Sedari kecil dari umur 3 tahun sampai dengan lulus dari Akademi Fisioterapi Depkes Surakarta tahun 1988, hidup saya bermain dan bergaul dengan teman-teman difabel (different ability), kebetulan almarhum ayah saya dulu bekerja di Rehabilitation Centrum Prof Dr. Soeharso Solo yang dulu dikenal dengan nama RC tepatnya terletak di daerah Jebres Solo yang sehari-harinya membantu teman teman difabel. Karena setiap hari bermain dan bergaul dengan teman teman difabel saya tahu persis bagaimana mereka sehari-harinya yang tinggal didalam asrama baik dari sisi perilaku dan masing-masing karakternya. Dari sekian banyak teman teman-teman difabel alumni RC banyak yang sukses dan banyak juga yang belum beruntung. Hambatan terbesar ketika kembali ke kampung halamannya adalah adanya stigma negatif dari masyarakat yang belum bisa menerima teman-teman difabel apa adanya, sehingga sebagian merekapun kembali lagi di Solo mengadu nasib karena mereka bilang, “saya merasa nyaman di Solo yang sangat ramah pada saya dan masyarakat Solo memahami saya apa adanya dengan apa yang saya miliki sedangkan dikota saya mereka masih ada yang menganggap saya ini berbeda dengan yang lain, sehingga ketika melanjutkan sekolah dan bekerjapun saya masih dipandang sebelah mata”.
Situasi diatas menempa naluri saya memiliki harapan suatu saat menjadi terapis bagi mereka-mereka yang belum beruntung termasuk teman-teman difabel dan anak berkebutuhan khusus. Besok tanggal 2 April 2014 kita akan memperingati Hari Kesadaran Autisme Sedunia yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Desember 2007 sebagai “World Autism Awerenes Day” (WAAD) yang telah disetujui PBB, tanggal itu diusulkan oleh utusan Negara Qatar yang kemudian didukung oleh semua Negara anggota dengan menghasilkan empat keputusan yaitu: (1) menetapkan 2 April sebagai hari Kesadaran Autisme Sedunia, (2) Partisipasi dari semua organisasi PBB, Negara-negara anggota , LSM dan semua elemen swasta dan masyarakat untuk mendukung hari Kesadaran Autisme Sedunia, (3) meningkatkan kesadaran Autisme pada semua tingkatan masyarakat, (4) Sekretaris Jendral PBB harus menyampaikan pesan ini kepada semua anggota PBB dan semua lembaga dibawah naungan PBB (Wikipedia.org). Pertanyaan selanjutnya adalah sudahkan kita ramah dan memahami sepenuhnya pada anak dengan Autisme?
Berdasarkan resolusi PBB tersebut, adalah mutlak bagi pemerintah Indonesia untuk melaksanakan komitment tersebut tanpa kecuali. Dirasakan atau tidak jumlah anak dengan Autisme saat ini di Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah. Saya sendiri belum tahu berapa prevalensi anak dengan Autisme di Indonesia karena saya belum pernah membaca kajian survey untuk mengetahui berapa jumlah penyandang anak dengan Autisme ini di Indonesia. Jumlah anak dengan Autisme terlihat mulai meningkat sekitar tahun 1990an dimana topik tentang Autisme mulai banyak diseminarkan dan menjadi ‘trending topic’ karena begitu kompleksnya permasalahan seputar anak dengan Autisme. Beberapa indikator peningkatan anak dengan Autisme ini bisa dilihat adanya peningkatan kesadaran dari masyarakat sering mengikuti seminar dan workshop dengan tema Autisme, semakin banyak media yang membahas seputar Autisme, dan semakin banyaknya berdirinya institusi pelayanan untuk anak Autisme baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah. Bahkan sekarang sudah banyak rumah sakit umum dan rumah sakit khusus juga mulai membuka pelayanan tumbuh kembang anak dan ini sangat membantu sekali.
