Polemik hadir bersamaan dengan penciptaan manusia pertama. Tidak seperti Malaikat yang tunduk, bagaimana Iblis mempertanyakan secara terbuka keharusannya bersujud pada Adam yang diciptakan dari tanah sedangkan ia merasa lebih mulia karena diciptakan dari api, menjadi catatan awal polemik dalam sejarah manusia yang tertulis dalam kitab suci. Bahkan demi mempertahankan egonya, Iblis rela mendurhakai Penciptanya meski harus diganjar kekekalan menjadi penghuni neraka kelak di akhir zaman. Formulasi polemik dari awal penciptaan sampai akhir pemusnahan selalu sama: egoisme melawan ke-aku-an. Polemik akan terus hadir selama manusia masih menghuni semesta dan berpikir berdasarkan logika egoistisnya. Logis egoistis yang menjadi pangkal polemik. Karena logis menurut satu orang, bisa jadi irasional menurut yang lain.
Tambang. Kehidupan. Dua diksi yang hari ini ditempatkan dalam sekat makna berlawanan. Dua diksi yang menjadi bahan bakar polemik berkepanjangan. Kebanyakan kita memilih untuk menempatkan keduanya pada front berseberangan berdasarkan pengetahuan, pemahaman, dan rekam jejak. Kurang lebih: ketika ada tambang, maka kehidupan di sekitarnya akan hilang. Stigma negatif tambang yang dipanen dari reputasi buruk sebagian pelakunya. Bahkan saya sebagai orang tambang pun mengakuinya: masih ada pelaku tambang yang mengabaikan kehidupan sekitarnya. Sekedar informasi untuk menyesuaikan sudut pandang, saya adalah salah satu pelaku dunia tambang yang mengais hidup di salah satu pelosok Indonesia. Jadi, apa yang saya sampaikan mohon dilihat untuk memperkaya sudut pandang saja. Pun saya tidak dalam kapasitas mewakili seluruh pelaku tambang yang ada.
Kembali ke awal, benarkah tambang dan kehidupan layak dipertentangkan? Mungkin bisa kita telisik dari asal mula keberadaan tambang di bumi ini.
Berawal dari keinginan memudahkan hidup, oleh manusia, batu pertama diambil dari keberadaan alaminya di bumi. Saat itulah kegiatan tambang paling original dimulai. Sederhana saja, hanya untuk alat bantu memotong atau memecah. Sesederhana perkembangan otak manusia saat itu sebelum dijejali beragam-ragam pengetahuan dan logika untuk memanfaatkan segala sesuatu yang berserakan di muka maupun di dalam bumi. Dalam fase panjang keberadaan manusia, bisa dibilang mereka baru saja dilahirkan saat itu. Bertahan hidup berdasar insting. Jadi, bolehlah saya bilang usia pertambangan hanya sedikit lebih muda daripada umur manusia itu sendiri. Boleh juga saya bilang bahwa hakikat tambang adalah untuk memudahkan kehidupan manusia. Bahkan saya menganggap, tambang adalah penopang kehidupan manusia.
Berbicara tambang dan kehidupan di sekitarnya, rasanya akan sangat realistis jika disampaikan oleh orang-orang yang memang terlibat langsung di dalamnya. Para pekerja tambang akan lebih fasih bicara manfaat tambang untuk kesejahteraan. Dan seharusnya mereka fasih juga menyampaikan sumbangsih tambang untuk kehidupan lingkungannya.
Di sisi lain, untuk menyampaikan manfaat tambang bagi kehidupan sekitarnya, tentu masyarakat terkait lebih punya kompetensi menyampaikannya. Masyarakat tidak terbatas hanya yang berada di lingkar tambang, tetapi termasuk juga semua orang yang memiliki Âinterest terhadap tambang. Hanya yang perlu dicatat, realistis bukan berarti objektif. Seperti saya dalam hal ini, yang saya sampaikan adalah realitas dunia tambang yang lahir dari subjektivitas percintaan saya dengan dunia gali-menggali dan pekerjaan panjang setelahnya. Saya adalah satu dari ribuan kuli tambang yang berserakan di pelosok-pelosok hutan untuk menggali manfaat yang tersembunyi di alam.
Untuk menyematkan jiwa dalam alur cerita diperlukan penghayatan mendalam. Bila perlu terlibat langsung dalam cerita nyata. Bahkan Raden Saleh sang maestro pun masih merasa perlu mengembara sampai Afrika bersama Hoarce Vernet untuk membuat singa-singa dalam goresan-goresan kuasnya di atas kanvas mengaum ganas menerkam mangsanya. Penghayatan dibutuhkan untuk meminjam jiwa dari sebuah realita, kemudian meniupkannya pada setiap karya. Khusus Raden Saleh, lebih tepatnya penghayatan dan pengembaraannyalah yang menjadikannya sang maestro.
Untuk saya, tak perlulah jauh berkelana sampai Afrika untuk menghayati dunia tambang. Karena saya adalah salah satu pelakunya. Bukan berarti tak perlu referensi. Toh pengembaraan tidak harus dilakukan secara harfiah. Untuk menambah referensi selain yang saya lihat sehari-hari, saya memilih jendela kecil 14 inchi yang bisa membawa saya berpindah dari satu belahan bumi ke belahan bumi lain dalam hitungan detik. Asal bisa menyaring dengan bijak, pengembaraan jenis ini bisa tak kalah bermanfaat dengan pengembaraan harfiah. Hanya… beda sensasi dan biaya saja.
Mengingat tambang dan kehidupan manusia di sekitarnya buat saya serupa dengan mengingat cerita-cerita muasal Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi-nya. Hanya sudut pandang saja yang berbeda. Dalam kaca mata Andrea Hirata, pekerja tambang penghuni kompleks mewah Meskapai Timah adalah para bedebah antagonis yang abai pada masyarakat sekitarnya. Para penjajah. Mungkin. Karena ternyata tak selamanya Andrea memandang para pekerja tambang sepenuhnya antagonis yang pantas dicaci maki. Pada kenyataannya, ayah tercintanya tak kuasa menolak takdir sebagai kuli tambang yang menggantungkan hidupnya pada salah satu rantai eksploitasi timah di tanah kelahirannya.
Ironis? Bisa jadi. Tetapi itulah realita yang menghantui hampir semua manusia. Atau, mungkin, diksi yang lebih tepat: kontradiktif. Pada satu sisi membenci, di sisi lain mencintai. Satu sisi acuh, sisi lain butuh.
Pertambangan hari ini ketika disandingkan dengan kehidupan lingkungan adalah sebuah kontradiksi jika hanya hanya dilihat sekilas dan dimaknai dari reputasi sebagian perusahaan tambang yang melupakan hakikat keberadaan tambang itu sendiri. Kontradiksi yang semakin kuat aromanya ketika tambang dan lingkungan vulgar dimaknai secara hitam-putih. Makin sahih kontradiksinya ketika motif ekonomi menguasai pelaku dunia tambang dengan mengorbankan lingkungan sebagai kompensasinya. Lingkungan yang saya maksudkan bukan hanya air, pohon, tanah, binatang, udara. Lingkungan dalam hal ini juga termasuk kehidupan manusia di sekitarnya.
Seperti cerita saya di awal, dan saya pelajari di bangku pendidikan, hakikatnya, tambang ada untuk memudahkan hidup manusia. Manusia yang saya maksud ini berlaku general, bukan partial. General yang berarti menyangkut seluruhnya, bukan partial yang bisa saya artikan: memudahkan sebagian dengan menyusahkan sebagian lainnya. Karenanya, para pemikir idealis pertambangan menggagas konsep good mining practice untuk semua hal yang berhubungan dengan proses pengambilan material dari dalam bumi. Konsep ideal good mining practice ini menjadi teramat sangat penting mengingat kegiatan pertambangan punya karakteristik khusus dibandingkan bidang kegiatan lain.
Padat modal, tingkat risiko tinggi sehingga harus ditebus dengan tingkat keuntungan yang tinggi pula, cenderung mengubah bentang alam karena letak bahan tambang berada di bawah permukaan, dan cenderung merusak lingkungan adalah beberapa karakteristik khusus industri tambang. Khusus karakteristik yang saya sebut terakhir, saya tawarkan diksi yang lebih merdu didengar. Saya lebih setuju untuk meminjam istilah yang dipakai oleh seseorang dari golongan regulator, saat membombardir saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh para profesor dan si pemberi pertanyaan sendiri saat ujian sertifikasi Pengawas Operasional Madya, bahwa kegiatan pertambangan tidaklah merusak lingkungan. Hanya mengubah fungsi lingkungan. Terdengar seperti pembenaran? Bahkan saat itu pun saya yang pelaku dunia tambang berpikir demikian. Well, setelah saya sejenak berpikir, ada benarnya juga. Atau malah memang begitulah adanya. Begitulah seharusnya.
Pada akhirnya saya setuju bahwa kegiatan pertambangan hanya mengubah fungsi lingkungan untuk sementara. Menurut konsep dan pemikiran  para idealis yang dituangkan dalam kurikulum akademik, disampaikan para pengajar kepada calon-calon kuli tambang, dan dilembagakan dalam bentuk regulasi oleh pemerintah, daerah tambang yang telah selesai harus segera direklamasi. Dengan definisi reklamasi tambang dalam Peraturan Menteri ESDM no. 18 tahun 2008 adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya, klaim pertambangan hanya mengubah fungsi lingkungan untuk sementara bisa saya pertanggungjawabkan. Dengan catatan, klaim ini hanya sahih jika kegiatan tambang dilakukan sesuai kaidah.
Reklamasi tambang secara fitrahnya menjadi bagian tak terpisahkan dalam kegiatan pertambangan sesuai konsep mulia good mining practice. Tetapi, mohon tidak menyamakan reklamasi tambang ini dengan reklamasi yang lain yang beberapa waktu belakangan ini diinterpretasi macam-macam. Kalau dulu saya selalu beranggapan reklamasi itu pasti berarti positif, sepertinya sekarang reklamasi harus dipilah-pilah lagi sesuai konteks dan kepentingan.
Menggali cerita tambang yang berakhir bencana sangatlah mudah. Saking mudahnya seperti menemukan seekor gajah dalam ruangan sepuluh kali sepuluh kali lima meter tanpa sekat dengan penerangan lampu LED putih 10.000 watt. Jika dikonversi, 10.000 watt LED akan setara terangnya dengan 50.000 watt lampu pijar temuan Thomas Alva Edison. Meski seluruh ruangan dicat hitam dengan gajahnya sekalian, tak akan sulit melihat di bagian mana gajah berada.
Sebaliknya, mencari tambang sempurna hari ini yang mematok harga mati untuk good mining practice bagi sebagian orang ibarat menelusuri ribuan percobaan Thomas Alva Edison menemukan lampu pijar. Bukan sebuah kemustahilan. Hanya butuh proses, dan pastinya kesabaran. Toh pada akhirnya Alva Edison menemukan lampu pijar setelah 9.955 kali kegagalannya. Ups, mohon maaf, Thomas Alva Edison tidak pernah mau disebut gagal. Beliau lebih suka mengatakan 9.955 kali percobaannya sebagai keberhasilannya menemukan jalan yang tidak bekerja untuk menemukan satu jalan yang bekerja. Dunia tambang saat ini juga sedang berproses menuju kesempurnaan. Sampai tahap mana? Masing-masing punya ukuran subjektif.
Contoh keberhasilan tambang dalam pengelolaan lingkungan yang baik sebenarnya cukup banyak. Karena saya belum menjelajah sampai Afrika seperti Raden Saleh, saya gunakan saja contoh lokal rasa internasional keberhasilan industri tambang dalam mengelola dan mengembalikan fungsi lingkungan sesuai peruntukannya. PT. Newmont Minahasa Raya di Ratatotok, Minahasa Tenggara.
What? Newmont Minahasa?
Pasti banyak yang tidak setuju ketika saya mengajukan nama PT. Newmont Minahasa Raya sebagai contoh industri tambang yang berhasil mengelola dan mengembalikan fungsi lingkungan sesuai peruntukannya. Apa kabar dengan kasus Buyat yang melegenda sehingga sebagian orang merasa pantas menyejajarkannya dengan kasus pencemaran logam berat raksa di Minamata? Well, faktanya pengadilan memvonis PT. Newmont Minahasa Raya bebas murni dalam kasus ini dengan putusannya pada tanggal 24 April 2007. Sebagian orang yang tidak mempercayai sistem peradilan di republik ini bisa jadi akan menyanggah. Saya memilih tidak berpolemik untuk masalah ini.
Fakta lainnya: bekas tambang itu kini menjadi kebun raya. Kebun raya pertama di Indonesia yang berasal dari bekas tambang. Status ini dilegitimasi oleh Menteri Kehutanan RI dengan Surat Keputusan nomor 175/Menhut-II/2014 pada tanggal 19 Februari 2014 tentang Penetapan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian, Pengembangan dan Pendidikan Lingkungan dalam bentuk Kebun Raya pada kawasan hutan produksi terbatas di Kabupaten Minahasa Tenggara seluas sekitar 221 hektar pada area lahan bekas tambang PT. Newmont Minahasa Raya.
Seperti kesepakatan kita, lingkungan dalam hikayat ini bukan hanya air, pohon, tanah, binatang, udara, tapi juga termasuk manusia di dalamnya. Lalu apa sumbangsih PT. Newmont Minahasa Raya untuk kehidupan manusia di sekitarnya selain manfaat ekonomi ketika mereka masih beroperasi? Karena ini subjektif, tak elok rasanya jika saya, yang pekerja tambang, mengumbar manfaat tambang untuk kehidupan manusia di sekitarnya. Silahkan tengok tulisan-tulisan beberapa kawan Kompasiana di sini atau di sini, atau tulisan-tulisan lain yang cukup banyak jumlahnya.Â
Contoh lain keberhasilan tambang bisa ditengok di Mongolia. Proyek Peabody Energy Ereen Mining Site saya dapatkan lewat metode pengembaraan maya. Setelah perannya dalam meningkatkatkan perekonomian lokal, bekas tambang telah dikembalikan fungsinya menjadi lahan penggembalaan bagi masyarakat lokal. Bahkan bekas tambang itu bertransformasi menjadi sumber air bersih bagi penduduk sekitar.
Lalu mengapa ada sebagian perusahaan tambang yang mengabaikan lingkungannya? Sikap abai yang pada akhirnya muncul sebagai tipikal dominan dari perusahaan tambang sehingga citra negatif tambang menempati lapisan paling atas stratifikasi pandangan umum keberadaan tambang. Jawaban paling masuk akal adalah motif ekonomi. Kita semua pasti mafhum, pengelolaan lingkungan dan tanggung jawab sosial harus ditebus dengan biaya tinggi yang menggerus margin keuntungan perusahaan. Salah satu yang bisa dikorbankan untuk meningkatkan margin keuntungan: pengelolaan lingkungan dan tanggung jawab sosial itu sendiri.
Jika demikian, apa yang bisa dilakukan?
Dari sisi kami sebagai pelaku dunia tambang, sebenarnya mudah saja. Cukup mengikuti aturan yang berlaku terkait kegiatan pertambangan. Beres. Sebab pemerintah sudah sangat detail mengatur mengenai segala sesuatu mengenai kegiatan gali menggali ini. Apa yang boleh, apa yang dilarang semuanya sudah tertuang dalam bermacam regulasi. Tugas kami? Tinggal mengikuti.
Ambil contoh untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Banyak regulasi yang mengaturnya. Sebut saja UU No. 32 tahun 2009 beserta aturan-aturan turunanannya. Atau Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2010 yang mengatur reklamasi dan pascatambang. Semua aturan itu mengusung semangat praktek ideal. Semua aturan itu menjunjung standar tinggi. Jika dijalankan dengan benar, sudah tentu manfaat besar akan didapat. Jika pun ada kekurangan dalam sebuah aturan, kekurangan tersebut akan menjadi pembelajaran untuk membuat kebijakan yang lebih baik lagi ke depan.
Hal lain yang perlu dicermati: tambang adalah proyek sekali jalan. Perencanaan di awal adalah krusial. Salah perhitungan di awal akan membuat berbagai aspek harus dikorbankan kemudian. Atau bahkan jika tidak ada lagi yang menjadi kompensasi, proyek tambang itu sendiri yang harus gulung tikar. Di sinilah pemerintah lagi-lagi harus mengambil perannya. Perencanaan awal sebuah tambang seluruhnya tertuang dalam studi kelayakan yang menjadi wewenang pemerintah untuk menyetujui atau menolak.
Studi kelayakan mencakup semua aspek dalam sebuah usaha tambang. Mulai dari aspek lingkungan, perencanaan operasional tambang, tanggung jawab sosial, biaya, penghasilan, dan pada akhirnya adalah nilai keuntungan baik bagi perusahaan, pemerintah maupun masyarakat sekitar. Namanya studi kelayakan, seharusnya hanya proyek-proyek yang layaklah yang bisa disetujui. Layak secara lingkungan yang bisa dilihat dari AMDAL, Â rencana biaya pemantauan dan rencana biaya pengelolaan lingkungan yang dialokasikan. Layak secara sosial dengan melihat rencana tanggung jawab sosial dan dampaknya kepada masyarakat sekitar. Dan layak secara ekonomi dengan melihat kontribusinya terhadap pendapatan negara, sumbangsihnya terhadap perekonomian lokal, dan tentunya margin keuntungan yang wajar bagi perusahaan itu sendiri. Persetujuan studi kelayakan proyek tambang harus objektif bebas dari kepentingan dan sesuai standar yang ditetapkan.
Ke depan, kita berharap tidak ada lagi tambang yang tidak layak dapat beroperasi di Indonesia, dunia, dimana pun itu. Tambang-tambang yang akan dibuka adalah tambang yang benar-benar layak secara lingkungan, layak secara sosial, dan layak secara ekonomi. Sehingga manfaat tambang untuk kehidupan bukan sekedar mimpi para idealis semalam sebelum mencetuskan konsep good mining practice.
Selayaknya pertambangan dikembalikan pada hakikat keberadaannya. Tambang dan kehidupan sejatinya tak pantas dikonfrontasi. Namun terlalu muluk jika saya mengharapkan polemik tambang dan kehidupan akan hilang sama sekali. Ia akan terus langgeng selama masih ada oknum pelaku pertambangan yang abai terhadap kehidupan sekitarnya demi menambah margin keuntungan. Jika sudah demikian, mau tak mau polemik harus bisa dimanfaatkan sebagai pengawal menuju praktek penambangan yang baik dan benar. Tanggung jawab kami yang terlibat langsung di dalamnya untuk memastikan manfaat maksimal keberadaan tambang bagi kehidupan sesuai kompetensi yang kami miliki.
Jadi, tambang untuk kehidupan? Memang begitulah seharusnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H