Ini tak bisa disalahkan, sebab, jika mereka tidak mengikuti permintaan pasar, kemungkinan untuk terdisrupsi akan semakin besar. Bagi jurnalis sendiri, sebenarnya bukan masalah untuk menyoroti berita viral yang sedang hangat dibicarakan di masyarakat.Â
Namun yang perlu digaris bawahi, jurnalis tidak boleh sekedar membuat konten bersifat hoax atau mengada - ada dengan maksud untuk menjadi viral dan mendapat panggung di masyarakat. Tentu saja itu adalah sebuah pelanggaran terhadap Kode Etik seorang Jurnalis.Â
Berdasarkan data dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2014 saja sebesar 87,4% masyarakat pengguna internet yang mengakses internet untuk mengakses konten jejaring sosial, disusul dengan penggunaan untuk searching sebesar 68,7%, dan untuk instant messaging sebesar 59,9%.
Hal ini membuktikan bahwa masyarakat di Indonesia lebih menyukai mengakses media sosial ketika sedang berselancar di internet. Ini juga yang akhirnya menyebabkan media menggadaikan idealismenya, menyajikan berita viral  untuk mencari "panggung" dan menjual lebih banyak konten viral sehingga nama media akan familiar terdengar di telinga masyarakat.
Cukup "mengenyangkan" juga apabila dilihat dari segi pendapatan media, jika sebelumnya media konvensional mendapat pemasukan hanya dengan mengandalkan iklan, maka media kontemporer justru lebih mengandalkan viral sebagai salah satu sumber pemasukan untuk iklim pers yang baru.
Dengan naiknya traffic akibat searching masyarakat atas berita yang sedang viral, maka nama suatu media akan naik dan berpotensi untuk mendatangkan investor. Namun dalam hal ini, bisakah kita menyebut bahwa media tersebut telah mengesampingkan kepentingan publik dan lebih mementingkan kepentingan media saja? Dan di tengah perkembangan zaman, idealisme pers harus bergeser demi kepentingan "perut" saja?
Hal ini diulas oleh Drs. Mohammad Shoelhi dalam bukunya, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, yang mengemukakan bahwa memang benar bahwa idealisme tanpa komersialisme hanyalah sebuah ilusi. Namun, jika media atau pers hanya mengutamakan segi komersial saja, pers hanya akan melayani kepentingan pembayarnya.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan, apakah UU Pers masih relevan dengan perkembangan media yang bergeser dari konvensional menuju kontemporer? Sebagai penyedia warta, seharusnya prinsip berimbang dalam UU Pers harus tetap ditegakkan oleh media.
Untuk mempertahankan urusan ekonomi media tanpa harus menggadaikan idealismenya, media harus mengikuti perkembangan zaman dengan tetap berpegang teguh pada prinsip jurnalisme. Media harus memiliki segmentasi yang jelas dari awal berdiri untuk siapa pasar yang akan dituju. Dengan segmentasi itu, media akan terjaga idealismenya karena memiliki basis pelanggan yang jelas.
Mayoritas konsumen yang sesuai segmentasi tersebut nantinya akan setia untuk selalu mengikuti update pers tersebut, sebab konsumen mengikuti media tersebut karena memang berawal dari ketertarikan, entah melalui cara penyampaian berita maupun kualitas isi dari pemberitaan media itu.
Dengan ini Pers, di tengah viralisme yang semakin menjadi-jadi, tetap melaksanakan kewajibannya dalam UU pers yaitu memberi edukasi kepada masyarakat. Pers, juga harus berpedoman pada Kode Etik dan UU Pers untuk melindungi profesi wartawan di era teknologi informasi saat ini. Pers, ditengah perkembangannya harus tetap vokal bersuara, menyuarakan suara-suara benar yang tak kunjung didengar.