Mengingat begitu kompleks permasalahan anak dengan Autisme, sebagai praktisi dibidang anak dengan kebutuhan khusus sejak tahun 1996, banyak cerita yang sangat mengharukan yang saya dengar dari para orang tua yang memiliki anak dengan Autisme. Ada yang bercerita tidak bisa melakukan aktifitas apapun karena anaknya sangat hiperaktif, mudah emosi, belum bisa melakukan apa-apa sehingga tidak bisa ditinggal dan dengan terpaksa meminta bantuan orang tuanya, ataupun saudara dekatnya yang bisa dimintai pertolongan. Dalam aktivitas keseharian sering dijumpai betapa sibuknya seorang ibu mulai dari pagi harus menyiapkan semua keperluan anak mulai dari masak menu makan untuk anaknya yang harus diet CF-GF, serta menu makan bagi anggota keluarga yang lain, mengantar ketempat terapi atau ke sekolah, melakukan home program di rumah, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah ada habisnya sampai menjelang anak tidur. Disisi lain ada lagi cerita seorang ibu yang ditolak berkali-kali oleh sekolah karena anaknya yang mau sekolah menyandang Autisme, maupun seringnya berurusan dengan sekolah yang berkaitan dengan anaknya. Edisi cerita lain yang sangat melelahkan kisah ibu-ibu yang mengantarkan terapi anaknya naik angkutan umum dengan berpindah-pindah bus beberapa kali karena didaerahnya belum tersedia pusat terapi untuk anak dengan Autisme. Duka lain yang mendalam ada juga kisah yang menyakitkan ketika ada suami yang menceraikan istrinya karena anaknya didiagnosis Autisme kemudian istri dan anaknya ditinggal anaknya hidup berdua dengan beban yang sangat berat tidak hanya bekerja untuk bertahan hidup tetapi juga si Ibu berjuang untuk mengasuh anaknya sendirian. Penderitaan lain masih belum lengkap ketika orang tua yang memiliki anak dengan Autisme harus berjibaku untuk mengasuh dan membesarkan anaknya dan kadang harus berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari metode terapi yang tempat atau pendidikan yang tepat untuk anak-anaknya yang tercinta. Ketika sudah mendapatkan tempat terapi atau sekolah yang cocok untuk anaknya, pengorbanan kadang harus dibayar dengan mahal ketika harus berpisah dengan suaminya sementara istri dan anaknya harus tinggal di kota lain yang tentu saja hal ini menambah pengeluaran ekstra untuk biaya kos, makan, biaya terapi atau biaya sekolah, biaya obat atau supplement dan biaya lain yang diperlukan.
Cerita singkat diatas sangat memilukan untuk dilihat, didengar, bahkan untuk dirasakan. Beban keluarga terutama ibu begitu sangat berat mengasuh anak dengan Autisme. Hal ini terjadi karena biasanya ayah bekerja untuk mencari nafkah dan ibu tinggal di rumah tidak hanya bekerja menyelesaikan pekerjaan rumah tangga tetapi juga harus mengasuh dan mendidik anaknya. Beban ini bertambah berat manakala masih ada orang lain yang memiliki pandangan negatif terhadap anak dengan Autisme dimana kata Autisme dipakai untuk bahan guyonan atau olok-olokan ataupun anak ataupun orang tua menerima perkataan yang tidak santun yang diucapkan oleh orang lain “anaknya kok aneh kaya gitu” ataupun anak dengan Autisme mendapatkan perlakuan yang kurang nyaman di tempat umum seperti di Mall. Pandangan negatif terhadap anak dengan Autisme ini dirasa sangat menyakitkan. Sudah bukan saatnya lagi dan harus ditinggalkan selamanya bahwa Autisme bukan untuk dibuat humor, olok-olokan atau bahan ejekan serta berbagai sikap dan pandangan negative terhadap anak dengan kebutuhan khusus termasuk anak dengan Autisme.
Dari sisi pelayanan, jumlah sumber daya manusia yang kompeten dibidangnya yang tersedia di Indonesia masih sangat kurang dan hanya terkonsentrasi di kota-kota besar dan lebih banyak di pulau Jawa. Sementara keluarga yang berada di luar pulau Jawa dan wilayah kepulauan yang kecil-kecil di seluruh pelosok Indonesia belum mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya bahkan tidak ada. Jumlah okupasi terapis (OT) profesi kesehatan yang memberikan terapi anak untuk mandiri dalam aktivitas kesehariannya pada tahun 2012 sekitar 980 yang artinya setiap 10.000 orang hanya dilayani 0.04 OT (www.wfot.org). Jenis pendidikan untuk menghasilkan profesi ini hanya dua institusi yaitu Poltekkes Surakarta dan Sekolah Vokasi Universitas Indonesia. Adapun untuk Terapis Wicara (TW), profesi kesehatan yang melatih anak untuk melatih anak yang mengalami gangguan bahasa dan wicara sekitar 550 terapis wicara dan saat ini hanya tersedia tiga institusi yang menghasilkan terapis wicara yaitu Akademi Terapi Wicara YBW Jakarta, Poltekkes Surakarta dan Poltek Al Islam Bandung (Ikatwi Pusat, 2014) Jumlah profesi TW ini juga masih sangat kurang dibandingkan dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan terapi wicara. Sementara itu jumlah Fisioterapis yang memberikan terapi fisik jauh lebih memadai dengan banyaknya institusi pendidikan fisioterapi diberbagai kota di Indonesia. Sementara itu jumlah Psikolog sudah banyak tetapi juga masih kurang dibandingkan dengan jumlah anak yang harus dilayani. Kondisi yang lebih ironis lagi dokter yang berpengalaman di bidang ini sangat kurang apalagi pada spesialisasi yang sangat khusus yang berkaitan dengan masalah jamur di usus, alergi, dll. Di sisi lain dalam bidang pelayanan pendidikan walaupun mulai banyak sekolah yang menerima anak dengan Autisme tetapi hanya ada di kota besar bahkan kadang tidak ada sama sekali. Ironisnya lagi jika ada sekolah yang diselenggarakan oleh swasta biayanya mahal sekali dan tidak mungkin terjangkau oleh orang tua dengan penghasilan pas-pasan. Apalagi adanya gagasan pembatasan bagi anak dengan kebutuhan khusus untuk mengikuti SNMPTN yang kita baca di media adalah hal yang tidak masuk akal dan hal ini sangat melukai para keluarga yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus karena sudah jelas tidak sesuai dengan hak asasi hidup manusia sebagai insan yang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Dari sisi pemahaman dan sikap pada anak dengan Autisme, sangat penting bagi kita semua mulai dari anggota keluarga, dan semua masyarakat umum pada berbagai level untuk menerima apa adanya, memahami sepenuhnya tentang Autisme dan membangun sikap positif pada anak-anak dan para keluarga yang memiliki anak dengan Autisme. Ini kunci yang sangat penting bagi anak dan para keluarga jika semua elemen masyarakat sudah paham dan menerima anak dengan Autisme paling tidak bisa menyikapinya secara positif jika bertemu mereka di tempat umum seperti di sekolah, rumah sakit, mall, di jalan , dll. Bagaimana harus bersikap dengan dengan mereka, kalimat apa yang tidak pantas diucapkan, bagaimana berbicara dengan mereka, bagaimana bermain dengan mereka, bagaimana harus bersikap serta memperlakukan mereka jika anak tersebut mengalami tantrum di tempat umum, dll. Hal ini memang tidak mudah dan memerlukan waktu. Karena kesadaran dan pemahaman yang benar tentang Autisme akan membuat kenyamanan pada para orang tua yang memiliki anak dengan Autisme dan anak-anak itu sendiri. Dengan demikian paling tidak akan mengurangi level stres dan kepayahan yang dialami oleh para orang tua yang memiliki anak dengan Autisme.
Upaya diatas bisa dilakukan dengan memberikan edukasi kepada masyarakat pada semua level dan usia dengan cara memberikan penjelasan secara langsung, melalui brosur/booklet, seminar, membuat film penjelasan tentang Autisme di media sosial, dll. Sudah banyak lembaga swadaya masyarakat yang dengan gigih memberikan edukasi masyarakat baik dengan metode seperti Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) yang baru baru ini bekerja sama dengan pemerintah DKI menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk mewujudkan program Jakarta Ramah Autis dengan mengadakan training, advokasi, serta membagikan brosur dan film secara gratis tentang penanganan anak dengan Autism ke seluruh Indonesia; Yayasan Autisma Indonesia dengan program edukasi dan pelatihan di berbagai tempat; Forum LRD yang memberikan informasi dan ajang diskusi bagi para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus baik melalui media online seperti facebook dan bulletin LRD yang diterbitkan secara berkala; Putera Kembara yang juga getol memberikan berbagai ajang berbagi sesama orang tua yang memiliki anak kebutuhan khusus baik melalui media online maupun kopi darat. Dan masih banyak peran masyarakat yang lain yang berjuang untuk melawan Autisme. Hasilnya sudah banyak menunjukkan kemajuan tetapi masih banyak masyarakat yang masih belum mengerti sepenuhnya apa itu Autisme?
Upaya yang dilakukan pemerintah juga sudah mulai menunjukkan langkah nyata dengan membuka pusat-pusat pelayanan Autisme baik dalam pendidikan maupun pelayanan kesehatan namun hasilnya belum maksimal, bahkan kadang masih bersifat seremonial tanpa ada pengembangan yang jelas dilihat dari segi sumber daya manusia, sistim yang harus terintegrasi satu dengan yang lain, standarisasi SDM, sarana dan prasarana yang masih jauh dari harapan orang tua dan masyarakat pemerhati anak dengan kebutuhan khusus. Kadang juga masih dibumbui dengan ego masing-masing sehingga pelayanan kurang terintegrasi dengan baik.
Hal yang paling penting bagi para pembuat kebijakan adalah adanya “willingness” untuk membantu anak dengan kebutuhan khusus beserta keluarga mereka. Paling tidak pemegang kebijakan mau “mendengarkan” keluhan dan harapan para orang tua dan pemerhati anak dengan kebutuhan khusus, mau “belajar” kemudian mau “menindak lanjuti” dengan merealisasikan dengan program yang nyata. Dengan demikian akan banyak membantu dan mengurangi beban para orang tua yang memiliki anak dengan Autisme dan anak dengan kebutuhan khusus yang lain. Jika tidak ada “willingness” dari para pemegang kebijakan, beban orang tua yang memiliki anak dengan Autisme akan semakin bertambah dan bertambah berat dan hal ini harus dicegah dan dihindari sedini mungkin. Paling tidak harus sudah ada upaya memberikan informasi yang jelas kepada siapa harus bertanya atau konsultasi, dimana tempatnya sehingga para orang tua yang memiliki anak dengan Autisme dan yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus yang lain tidak melakukan perjalanan “shopping therapy” dari satu tempat ke tempat lain yang begitu banyak menguras tenaga, waktu dan biaya serta beban psikologis yang begitu berat dan hal ini terkadang tidak diketahui oleh para pemegang kebijakan karena “ketidaktahuan, ketidakpedulian atau ketidakmauan” untuk menyelami perjalanan panjang para orang tua untuk mencari solusi terbaik bagi putra-putri mereka tercinta.
Dari sisi pengembangan sumber daya manusia, sangat perlu menambah jumlah dan meningkatkan kualitas tenaga pengajar minimal pada level magister syukur bisa pada level doktor pada bidang Autisme pada profesi masing-masing sehingga nantinya akan mampu menghasilkan terapis maupun pendidik yang lebih berkualitas di bidangnya. Dari segi anggaran saya kira pemerintah kita mampu untuk mengirimkan putra-putri terbaiknya untuk belajar di luar negeri sehingga Indonesia akan memiliki dosen yang berkualitas dalam bidang ini. Masyarakat sudah terlalu luka dan apatis jika melihat tayangan kasus korupsi yang merampok uang negara milyaran rupiah demi kepentingan diri sendiri atau sekelompok masyarakat untuk berambisi mengeruk keuntungan yang mereka inginkan, sementara untuk urusan pengembangan SDM masih lemah. Jika memang anggaran untuk menyekolahkan masih minim masih banyak jalan memberikan fasilitas kursus bahasa Asing untuk mencari bea siswa sesuai dengan keilmuan yang dibutuhkan serta memfasilitasi ijin untuk belajar diluar negeri karena negara-negara maju banyak memberikan bea siswa, disisi lain masih ada yang berpendapat kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah? Jika telah banyak SDM yang berkualitas bisa menambah jumlah institusi pendidikan dengan distribusi merata di wilayah Indonesia sehingga akan menghasilkan tenaga kesehatan dan pendidik yang professional.
Harapan terakhir, kita seharusnya iri pada negara-negara yang begitu peduli kepada rakyatnya dengan memberikan pelayanan terbaik dengan system yang terintegrasi dengan bagus kepada semua masyarakatnya pada semua level dan kondisi yang dialaminya termasuk pelayanan kepada anak-anak dengan kebutuhan khusus. Orang tua yang memiliki anak dengan Autisme dan orang tua dengan anak dengan kebutuhan khusus yang lain juga warga negara Indonesia dan mereka juga membayar pajak dan saya yakin mereka warga negara yang baik untuk Indonesia, mereka bukan warga negara kelas dua, mereka secara undang-undang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara yang lain. Sesuai dengan amanat undang-undang, melalui media ini saya mengharapkan peran aktif pemerintah untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada bidang kesehatan dan pendidikan serta pelayanan publik dalam hal aksesibilitas pada semua infrastruktur yang sangat mudah dikatakan namun kadang sulit untuk dilakukan, dan Insya Allah bisa dilakukan hanya satu kata “kemauan” ! semoga Allah membuka pintu mata hati mereka Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H