Di suatu kampung pesisir bernama Karang Garing, hiduplah empat sahabat: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka sudah seperti gabungan Avengers versi nelayan. Tugas mereka sederhana: melaut, menangkap ikan, dan mengeluh soal harga solar yang naik terus.
Namun, suatu pagi, Kobar yang pertama kali melihatnya. Dengan mata melotot dan mulut setengah terbuka, dia berteriak, "Hei, kalian lihat itu? Laut kita dipagerin!"
Kahar, yang sedang menyuap nasi uduk, tersedak. "Pagerin? Laut? Emangnya ada maling nyuri ombak?"
Badu dan Rijal datang menghampiri, dan mereka semua berdiri mematung. Di depan mereka, sebuah pagar bambu raksasa membentang di sepanjang pantai. Tingginya cukup buat menahan gelombang, atau bahkan membatasi penglihatan ikan.
"Siapa sih yang masang beginian? Apa kita nggak cukup menderita dengan harga solar?" keluh Rijal.
"Coba kita tanya Pak Lurah," usul Badu, yang entah kenapa selalu merasa dia paling bijak.
Pak Lurah, seperti biasa, sedang duduk di balai desa sambil memainkan catur melawan dirinya sendiri. Mendengar pertanyaan mereka, dia menjawab dengan gaya sok penting, "Oh, itu proyek besar. Saya dengar katanya biar laut jadi eksklusif. Lagi zaman sekarang, semua yang eksklusif kan mahal!"
"Eksklusif apanya, Pak? Kami nelayan, ini laut kami! Kalau ada pagar, gimana caranya kami menangkap ikan?" protes Kahar.
Pak Lurah mengangkat bahu. "Ya nggak tahu. Itu kan bukan urusan saya. Saya cuma... ya, mendukung siapa pun yang bayar pajak."
Mereka berempat akhirnya sepakat untuk menyelidiki sendiri. Dengan perahu kecil mereka, mereka mencoba mendekati pagar itu. Tapi di tengah jalan, perahu mereka ditahan oleh penjaga berseragam.