikan langsung oleh Presiden SBY pada 20 Februari 2010. Iming-iming kemudahan dibalik bunga rendah pun ditawarkan secara gencar. Upaya menyedot dana dari masyarakat miskin menjadi salah satu modus baru atas nama inklusi finansial. Tidak ada yang salah dengan itu karena prinsip bank adalah memobilisasi dana dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun pertanyaan yang menggelitik, apakah bank mengharapkan masyarakat sejahtera dulu sehingga- selanjutnya- masyarakat mempunyai uang lebih untuk disimpan di bank. Atau, bagaimana bank bisa berkontribusi mensejahteraan masyarakat, karena tujuan dan fungsi perbankan memang idealnya ke arah kesejahteraan.

Bak ayam dan telur, mana yang lebih dulu? Begitulah analogi pola hubungan antara perkembangan perbankan dengan pertumbuhan ekonomi - syukur syukur salah satu indikatornya adalah kesejateraan masyarakat. Stereotipe perbankan di negara berkembang adalah justru perbankan sangat mengharapkan atau tergantung kepada perkembangan perekonomian. Jika ekonomi membaik maka orang berduyun-duyun menyimpan uang di bank. Sebaliknya, ketika ekonomi lesu, perbankan pun kena imbas. Seolah kurang darah dan tidak bergairah. Begitulah dugaaan posisi perbankan nasional di negera kita ini. Jika secara individual masih ada masyarakat yang belum melek finansial maka kelompok masyarakat itulah yang menjadi sasaran perbankan nasional. Namun, ketika sasaran tersebut termasuk masyakarat yang belum menikmati kesejahteraan, program inklusi keuangan harus diterapkan secara hati-hati. Bisa saja mereka memang belum melek finansial. Namun itu lebih disebabkan karena mereka tidak mempunyai uang sisa untuk disimpan di bank. Jadi, jangan sampai program ini hanya dilihat dari sisi mobilisasi dana saja. Sedangkan sisi penyaluran dana bank tidak bersifat pro masyarakat miskin. Apalagi sisi penyimpanan dana hanya diimingi dengan bunga rendah yang lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan harga barang.

Selain itu, melek finansial jangan hanya dipandang bahwa masyarakat tidak bisa mengelola keuangannya, atau tidak tahu fungsi dan peranan bank. Jadi edukasi perbankan sebagai upaya meningkatkan tingkat kemelekan finansial masyarakat harus dilaksanakan secara hati-hati. Mereka belum sampai pada tahap menikmati kebebasan finansial, mereka justru dibelit dengan keterbatasan finansial. Dengan demikian,  program itu jangan sebatas upaya untuk menghimpun dana masyarakat saja. Harus ada perpektif yang lebih luas untuk ikut memikirkan nasib masyarakat miskin yang belum mengakses dan diakses oleh perbankan nasional. Edukasi perbankan juga bisa diselaraskan dengan corporate social responsibility (CSR) yang diimplementasikan secara efektif, atau tidak hanya sekedar menghambur-hamburkan uang atas nama peraturan atau himbauan dari BI saja. Andaikan dana CSR di perbankan nasional disalurkan dalam bentuk beasiswa bagi anak-anak yang orang tuanya tergolong miskin, maka edukasi perbankan dan inklusi finansial akan otomatis terjadi dengan sendirinya. Bukankah anak-anak orang miskin tersebut bisa menjadi agen dan harapan untuk perubahan nasib dari keluarganya di masa depan?

Perspektif lainnya adalah kecenderungan perebutan dana masyarakat bawah oleh perbankan dan lembaga keuangan mikro seperti koperasi, credit union, atau bahkan persaingan bank dengan lembaga keuangan lainnya seperti asuransi yang bisa menawarkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dengan produk saving plan-nya. Fenomena perebutan dana di tingkat bawah menjadi menarik karena tidak adanya batas-batas wilayah permainan yang jelas di antara lembaga keuangan, khususnya dengan lembaga keuangan mikro. Gencarnya perbankan nasional membuat program edukasi perbankan dalam rangka meningkatkan inklusi keuangan, akan berpotensi menyingkirkan fungsi dan peran lembaga keuangan mikro yang berlum mempunyai pelindung formal dalam bentuk peraturan dan perundangan yang khusus tentang lembaga keuangan mikro. Ada potensi lembaga keuangan semakin terpinggirkan, kalau tidak dikatakan semakin mati suri. Padahal koperasi dan berbagai variasi bentuknya pernah dikatakan sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Namun kenyataannya, soko guru itu terkesan semakin tenggelam di era kebebasan finansial dari masyarakat dan sistem finansial global yang kapitalis.

Hubungan perbankan nasional dengan lembaga keuangan mikro seharusnya menjadi alternatif program yang bisa diselaraskan dengan peningkatan inklusi keuangan. Biarlah lembaga keuangan mikro itulah yang berada di garis depan- front liner- dalam melakukan edukasi dan mobilisasi keuangan dari masyarakat bawah. Mereka lebih terbiasa bergaul dengan masyarakat bawah,`Apalagi jika lembaganya didirikan dengan mekanisme bottom-up. Dari, oleh, dan untuk masyarakat.  Nilai simpan-pinjamnya pun recehan, relatif tidak menarik dengan skema simpan-pinjam di perbankan yang durasi dan nominalnya relatif lebih kaku dibandingkan dengan lembaga keuangan mikro. Perbankan menempatkan diri sebagai penampung dana dari lembaga keuangan mikro saja, yang memang tidak bisa atau dibolehkan menyimpan simpanan seperti sebuah bank. Gandenglah mereka dalam program edukasi finansial dan peningkatan inklusi keuangan, termasuk bantuan tata kelola organisasinya. Jika bank memaksa terjun langsung ke masyarakat bawah-apalagi dengan semakin menggencarkan peran  mikro banking-maka lembaga keuangan mikro yang dikelola oleh masyarakat bawah menjadi semakin tenggelam. Menyerah kepada para pemodal besar, bahkan pemodal asing yang masih bercokol setia di perbankan nasional.

Jangan sampai upaya peningkatan inklusi keuangan justru menempatkan perbankan nasional menjadi institusi yang eksklusif, atau tidak terjangkau oleh masyarakat miskin yang dianggap belum melek finansial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun