Tiga belas Juni lalu sejarah mencatat Tol terpanjang di Indonesia diresmikan. Masyarakat kemudian ber-Euforia dengan berbondong-bondong menjajal tol yang membelah Jawa Barat itu. Selesainya tol Cipali digadang-gadang menjadi solusi kemacetan yang kerap terjadi di jalur pantura dan kurang representatifnya jalan di jalur tengah.
Namun ternyata sejarah juga akan mencatat, diresmikannya tol terpanjang di Indonesia ini masih menyisakan pilu bagi sebagian warga Subang. Ditengah euforia tol baru, mereka justru harus memikirkan tempat tinggalnya yang tergusur atas nama pembangunan infrastruktur untuk rakyat.
Hampir 10 bulan dari eksekusi lahan hingga saat ini, mereka belum menerima uang pengganti karena tidak sepakat dengan harga yang ditawarkan tim pembebasan lahan. Mereka tidak mau menerima jika tanah dan bagunannya hanya dihargai Rp. 37 ribu per meter persegi. Namun, meskipun belum menerima uang pengganti, mereka terpaksa harus menyaksikan bangunan dan tanahnya diratakan buldozer.
Hari mulai sore ketika tiba di tenda pengungsian milik Anen di kampung Segrang, Desa Padaasih, Kecamatan Cibogo, Kamis (25/6/2015). Anen bercerita, sejak September 2014 lalu ia dan keluarga terpaksa harus tinggal ditenda pengungsian yang ia bangun sendiri dari terpal di halaman rumah adiknya yang juga prasejahtera. Untunglah saat ini musim kemarau, ia tak harus was-was jika hujan tiba-tiba turun tengah malam seperti beberapa bulan lalu.
Anen mengaku sedih atas perlakuan yang ia terima, menurutnya pemerintah tidak ada belas kasihan kepada dia dan keluarganya.
“Dulu apa yang saya tidak lalukan demi negara, kurang apa partisipasi saya ke pemerintah, dari jaman dulu saya ikut kerja bakti, pajak juga selalu saya bayar, namun sekarang saya tidak bisa menerima dianiaya seperti ini,” katanya.
Anen masih ingat betul amanat presiden Sukarno dulu. Menurutnya dulu bung Karno pernah berkata, “Sekarang sudah dimerdekakan, rakyat satu negara harus sama rata sama rasa”, ungkap Anen, amanat bung Karno itu tersimpan dalam memorinya. Ia mengaku memendam amarah ketika menyaksikan rumahnya dan tanahnya seluas 1008 m2 diratakan oleh buldozer, namun apa daya dirinya tak bisa berbuat apa-apa.
“Saya bukannya mau melawan pemerintah. Tapi ternyata saat ini pemerintah tidak ada belas kasihan kepada saya,” ucap Anen dengan nada parau. Sudut matanya mulai memerah. Terlihat betul ia menahan kesedihan.
Meskipun sudah dihancurkan, baik Anen maupun Margoni mengaku masih memiliki sertifikat tanahnya. Mereka berharap segera memperoleh uang penggantinya dengan harga yang layak.
Masih di desa yang sama, ada pula Didi yang kehilangan mata pencahariannya karena sawahnya seluas 6006 m2 sudah berubah menjadi jalan tol meski hingga saat ini dirinya belum mendapat uang ganti rugi.