Mohon tunggu...
Budianto Supar
Budianto Supar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja tambang yang ingin menampilkan dunia tambang dari perspektif yang positif. Berusaha berpikir objektif dalam pengaruh pemikiran yang subjektif.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kabut Bergumam di Negeri Muram

27 Mei 2014   22:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:03 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Muram (koleksi pribadi)

Setelah terik sebelum embun, itulah aku. Aku tinggal di negeri hujan. Negeri yang katanya punya segala. Tanah yang subur: bahkan katanya tonggak kayu dan batu jadi tanaman. Hutan yang ranum: sampai orang melihatnya sebagai zamrud khatulistiwa. Laut yang biru: di dalamnya ada begitu banyak lazuardi. Meski kemudian aku tahu, negeri ini negeri yang muram.

Setelah terik sebelum embun, itulah aku. Jika ingin bertemu, cukup mencariku ke gunung-gunung. Meski tak jarang aku juga datang berkunjung ke gedung-gedung. Sekedar berkunjung atau kadang memang ada urusan yang ingin kutelusur hingga ujung.

Setelah terik sebelum embun, itulah aku. Banyak yang mencariku. Bukan untuk berguru, tapi memburu. Karena kata mereka aku terlalu banyak tahu. Meski yang sebenarnya, mereka tak menyadari kehadiranku sehingga mereka bergumam sebebas-bebasnya mengumbar tabu padahal aku di situ. Gumam yang menguak cerita, petaka, cita-cita, bahkan aib durjana.

Sudah banyak yang kudengar dari ribuan gumam. Baiklah, kupilihkan beberapa diantaranya, karena begitu dalam jejaknya.

Mulai dari gumam gadis kecil yang menderita demam…

***

Ngilu masih mengiris tersayat gumam gadis kecil yang menderita demam karena kemaluannya lebam setelah ayah membawanya ke kamar belakang di tengah malam. Tak bernyali ia mengadu pada bunda. Teringat mata serigala yang nanar di malam buta.

“Saat itu ibunda tak sedang terjaga,” gumamnya sambil meringis menahan tangis yang sudah menjalar jauh sampai ke ujung jari.

Maka aku berlalu sambil menenteng gumam gadis kecil yang menderita demam yang telah kutulis pada sehelai celana dalam bernoda darah. Kubawa lari sehingga ia berkibar-kibar dan setiap hurufnya berceceran sepanjang jalan. Dan setiap orang yang menemukan menyusunnya menjadi kata. Dan dari mulut ke mulut, maka terangkailah sebuah cerita: tentang ayah durjana melampiaskan nafsu pada darah dagingnya yang masih belia.

Lalu esok harinya ada pria sangar membawa pedang dengan mata nanar mencariku. Tebas sana tebas sini menghamburkan belukar menjadi serpihan. Berharap aku meringkuk ciut di balik semak. Namun tentu saja, dia tak pernah menemukanku. Karena aku ada setelah terik sebelum embun. Meski sebenarnya sedari tadi aku ada di sekitarnya. Dia hanya tak sadari. Dan ia hanya bisa bergumam.

“Kurang ajar. Mau tahu saja urusan orang. Kamu tahu siapa say…”

Tak kutunggu ia selesai mengumpat dalam gumamnya. Aku memilih berlalu. Bukan karena takut. Bukan karena ciut. Tapi aku memilih berkunjung ke gedung bercat putih untuk mendengarkan gumam terakhir sang gadis kecil.

“Sakit, Bunda,” gumamnya lirih nyaris tak terdengar. Tubuhnya tak lagi demam. Hanya dingin seperti batu.

Lagi aku berlari memburu bayangan wajah lelaki sangar tempo hari yang rasanya layak dikebiri. Tak membawa gumam kali ini. Tak sanggup rasanya menyimpan lirih yang sudah menjadi serpih kaca: siap menghujam air mata kapan saja. Hanya aku berbisik kepada semua yang kutemui sepanjang jalan.

“Jaga anak gadis kalian, lebih dari kalian menjaga berlian. Bahkan dari orang terdekat dengan tutur menawan. Sebab jika bukan kalian sendiri, siapa lagi?”

Dan mereka; ada yang tersadarkan banyak pula yang abaikan.

Itu baru satu, Kawan. Yang lain masih ribuan.

***

Baiklah kuceritakan lagi tentang gumam seorang guru yang mematung memandangi sekolah lapuk, tempatnya berbagi ilmu dengan anak-anak kampung kaki gunung, rubuh dalam gerak lambat. Aku menemukannya sudah berdiri sedari pagi buta ketika genting pertama jatuh hari itu. Walau sebenarnya itu sudah yang kesekian sejak surat pertamanya kepada para penghuni istana. Surat yang mengisahkan cita-cita yang mungkin runtuh bersama genting yang satu-satu jatuh. Bersama gemeretak dan debum.

Suara-suara gemeretak dan berdebum itulah yang menuntunku hingga jauh ke tempat itu. Setelah mendaki setapak merah, menurun lembah, menyeberang kali dengan langkah, maka kutemukan lelaki paruh baya itu tengadah. Matanya basah. Tak mau terima kawan lama akhirnya menyerah.

Kehancuran masih berjalan. Satu-satu berjatuhan. Mulai dari genting, kemudian rangka kayu sampai akhirnya dinding dan tiang-tiang penopang tak lagi mampu melawan gravitasi yang sudah terlampau lama mengincar tanpa ada pembaruan. Ditambah lagi gerombolan rayap yang sejak tahunan lalu menggempur tulang-tulang hingga layuh. Lengkap sudah. Maka sampailah pada hari itu. Bangunan harapan itu rata dengan tanah.

Setiap debum dan gemeretaknya menggores air mata. Maka dalam linangan, segumam lirih dari lelaki setengah baya menyelusup diantara bias cakrawala.

“Selamat jalan, Kawan. Telah kuresapkan semangatmu sampai sumsum tulang. Kami yang kau tinggalkan akan terus berjalan. Biar perlahan. Biar tanpa dukungan. Sebab siapa lagi peduli, selain diri kami sendiri.”

Telah kuresapkan juga gumam itu dalam sanubari. Lalu kubidikkan pada lembar-lembar kertas yang sudah penuh dengan coretan, tentang mimpi dan cita-cita, yang turut terhambur dari runtuhan. Lembar demi lembar. Timpa-menimpa dengan kata-kata yang sudah lebih dulu ada.

…demi lembar. Tak cukup selembar dua. Terlalu banyak yang bisa kutuliskan tentang bangunan yang baru saja senyap. Mulai dari jatuhnya genting pertama. Juga cerita tentang peluh anak-anak yang bercucuran setelah berlarian dari hunian, mengarungi tegalan seluas mata memandang, melintas kali dengan jembatan dari seutas tambang, demi ikut menyanyikan lagu kebangsaan setiap upacara. Juga tentang cita-cita para pencari rumput yang ingin terbang melangit tujuh.

Aku masih menulis. Sampai pagi benar-benar nyata. Sampai kaki-kaki tanpa alas itu menghampiri. Dan mata-mata kecil itu sipit menahan nyeri: kemana sekolah kami?

“Anak-anak! Hari ini kita belajar di bawah pohon trembesi!”

Hari ini? Lelaki paruh baya itu pasti hanya menghibur diri. Namun ia tetap mengatakannya, meski tahu akan mengulangi kalimat yang sama setiap pagi. Sampai kalimat itu mengiang jauh dari kaki gunung menyapa gedung-gedung. Gentayangan diantara derak roda, tersesat pada puncak-puncak bangunan yang semakin tinggi, untuk menemui kursi-kursi mewah yang kosong. Kalau pun ada penghuninya, mereka sedang tertidur. Kemudian ngiang terjerembab dikalahkan dentuman musik suka ria. Dan tak pernah kembali membawa kabar bahagia.

Tenagaku turut terkubur di bawah runtuhan. Tak sanggup berlari kali ini. Setelah menyaksikan anak-anak rerumputan membuat lingkaran di bawah pohon trembesi, saat itu aku pergi. Tanpa derap. Hanya senyap. Menjinjing setumpuk kertas bertulis cerita impian. Besok pagi-pagi sekali akan kukirimkan. Kepada para pendongeng yang biasa menyebar cerita betulan, bukan bualan. Semoga terdengar sampai istana. Bukan. Bukan aku tak mau menyampaikan sendiri pada mereka. Bila teriakan jelata saja sudah tak mampu membuat mata mereka berkaca, apalagi aku; yang hanya ada setelah terik sebelum embun.

Berhari setelah cerita itu menyebar lewat lembar-lembar ke seluruh negeri, laki-laki berjas hitam datang mencari. Di tangannya ada tas, juga hitam, yang ditenteng hati-hati. Sedikit dibukanya untuk menunjukkan apa isinya.

“Untuk Anda. Tolong simpan cerita-cerita selanjutnya di kepala saja. Atau…,” bisiknya pelan dan mengambang. Bukan karena takut terdengar rerumputan. Hanya ingin membuatku ciut, kurasa.

Aku segera paham. Maka kutarik napas dalam. Kuhardik dia dengan dengusan. Hingga terhambur segala isi dalam tas hitam. Aku murka. Tidak sepantasnya kebobrokan ditutupi dengan tumpukan harta. Berapa pun jumlahnya.

Maka kutiup lembar-lembar yang terhambur dari tas hitam, bersama laki-laki berjas hitam sekalian, sampai tersangkut di gedung-gedung. Kuharap mereka akan bercerita bahwa nurani itu masih ada; tak mampu diluruhkan oleh gelimang harta. Di sini, di gunung-gunung, setelah terik sebelum embun.

***

Satu lagi gumam yang ingin kuceritakan. Karena gemanya masih jelas kurasakan. Cita rasanya juga masih hambar tersisa di lidah. Tentang negeri yang tergadai. Tentang tikus yang hampir mati di lumbung padi.

Dari suatu pagi semuanya berawal. Ketika aku meruang ke sudut-sudut jalan yang sudah menjadi kebiasaan. Sebuah lapak, seorang perempuan setengah tua, seonggok dagangan beserta segunung bimbang bergelayut di mata menyambutku di sisi pasar yang masih remang.

“Apa yang bisa kujual hari ini? Sedang bawang-bawang sudah menghilang,” serangkai gumam yang kemudian kurekam dalam ingatan.

Aku tersentak. Tak rela rasanya mengakui apa yang didengar telinga. Pasti ia salah bicara. Pasti perempuan setengah tua ini terlalu lelah bekerja. Mungkin semalaman ia tidak tidur. Bertengkar dengan suaminya barangkali. Sebab bagaimana mungkin negeri yang subur makmur, yang katanya tongkat kayu dan batu jadi tanaman, bisa kehilangan tumbuhan yang dapat hidup di hampir seluruh penjuru negeri. Tidak mungkin. Sungguh tidak masuk akal.

Tapi apa yang kulihat selanjutnya, satu-satu membenarkan apa yang baru saja kudengar. Pasar yang sepi dari warna merah putih yang biasanya gaduh di setiap jengkalnya. Gerutu dari mulut-mulut yang urung berbelanja. Wajah-wajah lesu para penjual bumbu.

Apa gerangan terjadi? Bukankah negeri ini negeri petani? Mengapa sampai bawang saja sulit ditemui? Apakah karena petani semakin malas menyemai? Atau hanya karena bobroknya regulasi? Aku terkapar dihujam macam-macam pertanyaan.

Lalu pikiranku mengembara. Mula-mula di sekitar pasar. Pada warung-warung penjual nasi untuk para penghuni. Ah, apa yang akan terjadi jika tak ada bawang untuk memasak? Jika pun ada, tentu harganya melambung ke langit tujuh. Tak akan tergapai oleh uang seribu dua ribu. Sedangkan semua masakan negeri ini tak akan bisa meresap ke hati tanpa kehadiran mereka di dalamnya. Masih lebih baik daging yang langka. Sebab daging hanya konsumsi kaum berada. Meski tak sepenuhnya baik juga sebenarnya. Maka hanya ada dua pilihan yang bisa ditawarkan: harga biasa dengan rasa ala kadarnya atau rasa seperti biasa dengan harga luar biasa. Tentu bukan pilihan mudah. Apalagi bagi para sudra.

Bagaimana pula nasib dapur-dapur tempat mempersiapkan tenaga bagi mereka yang dicinta. Tentu akan diselimuti suasana murung. Karena Ibu tidak dapat menyajikan makanan lezat bagi suami yang pulang bekerja. Tak juga bisa membuat bekal istimewa bagi buah hatinya untuk dibawa menuntut ilmu esok hari.

Dan pengembaraan itu sampai pada ladang-ladang luas di mana para petani berbondong-bondong menanam bawang. Tentu mereka berharap untung besar dengan harga bawang yang melambung. Tanpa mereka sadar, saat panen raya tiba, harga bawang akan terjun bebas menghempas dasar. Sehingga uang yang sudah tertanam tak akan pernah balik modal. Salah siapa? Entah.

Sampai aku kembali pada ibu setengah tua yang termangu memandang kosong pasar yang mulai lengang.

“Maaf, Suamiku. Hari ini masakan akan sedikit hambar,” gumamnya menerawang siang yang selangkah lagi ia jelang.

Tak tega aku mengganggu terawangnya. Sesungguhnya aku hanya ingin meminta maafnya. Tadi pagi sudah kuragukan ucapannya. Bahkan kutuduh ia salah bicara.

***

Cukup sudah. Cukup aku berdiam. Aku akan mendatangi mereka. Jika suara jelata sudah tidak mampu membuat mata mereka berkaca, maka mereka harus diingatkan dengan cara yang berbeda. Aku akan menemui mereka. Membawa nyala, membawa fakta.

Maka pagi-pagi sekali aku berangkat. Kungiang-ngiangkan lagi gumam-gumam yang kusimpan: pada lembar kertas, pada sehelai celana dalam bernoda darah. Kulipat mereka dan kusimpan di saku celana.

Lewat tengah hari, sampailah. Melaju menuju ruang istana. Tak peduli pada para penjaga yang terbata. Mendobrak pintu tempat mereka seharusnya bekerja. Mataku berkaca terbayang semuanya. Pandanganku lamur tertutup butiran-butiran sekujur kornea.

Satu-satu kemudian terngiang. Mulai dari gumam Ibu penjual bumbu yang menerawang karena bawang-bawang menghilang.

“Mereka butuh kebijakan!” teriakku lantang.

Kemudian gumam sang guru yang mematung memandangi sekolah lapuk, tempatnya berbagi ilmu dengan anak-anak kampung kaki gunung, rubuh dalam gerak lambat. Lututku turut jatuh bersama gemuruh terakhir luruhnya bangunan yang senyap dikepalaku.

“Mereka butuh perhatian,” teriakku lantang di sela sedu-sedan yang mengancam.

Lalu ngiang gumam gadis kecil yang menderita demam karena kemaluannya lebam setelah ayah membawanya ke kamar belakang. Tatapan terakhir sebelum matanya tertutup meluruhkan tangisku. Ia masih terlalu belia.

“Mereka butuh perlindungan…” suaraku melemah berkejaran dengan isak yang sudah tak tertahan. Hilang terserap rupa-rupa kemewahan di dalam istana.

Aku terkapar. Tak lagi berdaya. Semua energi sudah kuhabiskan untuk menahan nestapa anak-anak bangsa yang berkecamuk di dalam dada.

Aku masih terkapar. Di dalam aula luas yang ternyata tak berpenghuni.

Lalu di mana mereka, yang jika pun ada, tak pernah terusik oleh berisik tangis dan teriakan para jelata? Apalagi oleh tangis dan teriakanku; yang hanya ada setelah terik sebelum embun. Yang hanya sekumpulan kabut yang bergumam…

Entah. Negeri ini kurasakan makin muram.

***

Sementara di luar, sekelompok orang meneriakkan nama ksatria, yang dipercaya sebagai ksatria bijaksana, dengan gegap gempita bersama para penghuni istana. Dan di pusat perhatian, seseorang berorasi penuh karisma. Mengumbar janji-janji mulia jika dipercaya memimpin negara. Tak hanya satu kelompok ternyata, satu kelompok lainnya juga riuh-rendah dengan seting yang sama: sekumpulan orang dan para penghuni istana meneriakkan nama ksatria bijaksana yang mengumbar janji-janji mulia dengan gegap gempita.

Ah, semoga mereka tidak melupakan ikrar-ikrar mulianya jika sudah terpilih menjadi abdi dan beroleh izin menikmati mewahnya istana seperti yang telah terjadi berulang kali. Pada mereka, nanti akan ada yang menitipkan ribuan gumam yang masih dia genggam.

Semoga negeri ini tak makin muram…

Batu Hijau, 26 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun