Mohon tunggu...
budi hatees
budi hatees Mohon Tunggu... -

Saya kelahiran Sipirok, sebuah kota kecil di Tapanuli Selatan, 37 tahun lalu. Lama berkegiatan di dunia jurnalistik (sejak 1993), lalu 2009 memutuskan berhenti. Sekarang saya lebih banyak berteman dengan rekan-rekan pendidik dan murid-murid mereka. Saya hanya seorang murid yang tak pernah puas mengejar ilmu. Kompasiana merupakan institusi pendidikan baru bagi saya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bahasa, dari Andal Sampai Handal

19 Mei 2010   02:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:07 704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki tua itu handal berkelahi. Setelah menelikung tangan, ia menyocor lawannya ke tanah, lalu menghimpit kepalanya dengan lutut.


SEPINTAS wacana di atas tak keliru. Tapi coba perhatikan kata “handal” dan “himpit” atau penggunaan kata yang huruf awalnya diawali dari vocal “a”, “i”, “u”, “e”, dan “o”. Kata-kata berhuruf awal vocal acap dipergunakan dalam bahasa tulis maupun lisan, tetapi sering keliru penggunaannya.
Kekeliruan itu tidak cuma dilakukan masyarakat awam tata bahasa, semantik, dalam pergaulan sehari-hari, tetapi juga kalangan intelektual dalam makalah-makalah ilmiah mereka. Seolah ada konvensi baru, kata “andal” kemudian menjadi “handal”, kata “ubah” menjadi “rubah”, kata “usap” menjadi “husap”, kata “empas” menjadi “hempas”, kata “alang” menjadi “halang”, dan sebagainya.

Dalam sebuah lagu yang diciptakan Dewa dan dinyanyikan Once, kita menemukan kata “ubah” menjadi “rubah” dalam kalimat “tak akan mampu merubah perasaanku kepadamu”.
Dalam sejumlah kalimat pada penulisan berita di media, acap kita temukan kata “andal” menjadi “handal”. Simak berita berjudul “E-goverment Belum Didukung SDM Handal” (diterbitkan di Antara News pada 8 Maret 2010):
“Bekasi (ANTARA News)- Pelaksanaan e-goverment di lingkup pemerintahan daerah belum sepenuhnya didukung oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sehingga tidak berjalan maksimal.”

Pemakaian kata “handal” betul-betul menjadi baku. Padahal, kata yang benar adalah “andal” tanpa huruf “h”. Namun, lantaran terbiasa memakai kata “handal”, kemudian menjadi konvensi. Orang pun merasa janggal ketika memakai kata “andal”. Sama halnya dengan kata “impit”, “antar”, “anjung”, “andai”, “anduk”, “embus”, “empas”, “usap”, dan lain sebagainya, kita selalu menemukan penambah huruf “h” pada awal setiap kata dasar yang diawali dengan huruf vocal “a”.

Para sarjana acap melakukan kekeliruan ini. Beberapa kali mengeditori naskah-naskah skripsi, disertasi, dan tesis, saya selalu mengubah jika menemukan pemakaian huruf-huruf seperti di atas. Tapi, para dosen pembimbing selalu menyalahkan dan menilai kata dengan penambahan huruf “h” sebagai benar.

Pengalaman serupa juga saya temukan saat menyunting sejumlah naskah penelitian yang dilakukan rekan-rekan dosen. Naskah-naskah yang dipersiapkan untuk diterbitkan jurnal-jurnal ilmiah di institusi pendidikan tinggi itu, dipenuhi oleh kata yang tak saya temukan dalam kamus umum. Kata-kata yang hanya muncul dalam bahasa lisan, yang disampaikan seseorang hanya untuk tujuan: “yang penting komunikasi terjalin”.

Memang, pada naskah-naskah hasil penelitian, sering ditemukan kode-kode bahasa yang asing (alians code). Tapi, kode-kode bahasa itu menjadi asing karena berkaitan dengan istilah-istilah ilmiah yang belum bisa ditemukan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Saya bisa memaklumi kode-kode bahasa seperti itu, meskipun para peneliti tetap harus tertib berbahasa dengan mengupayakan mencari padanan yang tepat.

Namun, sulit bagi saya memaklumi kesalahan-kesalahan penggunaan kata seperti yang disinggung pada awal tulisan ini.

Kesalahan penggunaan kata dengan mengubah huruf, sesungguhnya tidak bisa diterima. Perbuatan itu bukan saja menyebabkan Bahasa Indonesia menjadi sangat buruk, tetapi juga menghilangkan akar Bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu.

Ketika mendengarkan percakapan antara Upin dan Ipin dalam film animasi buatan Malaysia, secara mendadak saya merasa ada banyak kosa kata dalam Bahasa Indonesia yang “dihilangkan”, “tidak dipakai”, atau “punah” secara sengaja. Kosa kata yang justru dipergunakan oleh Upin, Ipin, dan tokoh-tokoh lain dalam film animasi itu. Kosa kata yang membawa ingatan saya pada masyarakat pesisir Melayu di Belawan, Tanjung Balai, Kisaran, Medan, Batubara, dan lain sebagainya.

Kosa kata itu, salah satunya, kata “kali”. Kata ini tak cuma bermakna sebagai operasional matematika.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun