[caption caption="Menikmati salah satu momen ngopi terbaik bersama teman-teman baru (Dokumen Pribadi)"][/caption]Sebungkus kopi ditambah gula ternyata bisa menghasilkan kehangatan keluarga. Ditimpali sepoi petang yang dilemparkan ombak dan lolos dari hadangan bukit-bukit, lengkap sudah sensasinya. Siapa sangka? Salah satu momen terbaik menghirup kopi saya dapatkan tak jauh dari padatnya rutinitas harian yang melelahkan.
Kopi yang diseduh dengan cara sangat biasa. Bukan kopi yang diseduh dengan tata cara ningrat tanpa gula dengan peralatan yang harganya kadang membuat saya tak habis pikir. Bukan pula di kedai kopi yang di-setting dengan suasana artifisial sesuai keinginan. Bahkan bagi para penikmat kopi sejati, cara kami sangat mungkin bakal digolongkan dalam aliran sesat cara menyeduh kopi.
Meski ternyata, sesat itu mampu membawa momen tak terlupakan. Diantara tumpukan batu bata dan tenda-tenda dengan naungan langit terbuka, bersama sahabat-sahabat baru saya. Walau terasa terlalu manis juga rasa seduhan itu bagi saya karena terlalu banyak gula dicampurkan, namun tak mengurangi sensasinya. Gak papa lah, mungkin hanya untuk mengurangi pahitnya hidup yang dirasa.
Tiga ratus meter dari gerbang salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia yang berlokasi di Pulau Sumbawa, sebelum hamparan padang rumput, sebelum gundukan bukit-bukit, di antara semak dan pagar, di sanalah saya terdampar sore itu. Tertarik pada tumpukan benda yang membentuk pola semacam situs purbakala, saya putuskan berbelok dari jalan yang seharusnya dilalui. Sekedar mencari tahu, ada apa gerangan di sana.
Rupanya, pola itu tersusun dari puluhan ribu batu bata yang membentuk bangun jajar dan bertumpuk. Di antaranya, ada beberapa lelaki dengan kulit tembaga hasil dari mufakat matahari dan hamburan debu yang sedang menjalankan rutinitas harian mereka: sejak sebelum terbit matahari sampai sesaat setelah terbenam matahari. Saya yakin, merekalah yang bertanggung jawab menyusun benda-benda motif purba itu.
Memandang berkeliling, mata saya dipertemukan dengan tenda-tenda dari terpal warna-warni yang kemudian saya tahu menjadi tempat berteduh mereka: dari terik di siang hari, dari angin di malam hari dan dari hujan yang masih mungkin mengancam. Menelisik lebih jauh, saya temukan tikar lusuh di dalam tenda yang tak tertutup sempurna, bantal yang telanjang tanpa sarung, tumpukan bata yang menjadi tungku memasak, tempat penampungan air yang berserakan, nasi dan lauk di atas meja berdebu dan banyak hal lain di sana.
[caption caption="Mereka sebut ini rumah (Dokumen pribadi)"]
Para pengrajin bata merah itu melemparkan senyum ramah walau pun masih terselip rasa asing di antaranya ketika pertama kali saya datang menyapa. Benar. Pengrajin bata merah. Sebuah profesi yang mungkin tak banyak kita tahu tetapi sudah banyak kita nikmati hasil karyanya. Dinding-dinding rumah yang menjadi tempat kita berteduh sebagian besar tersusun dari keping-keping bata merah. Setelah disusun, direkatkan dengan campuran semen dan pasir kemudian ditutup dengan semen halus dan cat, maka jadilah dinding halus rumah-rumah nan megah.
Seperti bata merah yang kemudian tertutup semen dan cat warna-warni, seperti itu pula para pengrajinnya. Kehadiran mereka seperti tak pernah terlihat di antara kita. Tapi sekali lagi, kita tidak perlu membahas dari sisi yang mengharu biru. Sebab tak terlihat bukan berarti tidak ada. Lagi pula, seperti batu bata yang membuat dinding menjadi kokoh meski tertutup oleh semen halus dan cat warna-warni, seperti itu pula saya ingin memandang mereka: para pengrajin bata merah. Meski tak terlihat, tetapi kehadiran mereka mampu memberi manfaat besar bagi kehidupan orang lain.
Segera setelah senyum ramah mereka menyapa saya sore itu, maka cairlah suasana.
“Belum istirahat, Mas?” pertanyaan pertama yang saya lontarkan untuk membalas senyum ramahnya. Pertanyaan retorik yang didasarkan pada kenyataan bahwa matahari sudah hilang di balik bukit sementara lelaki berkulit tembaga itu masih mengayunkan cangkulnya pada onggokan tanah liat yang sedikit lembek, bahan baku untuk membuat bata.
[caption caption="Menggali harapan (Dokumen pribadi)"]
Kemudian Jumadin, laki-laki kedua yang menyebutkan namanya setelah saya ulurkan tangan sambil menyebut nama saya. Sebelumnya, dia sibuk menyusun bata kering menjadi tumpukan besar yang siap untuk dibakar. Yang ini, sepertinya sudah nama lengkapnya dia sebutkan. Setelah itu tiga orang lainnya bergabung dalam gerombolan.
Obrolan dimulai dengan tanya jawab klasik ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang baru pertama dijumpai. Asal, keluarga, sudah berapa lama bekerja, dan hal-hal klasik lainnya. Meski klasik, tapi cara itu terbukti efektif untuk mengetahui siapa teman baru saya dan membuat saya bisa memposisikan diri untuk membaur dengan mereka.
Kelompok ini, yang beranggotakan enam orang, adalah para perantau yang mencoba mencari peruntungan yang sulit mereka temukan di kampung halaman. Sebagian berasal dari Lombok. Sebagian lainnya dari beberapa daerah di Sumbawa.
“Kerja apa saja yang penting bisa untuk hidup dan halal,” kata Jumadin ketika saya tanyakan mengapa dia mau bekerja dengan meninggalkan anak istri jauh di kampung halaman. Pernyataan yang terkonfirmasi dari cerita-cerita selanjutnya dari Jumadin. Pernah menjadi buruh muat kelapa sawit di Jambi. Pernah menjadi buruh pemanen tebu di Lampung. Dan sekarang menjadi pengrajin bata merah selama musim kemarau. Filosofi hidup yang sederhana dan diikuti tindakan nyata dengan bekerja menjual keringat untuk setiap rupiah yang menjadi haknya. Sungguh, saya lebih menghargai tubuh-tubuh lusuh dalam balutan debu ini dibandingkan tubuh-tubuh dalam balutan jas mahal yang dibeli dari uang hasil menjual tipu daya.
Dari cerita Jumadin, saya baru tahu ternyata pekerjaan membuat bata merah ini hanya mereka lakukan di musim kemarau dengan meminjam modal dari seseorang yang mereka sebut “Boss” yang juga pemilik tanah yang mereka garap dengan sistem bagi hasil. Dua puluh persen dari setiap bata merah yang sudah siap jual akan menjadi bagian dari pemilik tanah. Sisanya akan dipakai untuk biaya operasional mulai dari biaya untuk pembelian kayu bakar, biaya makan sehari-hari, biaya pembelian bahan bakar untuk generator dan biaya-biaya lainnya. Jika ada sisanya, maka itulah bagian yang bisa mereka simpan sebagai hasil jerih payah.
Pekerjaan dimulai ketika matahari belum melewati hadangan bukit-bukit di sisi timur. Diawali dengan mempersiapkan adukan tanah liat sebagai bahan baku pembuatan bata, dilanjutkan dengan mencetak adukan tanah liat menjadi keping-keping bata basah yang terhampar rapi di atas tanah. Terik matahari akan membantu proses pengeringan setiap keping bata. Ini pula alasan mengapa pekerjaan ini hanya mereka lakukan di musim kemarau.
[caption caption="Proses pengeringan bata dengan bantuan angin dan matahari (Dokumen pribadi)"]
[caption caption="Proses pembakaran bata menggunakan kayu bakar (Dokumen pribadi)"]
Tubuh lusuh, tenda kumuh. Cukup menambahkan wajah memelas dengan mata sayu, saya yakin akan banyak orang jatuh iba. Tapi mereka tidak memilihnya. Jauh dari keluarga, bekerja dari sebelum terbit sampai terbenam matahari, terpapar terik sampai legam kulit serupa tembaga. Itulah yang mereka pilih dan jalani sampai butir pertama hujan jatuh di penghujung kemarau. Tidak untuk berdiam diri setelahnya tentu saja. Tapi menentukan pilihan lain untuk menyambung hidup mereka dan orang-orang yang mereka cintai. Pilihan yang sebenarnya tersedia bagi mereka yang mau berusaha; meski tak banyak.
Obrolan sore itu berakhir dengan salam, hembusan angin yang mulai berisik dan langit sore yang bergradasi menuju pekat. Sempat terpikir betapa ironis: para pembuat dinding justru tidur tanpa dinding penyekat antara mimpi dan angin malam. Hanya tenda-tenda dari terpal warna-warni yang hilang digdaya saat angin makin berisik menjelang subuh nanti. Meski saya juga yakin, tidur mereka malam ini pasti lebih nyenyak dari mereka yang tidur di kamar mewah bersama setumpuk ambisi duniawi dan beban kerja esok hari.
Tak selamanya bata merah tertutup oleh semen dan cat warna-warni jika digunakan menjadi dinding. Ketika batu bata terekspos, mereka akan memberikan warna uniknya sendiri. Saya berharap, begitu juga dengan para pengrajinnya. Jika ada yang sudi menengok, mereka akan menampilkan warna optimis dari filosofi sederhana yang mereka anut. Bukan nuansa suram yang mengharapkan belas kasihan. Setidaknya, kesan itulah yang saya dapatkan dari obrolan singkat sambil menikmati salah satu momen terbaik menghirup kopi bersama teman-teman baru saya: para pengrajin bata.
* Dari sebuah catatan lama saat teringat optimisme para pejuang hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H