Mohon tunggu...
Budi Hermana
Budi Hermana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keluarga/Kampus/Ekonomi ... kadang sepakbola

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Simbiose Simbol Dulu dan Kini di Tiga Gili

13 Juni 2011   05:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:34 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mitos, sejarah, atau rumor bisa menjadi sebuah pengetahuan yang melekat abadi ketika hal itu ditangkap oleh pikiran manusia. Memang itu tidak pasti. Semua tergantung kepada orangnya masing-masing. Namun, dalam keseharian kita- khususnya pada saat berdiskusi dengan orang lain, kita jarang melakukan cross-check tehadap kebenaran materi dikusinya. Itu biasanya berhubungan dengan masalah keseharian yang dianggap tidak  penting. Minimal, bukan sesuatu yang tingkat urgensinya tinggi. Bukan prioritas. Obrolan biasa-biasa saja. Dan obrolan semacam itu sering dijumpai tatkala berkomunikasi dengan masyarakat di tempat wisata. Herannya, tidak jarang kita pun ikut-ikutan menyampaikan informasi tersebut kepada orang lain. Akhirnya obrolan pun selalu diawali dengan kata-kata sepeti: konon, katanya, atau kayaknya begitu deh.  Sebuah benteng atau tameng untuk menutup ketidakyakinan kita akan kebenaran informasinya. Atau, sebuah bentuk kemalasan untuk menyelidiki apakah informasi tersebut benar atau tidak. Ketika informasi  menyebar ke mana-mana, bisa terjadi bias informasi. Distorsi, pembelokan arti, bahkan bisa berbalik artinya. Yang salah seolah benar, yang benar berubah salah.  Salah satu skenario akhirnya, informasi tersebut  bisa menjadi "pengetahuan" bersama yang turun-temurun, terlepas dari benar dan salah.  Fakta atau fiksi seolah berbaur ketika berhubungan dengan tradisi lisan. Pesona Masa Lalu Begitulah yang terjadi dengan berbagai informasi yang diterima ketika kami berkunjung ke Senggigi dan Gili Trawangan di Pulau Lombok. Begitu banyak simbol dan jejak masa lalu, serta fakta simbol budaya masa kini di sana. Semuanya merasuk dan terdokumentasi pada memori kita, terlepas apakah ingatan tersebut akan menempel selamanya, atau sekedar numpang lewat saja, lalu terdesak oleh informasi baru. Lupa dan terlupakan begitu saja. Namun penghuni di sana- atau minimal orang yang ikut mengais rezeki, tetap berupaya untuk melestarikan cerita dulu dan pesona kini demi melayani pelancong dari dalam dan luar negeri.

Begitu banyak cerita dan informasi yang diperoleh sepanjang perjalanan. Bukan dari buku, text book, atau bahkan karya ilmiah, Namun sebatas karya lisan dari orang-orang yang dijumnpai ketika menelusuri lokasi wisata yang dianggap surga dunia. Dan dunia pun mengakuinya. Senggigi dan Gili Trawangan seolah menjadi magnet wisata masa kini, yang tidak perlu lagi disampaikan lagi tentang pesona keindahannya di sini. Simbol kejayaan masa kini tersebut diwakili dengan begitu banyaknya serbuan hotel berbintang dan berbagai investor luar daerah yang ikut berebut untuk memanfaatkan pesona Senggigi dan Gili Trawangan. Namun, jika ditelusuri berdasarkan informasi lisan, begitu banyak simbol masa lalu yang membekas dan terlestarikan. Itu diawali dari Bandara Selaparang yang tepat berada di bibir pantai Pulau Lombok. Pohon Kenari berbaris rapi di kedua sisi jalan. "Pohon itu menjadi simbol penjajahan belanda", begitulah ujar teman yang menjadi narasumber lokal. Kapal perang Belanda yang karam di pantai Gili Trawangan pun seolah menjadi simbol kehadiran kolonialisme di sana selama ratusan tahun. Simbol penjajahan oleh Jepang pun terlihat dari gua atau terowongan di bawah tanah yang ada di Gili Trawangan. Terowongan itulah yang menginspirasi nama Gili Trawangan. Gili- atau pulau, yang terletak paling luar dari tiga pulau yang berada di sisi barat laut pulau lombok. Ketika pohon-pohon pinggir jalan berganti dengan pohon asam, simbol pun berganti. Mataram dulu berada di bawah kekuasaan kerajaan Karang Asem di Bali. Tidak heran pura dan bahasa Bali pun bersinergi dalam adat dan bahasa lokal di sana. Pura Lingsar menjadi sebuah bukti otentik dari jejak kebudayaan Bali yang sempat hadir di Pulau Lombok. Sebuah pura yang awalnya dimiliki oleh Islam, namun saat ini menjadi simbol keharmonisan agama di sana. Berbaur Menjadi Satu Masa lalu dan masa kini seolah bertemu pada Cidomo, singkatan dari Cikar, Dokar, dan Motor. Cikar karena ditarik oleh kuda, sebagai alat transportasi masa lalu. Dokar berwujud pada pedati yang berbahan dari alam, yakni kayu. Dan motor diwakili oleh dua ban karet yang praktis untuk diganti. Dengan membayar 15 ribu pun kita bisa menikmatinya, dengan route mulai dari dari Pelabuhan Bangsal ke pantai pulau lombok sisi barat yang berhadapan dengan selat lombok. Tujuan akhir Cidomo adalah sebuah dermaga kapal yang menjadi pelabuhan kapal yang datang dan pergi ke tiga pulau  yang berjejer di sebelah barat laut pulau lombok. Gili Air. Gili Melo. dan yang paling ujung, Gili Trawangan. Perpaduan masa lalu dan kini seolah menjelma pada Cidomo.

Kapal motor- baik yang berstatus angkutan umum yang dikelola oleh koperasi dengan tarif Rp 10 Ribu saja, shuttle yang bertarif 25 ribu, atau charter-an dengan ongkos 300 ribu, menjadi mode tranportasi modern terakhir yang bisa kita gunakan sebelum menginjak Gili Trawangan. Setelah itu, kita seolah menikmati masa lalu untuk mengarungi pesona Gili Trawangan. Ramah lingkungan, peduli global warming. Jika lelah berjalan atau menggenjot pedal sepeda- dan mempunyai duit tentunya, kita bisa menyewa Cidomo lagi dengan tarif Rp 150 ribu untuk berkeliling Gili Trawangan sepanjang pantai. Bunyi "ketoplak" dari sepatu kuda pun terdengar khas sepanjang jalan lingkar berdebu. Hanya 3 orang penumpang yang diperkenankan naik. Sepeda sewaan menjadi opsi lain yang bisa digunakan. Atau sekedar berjalan kaki saja menelusuri jalan kecil tanpa aspal. Semua terkesan alami. Mungkin orang di jaman sekarang menyebutnya ramah lingkungan. Sebuah bentuk  kepedulian terhadap Global Waming. Nyata dan efektif. Dua Pilihan Setelah digoyang-goyang kapal motor selama 40 menitan, kita seolah-olah diberi dua pilihan jalan yang sama-sama menggoda. Belok ke arah kiri, atau ke kanan setelah menginjakan kaki di pasir pantai. Belok ke kanan jatahnya orang-orang biasa yang hanya menginginkan kesederhanaan dan keterbukaan yang alami dan tradisional. Bungalow-bungalow kecil pun terlihat asri. Sebagian masih dimiliki oleh masyarakat di sana. Pilihan ber-diving dengan sewa Rp 700 ribu untuk orang awam menjadi hiburan termahal untuk pelancong yang sekedar mampir seharian di Gili Trawangan. Dengan uang Rp 70 ribu pun kita bisa ber-snorkeling di lepas pantai Gili Meno yang terlihat lebih sepi. Atau, cukup cuci mata saja. Bermodal lirikan atau kerlingan bola mata di balik kaca mata hitam, kita pun bisa melihat hamparan tubuh-tubuh bule yang dengan penutup alakadarnya. Jika Anda bosan dengan itu, cucilah mata anda dengan panorama indah dengan latar belakang Gili Meno dengan pasir putihnya, dan di belakangnya lagi, Gunung Rinjani yang menjulang tinggi.

Kita lihat sisi kiri. Mungkin ini yang paling banyak dicari, sebuah gaya hidup modern anak muda masa kini. Para pemuja hedonisme bisa menunggu pesta semalam suntuk di sisi pulau yang lebih mendekat ke selat lombok. Konon, di sana lebih dikenal sebagai "Kampung Bule" yang terlihat lepas dan bebas dalam genggaman temaramnya malam di akhir minggu. Jangan heran jika masyarakat lokal atau turis domestik seolah menjadi minoritas di sana. Terasing di antara orang-orang asing. Asing dan Terasing Konon, Gili Trawangan itu tempat pembuangan. Ada 9 orang yang dibuang ke sana. Mereka harus bisa bertahan hidup. Makannya pun cuma singkong. Begitulah kata-kata yang terucap dari seorang pemandu snorkeling. Begitu orang bugis- sebagai pelaut ulung, datang ke sana. Terjalinlah perpaduan antara mereka dengan suku asli di sana, suku Sasak. "Busak, Bugis Sasak", kata pemandu Wisata yang sabar berdiri di depan bis yang perlahan-lahan menaiki Bukit Malingbu. Dan itu pun diiyakan oleh pemandu snorkeling- yang mengaku lulusan SMA. Seorang anak muda asli dari  Gili Trawangan. Ibunya bugis, bapaknya dari suku Sasak. "Perempuan bugis itu cantik-cantik", tambahnya. Pedagang dari Makassar memang dikenal menjadi salah satu penyebar Islam di Pulau Lombok dulu. Orang Lombok- konon, ada yang berasal dari Myanmar yang bermigrasi ke Pulau Lombok, setelah melalui perjalanan panjang melalui Yunan-China, Vietnam, lalu ke Nusa Penida. Mereka disebut Lombok Mira. Sedangkan asal muasal orang Sasak yang kedua adalah dari Jawa. Mereka disebut Lombok Adi. Bukankah Pulau Lombok dulu sering disebut Sunda Kecil? Jadi selalu ada hubungan historis antara sunda kecil dengan pulau Jawa yang dulu termasuk sunda besar. Kedua jalur leluhur tersebut, katanya berbeda di lihat dari warna kulit, bentuk wajah, hidung, dan warna bola matanya. "Tatap wajah saya yang lonjong, hidung mancung, kulit gelap, dan bola mata kecoklatan", kata Yakob- pemandu kami selama tiga hari mengarungi Pulau Lombok. "Leluhur Saya berasal dari Myanmar", tambahnya sambil senyum-senyum. Siapa sangka, dari orang-orang yang dulu terbuang- sekali lagi ini obrolan ringan dengan sang pemandu, Gili Trawangan menjelma menjadi sebuah obyek wisata yang semakin banyak dikunjungi orang. Dari terasing menjelma menjadi obyek wisata yang berhasil mengundang orang-orang asing. Sebuah perjalanan hidup yang bak roda Cidomo yang berjalan mengelilingi Gili Trawangan. Dulu terasing, kini menjadi rebutan orang asing.

Simbiose antar budaya- yaitu budaya masa lalu yang mungkin semakin terlupakan dengan budaya kini- yang berkembang di balik derasnya modernisasi, seolah sedang terjadi di tiga gili. Siapa yang lebih diuntungkan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun