Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Santri dan Panggung Politik

30 Oktober 2024   11:12 Diperbarui: 30 Oktober 2024   11:12 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Santri -- kelompok yang selama ini dikenal sebagai penjaga moral dan pengamal ajaran agama -- kini semakin sering terlihat di panggung politik. Dari hari ke hari, peran santri dalam politik kian signifikan, mulai dari menjadi kader partai, anggota dewan, hingga menduduki posisi penting di pemerintahan. Namun, di tengah dunia politik yang penuh intrik dan kepentingan, pertanyaan besar pun muncul: mampukah santri tetap menjaga integritas dan nilai-nilai luhur mereka, atau justru terseret dalam pusaran kekuasaan yang kerap kali mengaburkan batas antara idealisme dan pragmatisme?

Santri dalam Politik: Kepentingan atau Kebutuhan?

Keterlibatan santri dalam dunia politik sebetulnya bukanlah hal yang baru. Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa kaum santri ikut memperjuangkan kemerdekaan dan berperan aktif dalam membangun bangsa. Santri membawa nilai-nilai yang khas, seperti kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan, yang menjadi kekuatan moral tersendiri di tengah panggung politik. Namun, di era sekarang, keterlibatan santri dalam politik tampak semakin kompleks. Banyak yang melihatnya sebagai peluang untuk memperjuangkan nilai-nilai agama dalam kebijakan negara, tetapi tak sedikit pula yang mempertanyakan apakah keterlibatan ini murni demi kepentingan bangsa, atau sekadar alat bagi kekuatan politik tertentu.

Sayangnya, keberadaan santri dalam politik tidak selalu berjalan sesuai harapan. Ada kalanya santri yang seharusnya menjadi teladan malah terjebak dalam praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka anut. Banyak santri yang justru terseret dalam konflik kepentingan, menjadi boneka politik, atau bahkan terlibat dalam kasus korupsi yang mencederai citra kesucian yang mereka bawa.

Pergulatan antara Idealisme dan Pragmatisme

Masuk ke dalam dunia politik artinya masuk ke dalam arena yang penuh kompromi dan negosiasi. Sebagai tokoh yang membawa simbol keagamaan, santri sering kali dihadapkan pada dilema antara mempertahankan idealisme atau menyesuaikan diri dengan realitas politik. Mereka dihadapkan pada tekanan untuk berkoalisi dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai kesederhanaan dan ketulusan yang menjadi ciri khas santri mudah tergerus oleh kepentingan politik yang lebih besar.

Ironisnya, pragmatisme yang dibutuhkan di panggung politik sering kali mengubah pandangan publik terhadap santri. Ketika seorang santri harus berkompromi dengan pihak-pihak tertentu atau mendukung kebijakan yang jauh dari nilai keadilan, kepercayaan masyarakat bisa memudar. Alhasil, mereka yang awalnya dianggap sebagai pencerah malah berpotensi kehilangan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat yang mengharapkan sosok pemimpin yang jujur dan berdedikasi.

Kekuatan Moral yang Tersandera?

Sebagai bagian dari politik, santri membawa kekuatan moral yang unik. Mereka diharapkan bisa menjadi penjaga nurani bangsa, memperjuangkan hak-hak rakyat, dan menolak segala bentuk ketidakadilan. Namun, ketika sudah terjun ke dalam sistem, banyak santri yang terjebak dalam kompromi yang membuat mereka sulit menegakkan prinsip. Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang peran santri dalam politik: apakah mereka benar-benar bisa menjadi pelopor perubahan, atau malah tersandera oleh sistem?

Jika santri mampu mempertahankan idealisme mereka, maka mereka bisa menjadi kekuatan besar untuk mengubah wajah politik yang selama ini kerap dipandang penuh kepalsuan dan kepentingan pribadi. Namun, hal ini hanya mungkin terjadi jika santri benar-benar berani menolak tawaran-tawaran yang bisa mengaburkan idealisme mereka. Sebaliknya, jika mereka memilih jalan pragmatis, maka kekuatan moral yang seharusnya menjadi modal utama mereka justru akan sirna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun