Mohon tunggu...
Esti Budihabsari
Esti Budihabsari Mohon Tunggu... -

i'm an editor, translator, and most importantly a book lover

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sambal Petai Cinta

23 April 2013   09:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:45 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kecil aku nggak suka ikan asin, terasi, apalagi petai dan jengkol. Bahkan setiap kali ada sambal saja di meja makan, aku suka nyembunyiin di lemari saat makan karena nggak tahan baunya. Meski sering Bapak protes karena kehilangan sambalnya. Mungkin semua itu terpengaruh oleh masakan Ibu yang tak pernah menghidangkan ikan asin, sambal terasi, petai dan jengkol. Karena ibu juga tak suka baunya.

Maka tak terbayangkanlah saat aku menikah dengan suami yang gemar makan petai. Di awal-awal pernikahan, suami biasanya harus makan di luar untuk menikmati kegemarannya. Itu pun aku sering protes karena kamar mandi jadi bau. Namun, protesku bagaikan angin lalu. Lebih parah lagi, setiap ada mertua atau saudara dari suami datang dari kampung, petai selalu terselip diantara oleh-olehnya. Aku tak bisa apa-apa saat kakak ipar atau mertua yang berkunjung di rumah memasak petai oleh-oleh mereka. Meski seringkali saat mereka pulang, aku biarkan petai itu mengering dan terbuang.

Lama-kelamaan, cinta mengalahkan keenggananku. Aku belajar memasak sambal terasi dan menggoreng ikan asin. Dan lama-lama aku suka juga menyantapnya. Apalagi kalau sepiring berdua. Tetapi aku tetap say no, kepada petai dan jengkol.

[caption id="attachment_249444" align="aligncenter" width="300" caption="sambal ikan peda bikinanku (enak juga)"][/caption]

It goes downhill from there. Aku menyerah.....

Setelah dengan banyak rayuan dan rengekan dari sang kekasih, aku pun membolehkan dia memasak jengkol dan petai. Catat ya, dia yang masak. Aku yang belanja dan nyiapin bumbunya. Tak lama setelah itu, kekalahan kian nyata. Demi cinta, apalagi keponakan yang baru datang dari kampung untuk kuliah ke bandung membawa oleh-oleh serenteng petai, aku mencoba memasak sambal petai. Meski agak sedikit berkerut-kerut dan geli saat mengupas petai, apalagi kalau ada ulat-ulat kecilnya.Hiii... Si Ayah, lumayan surprise melihatnya. Meski saat memakannya dia protes juga, “Kepedesan, Ma.”

[caption id="attachment_249446" align="aligncenter" width="300" caption="Kepedesan Ma (katanya)"]

13666837361995064527
13666837361995064527
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun