Mohon tunggu...
Budi Benedictus
Budi Benedictus Mohon Tunggu... -

National character cannot be built by law. It is the sum of the moral fiber of its individuals ~ Herbert Hoover

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Perbankan Indonesia Berpesta Laba Besar

4 April 2015   01:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:34 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Industri Perbankan di Indonesia beberapa tahun belakangan ini menikmati laba besar bahkan keuntungan ini lebih besar 2 kali lipat dibanding dengan perbankan di Amerika Serikat. Mengutip data dari OECD Economic Surveys 2015, perbankan di Indonesia adalah yang paling menguntungkan dibandingkan industri perbankan negara-negara anggota G20 lainnya. Rata-rata return on equity (ROE) 5 bank terbesar Indonesia adalah sebesar 23%. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Tiongkok, bank dengan ukuran yang sama hanya memiliki nilai return sebesar 21%, Kanada sebesar 20%, atau lebih besar dua kali dari Amerika Serikat yang hanya memiliki return sebesar 9%. Tentunya jika perbankan di Indonesia bisa lebih efisien keuntungan akan lebih besar.

ROE adalah rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih yang dikaitkan dengan modal perusahaan.

Keuntungan ini didorong oleh faktor besarnya Net Interest Margin (ukuran perbedaan antara bunga pendapatan yang dihasilkan dan nilai bunga yang dibayarkan kepada pemberi pinjaman). Rata-rata marjin bank-bank besar adalah sebesar 7%. Nilai ini adalah yang tertinggi diantara negara-negara anggota G20. Sedangkan rata-rata bunga pinjaman sebesar 12%, sedangkan Bank hanya memberikan rata-rata 5% di deposito.

The high returns ini Indonesia are driven by net interest margins, which at an average of 7 percentage points, are the highest in the G20 (the average interest loans is 12%, while the average rate paid to depositors is 5%). - OECD Economic Surveys 2015

[caption id="attachment_407459" align="aligncenter" width="453" caption="Sumber: OECD Economic Surveys - Indonesia 2015"][/caption]

[caption id="attachment_407460" align="aligncenter" width="453" caption="Sumber: stlouisfed.org"]

1428084205440032814
1428084205440032814
[/caption]

Kondisi ini disebabkan karena tingginya permintaan kredit namun tidak diimbangi dengan ketersediaan uang (tabungan) yang dapat dihimpun, sehingga sangat menguntungkan bagi Bank pemberi pinjaman. Bank Rakyat Indonesia misalnya, memiliki nilai ROE diatas 30% dan Net Interest Margin diatas 8% pada tahun 2014. Berbeda dengan bank-bank di negara barat lainnya seperti Deutsche Bank, UBS, Barclays dimana industri perbankan sulit untuk meningkatkan keuntungannya, bahkan dengan bunga pinjaman yang jauh lebih rendah dibandingkan di Indonesia. Secara global, ROE industri perbankan hanya dikisaran 9% pada tahun 2014. Keuntungan perbankan Indonesia sangat tinggi jika dibandingkan rata-rata industri secara global.

[caption id="attachment_407461" align="aligncenter" width="453" caption="Sumber: McKinsey Global Banking Annual Review 2014"]

14280848161134271577
14280848161134271577
[/caption]

Beberapa analis mengatakan, salah satu faktor tingginya Net Interest Margin perbankan di Indonesia ini disebabkan oleh tidak efisiennya bank dalam beroperasi. Untuk membayar beban operasi yang tinggi, bank harus menaikkan Net Interest Marginnya. Jika bank mampu mengurangi beban operasionalnya, biaya utang dapat berkurang. Keuntungan perbankan di Indonesia datang dari produk pinjaman ritel dan konsumen, segmen ini bahkan bisa memberikan kontribusi sebesar 40%-50% dari seluruh pendapatan. Pinjaman UMKM menyumbang sekitar 25%-30% dari total kredit yang disalurkan. Tantangan ke depan menjadi tidak mudah jika bank tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan kredit dengan kemampuannya dalam menghimpun dana serta menekan beban operasionalnya.

Apa yang terjadi di sektor Riil?

Dampak bagi korporasi adalah, dengan tingginya biaya utang dan keterbatasan dalam pembiayaan yang membutuhkan dana besar akan membuat korporasi mencari pembiayaan di luar negeri dimana biaya utang lebih rendah dan kemampuan dalam pembiayaan berskala besar. Namun, dengan mencari pinjaman dalam bentuk mata uang asing terutama US Dollar akan meningkatkan currency exposure. Trend penguatan US Dollar, pelambatan ekonomi nasional membuat korporasi dalam negeri yang beroperasi dan mendapatkan keuntungan dalam rupiah akan kesulitan mengembalikan pinjaman US Dollar nya.

Kontraksi ekonomi di beberapa sektor memang sudah terasa, pelambatan ekonomi dan tekanan penguatan US Dollar sangat menekan beberapa industri. Saya berikan gambaran dari kutipan salah satu artikel di kontan.co.id

Total jenderal, laba 10 bank besar sepanjang 2014 mencapai Rp 82,13 triliun, naik  5,18% dibandingkan tahun 2013 yang sebesar Rp 78,09 triliun. Apa artinya? "Itu tidak fair, kami yang beneran memeras keringat di sektor riil berdarah-darah, sementara bank yang menyalurkan kredit bisa mencetak laba sebesar itu," keluh seorang direktur utama sebuah  perusahaan besar.

Sang bos ini juga puyeng menghadapi pelemahan rupiah. "Hedging percuma, biayanya besar," terangnya. Sementara bank tetap bisa meraup laba dari jual-beli valas.

Perbankan membukukan kinerja positif salah satunya karena mampu menghimpun dana murah, dan menyalurkan kreditnya dengan bunga tinggi. Alhasil, bank bisa mereguk margin nan lebar.

Banyak pelaku industri yang memerlukan pendanaan berbiaya murah dan kelas menengah yang membutuhkan KPR murah mengeluhkan tingginya biaya utang, bunga deposito hanya memberikan hasil yang sangat sedikit, sedang laba perbankan naik. Kebijakan Bank Indonesia dengan menurunkan tingkat suku bunga (BI Rate) sepertinya hampir tidak ada pengaruhnya, bunga pinjaman tetap saja tinggi hampir tidak ada perubahan. BI Rate mau diturunkan ke tingkat berapapun kalau Bank Komersial enggan menurunkan bunga pinjamannya tetap sama saja. Jualan mahal aja laku, kenapa mesti diturunkan?

Jika perbankan nasional masih merasa nyaman dengan statusnya saat ini, kurang inovasi, kurang efisien dan tidak bisa memenuhi ekspektasi dari konsumen, suatu ketika jika ada inovasi baru, mereka (perbankan nasional) yang masih menggunakan cara lama akan segera ditinggalkan. Sebuah produk tentunya ada siklusnya (product life cycle).

Referensi:

OECD Economics Surveys: Indonesia 2015

The Road Back: McKinsey Global Banking Annual Review 2014

Bloomberg: World's Most Profitable Bank in Indonesia Double US

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun