Mohon tunggu...
budi hatees
budi hatees Mohon Tunggu... -

Saya kelahiran Sipirok, sebuah kota kecil di Tapanuli Selatan, 37 tahun lalu. Lama berkegiatan di dunia jurnalistik (sejak 1993), lalu 2009 memutuskan berhenti. Sekarang saya lebih banyak berteman dengan rekan-rekan pendidik dan murid-murid mereka. Saya hanya seorang murid yang tak pernah puas mengejar ilmu. Kompasiana merupakan institusi pendidikan baru bagi saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hak Jemaah Haji Sering Dihilangkan

18 Desember 2010   12:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:37 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makanya, saya hanya memperhatikan mereka dari jauh. Sambil mengagumi betapa cinta yang terbina di antara mereka telah tumbuh begitu perkasa, lebih perkasa dari tubuh mereka yang tua dan ringkih.

***

Suatu hari saat di Armina, saat makan pagi, seperti biasa terjadi antrean panjang. Triono, seperti biasa, ikut antre. Dalam hati, ia berniat membawakan makanan untuk istrinya. Tapi, usai shalat Subuh, Triono belum bertemu istrinya. (Maklum, tempat penginapan alias tenda terpisah). Triana sendiri, ketika jadwal makan pagi itu, masih di kamar mandi (ikut antrean panjang di depan pintu kamar mandi).

Karena tak bertemu istrinya, Triono berniat mengambil makanan untuk istrinya. Ia ikut antre panjang. Orang setua Triono tak mendapat prioritas. Urusan makan, dimanapun, memang tak melihat usia. Saya sendiri jauh di belakang Triono. Triono tetap tegar. Kekuatannya, saya yakin, karena ia berniat mengambilkan makanan untuk istrinya. Ia laki-laki yang luar biasa. Untuk istrinya, ia siap antre berjam-jam. Kaki-kaki tuanya, sendi-sendi lemahnya, seolah masih 17 tahun.

Triono memang top.

Tapi, ketika giliran Triono tinggal empat orang lagi, mendadak si pembagi makanan berteriak: "Habis!" Itu tandanya jatah makanan habis. Padahal, masih bannyak yang belum kebagian. Triono lesuh. Triono sedih. Triono, mungkin, membayangkan istrinya yang tak akan makan. Triono, seperti juga jemaah haji lainnya, hanya bisa bersabar.

Saya yang masih muda, justru tak bisa sabar. Bukan karena terlalu lapar, tapi tak tahan melihat wajah lesuh Triono. Saya teringat pada percakapan dengan seorang petugas haji di Daker, beberapa hari sebelumnya. Petugas haji dari kementrian urusan haji itu berkata: "Ongkos haji yang dibayarkan jemaah haji Indonesia itu dipilah-pilah untuk pembayaran: penginapan haji, transportasi haji, makan haji, biaya sampah (kebersihan) di Mekah, kesehatan haji, asuransi haji, dan lain sebagainya."

Saya berpikir, para jemaah haji adalah konsumen yang mesti dilayani Pemerintah Arab Saudi. Berbekal tahu soal melayani konsumen, saya datangi petugas pembagi makanan. Saya tanya kenapa makanan habis. Petugas bilang jatah sudah habis sambil menunjukkan tempat makanan yang sudah kosong. Saya melotot. "Masih banyak yang belum makan, kenapa jatah Kalian kurangi?"

"Tidak dikurangi. Sama kok dengan sebelumnya."

"Kalau sama, kenapa masih ada yang belum makan?"

"Kami tidak tahu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun