[caption id="attachment_111285" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Masih segar terdengar sayup-sayup suara teman-teman yang bergulat dengan jasa "micro-finance" di Pontianak. Tepatnya pada saat workshop dengan materi "ICT for Micro Finance" pada ajang konferensi international di Pontianak tanggal 18 Mei kemarin.
"Internet itu mahal pak, kami belum saatnya menggunakannya !", ujar seorang peserta.
"Kami seperti hilang di telan bumi ketika mengunjungi wilayah operasi yang tidak terjangkau telekomunikasi!", tambah temannya yang mempertanyakan peran pemerintah dalam menyediakan infrastruktur di daerah.
"Kaya dulu, baru bisa bermain internet!", seru temannya lagi yang menganggap internet itu memang mahal.
Begitulah nada pesimisme yang memencar dari diskusi para praktisi yang sehari-harinya bergulat dalam melayani kebutuhan hidup orang kecil melalui Credit Union. "Seperti telor dan ayam, mana yang lebih dahulu ada", begitulah susahnya menjelaskan peran ICT untuk layanan "micro-finance". Susah dalam arti bahwa masih ada kendala infrastruktur telekomunikai di Indonesia yang belum bisa menjangkau seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar jawa. Seolah ada kesenjangan digital secara regional, antara kota dan desa, antara jawa dan luar jawa. Namun kok Bangladesh, India, China, dan beberapa contoh negara lainnya bisa memanfaatkan ICT untuk "micro-finance". ICT ternyata bisa digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin. Konsep digital divide yang menunjukkan kesenjangan tingkat penggunaan teknologi antara negara maju dan negara berkembang, atau antara satu komunitas tertentu dengan komunitas lainnya, menimbulkan anggapan bahwa penguasaan teknologi berhubungan dengan kemiskinan. Tak heran jika Worldbank membuat program "ICT for the poor". Implementasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bukan proses yang mudah untuk dilakukan. Meskipun potensi manfaatnya besar, proses implementasinya tidak mudah dan bebas-resiko (atau murah). TIK bukanlah peluru emas yang sekali tembak, selesai sudah semua masalah. Bertindak rasional, luwes,serta sudut pandang dan pemikiran yang terbuka merupakan faktor kunci dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi yang sudah ada dan mengkaji penggunaan teknologi baru di masa yang akan datang. Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman pengembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya untuk pembedayaan jasa micro-finance. Pertama, pengembangan pendekatan berdasarkan kebutuhan dan permintaan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah sekedar alat sehingga pengguna membutuhkan pedoman untuk mengoperasikannya sesuai dengan kebutuhan, atau jangan karena latah atau mengikuti arus. Internet jangan hanya untuk "gaya-gayaan" atau mengikuti "trend" semata. Kelihatannya memang sederhana, tetapi dorongan penggunaan teknologi oleh lembaga donor, pemerintah, dan konsultan kadang-kadang terlalu melebihi dari fakta di lapangannya. Kedua, Bersikap realistis mengenai apa yang bisa dikerjakan oleh teknologi. Sebagai alat (enabler), teknologi informasi dan komunikasi juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan.Teknologi tersebut kadang-kadang digunakan sebagai obat atau solusi yang bersifat umum atau generik untuk mengatasi masalah institusi atau sosial yang berat, padahal dalam kenyataannya tidak seperti itu. Selain itu, ketika biaya pengadaan teknologi relatif besar, kita kadang membuat justifikasi biaya tersebut dalam bentuk proyeksi manfaat teknologi yang tidak realistis. Ketiga, memastikan skema implementasi yang fleksibel dan menyeluruh. Berkaitan dengan anggapan teknologi sebagai obat untuk semua masalah (padahal tidak seperti itu), teknologi informasi dan komunikasi perlu diintegrasikan ke dalam kerangka kerja yang terintegrasi secara menyeluruh. Ahli Teknologi perlu bekerja sama dengan ahliahli di bidang lain. Selain itu, mengingat banyak pekerjaan yang bersifat baru, bahkan mungkin berubah karena situasi sosial, ekonomi, dan politik yang berfluktuasi,program-program perlu dibuat se-fleksibel mungkin. Bahkan teknologi itu sendiri selalu berubah, bahkan sulit diiukuti terus perubahannya. Keempat, Hati-hati terhadap konsekuensi yang tidak diharapkan. Teknologi informasi dan komunikasi tidak selalu menghasilkan output yang diinginkan. Sebagai contoh, ketika pegawai bagian kredit menggunakan peralatan yang hemat waktu (misalnya Smart Cards dan Personnal Digital Assistance, PDA), mereka mungkin bisa melayani jumlah pelanggan yang banyak. Tetapi, tergantung pendekatannya, hubungan antara pegawai tersebut dengan pelanggan mungkin memburuk karena berkurangnya kontak langsung. Pada akhirnya hubungan yang memburuk tersebut sering mempengaruhi tingkat pengembalian angsuran oleh pelanggan. Solusi sederhanya adalah tetap menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan pelanggan untuk menjaga hubungan. Jadi sebelum dan selama proses implementasi, konsekuensi yang tidak diharapkan perlu diidentifikasi dan dicari strategi solusinya. Perlu diingat, kadang teknologi tidak selalu bsia menggantikan manusia. Saya tidak tahu, apakah teman-teman tetap mempunyai anggapan bahwa internet dapat diterapkan dalam proses bisnis yang sedang mereka jalani atau tidak. Biarlah mereka sendiri yang memutuskannya. ----- Saya malah teringat dengan Kompasiana, sebuah contoh "mainan" di dunia maya. Saya meyakini bahwa Kompasianer tergolong orang-orang kaya. Kaya dengan pemikiran, kaya dengan pengalaman, kaya dengan wawasan, dan segala bentuk kekayaan yang lainnya. Kalau tidak kaya, mana mungkin saya bisa belajar untuk menjadi orang kaya di sini :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H