Santri -- kelompok yang selama ini dikenal sebagai penjaga moral dan pengamal ajaran agama -- kini semakin sering terlihat di panggung politik. Dari hari ke hari, peran santri dalam politik kian signifikan, mulai dari menjadi kader partai, anggota dewan, hingga menduduki posisi penting di pemerintahan. Namun, di tengah dunia politik yang penuh intrik dan kepentingan, pertanyaan besar pun muncul: mampukah santri tetap menjaga integritas dan nilai-nilai luhur mereka, atau justru terseret dalam pusaran kekuasaan yang kerap kali mengaburkan batas antara idealisme dan pragmatisme?
Santri dalam Politik: Kepentingan atau Kebutuhan?
Keterlibatan santri dalam dunia politik sebetulnya bukanlah hal yang baru. Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa kaum santri ikut memperjuangkan kemerdekaan dan berperan aktif dalam membangun bangsa. Santri membawa nilai-nilai yang khas, seperti kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan, yang menjadi kekuatan moral tersendiri di tengah panggung politik. Namun, di era sekarang, keterlibatan santri dalam politik tampak semakin kompleks. Banyak yang melihatnya sebagai peluang untuk memperjuangkan nilai-nilai agama dalam kebijakan negara, tetapi tak sedikit pula yang mempertanyakan apakah keterlibatan ini murni demi kepentingan bangsa, atau sekadar alat bagi kekuatan politik tertentu.
Sayangnya, keberadaan santri dalam politik tidak selalu berjalan sesuai harapan. Ada kalanya santri yang seharusnya menjadi teladan malah terjebak dalam praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai yang mereka anut. Banyak santri yang justru terseret dalam konflik kepentingan, menjadi boneka politik, atau bahkan terlibat dalam kasus korupsi yang mencederai citra kesucian yang mereka bawa.
Pergulatan antara Idealisme dan Pragmatisme
Masuk ke dalam dunia politik artinya masuk ke dalam arena yang penuh kompromi dan negosiasi. Sebagai tokoh yang membawa simbol keagamaan, santri sering kali dihadapkan pada dilema antara mempertahankan idealisme atau menyesuaikan diri dengan realitas politik. Mereka dihadapkan pada tekanan untuk berkoalisi dengan pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda atau bahkan bertentangan. Dalam situasi seperti ini, nilai-nilai kesederhanaan dan ketulusan yang menjadi ciri khas santri mudah tergerus oleh kepentingan politik yang lebih besar.
Ironisnya, pragmatisme yang dibutuhkan di panggung politik sering kali mengubah pandangan publik terhadap santri. Ketika seorang santri harus berkompromi dengan pihak-pihak tertentu atau mendukung kebijakan yang jauh dari nilai keadilan, kepercayaan masyarakat bisa memudar. Alhasil, mereka yang awalnya dianggap sebagai pencerah malah berpotensi kehilangan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat yang mengharapkan sosok pemimpin yang jujur dan berdedikasi.
Kekuatan Moral yang Tersandera?
Sebagai bagian dari politik, santri membawa kekuatan moral yang unik. Mereka diharapkan bisa menjadi penjaga nurani bangsa, memperjuangkan hak-hak rakyat, dan menolak segala bentuk ketidakadilan. Namun, ketika sudah terjun ke dalam sistem, banyak santri yang terjebak dalam kompromi yang membuat mereka sulit menegakkan prinsip. Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang peran santri dalam politik: apakah mereka benar-benar bisa menjadi pelopor perubahan, atau malah tersandera oleh sistem?
Jika santri mampu mempertahankan idealisme mereka, maka mereka bisa menjadi kekuatan besar untuk mengubah wajah politik yang selama ini kerap dipandang penuh kepalsuan dan kepentingan pribadi. Namun, hal ini hanya mungkin terjadi jika santri benar-benar berani menolak tawaran-tawaran yang bisa mengaburkan idealisme mereka. Sebaliknya, jika mereka memilih jalan pragmatis, maka kekuatan moral yang seharusnya menjadi modal utama mereka justru akan sirna.
Tantangan untuk Kembali kepada Nilai
Sebagai komunitas yang tumbuh dari nilai-nilai luhur, santri memiliki tugas yang tidak mudah dalam menjaga diri di dunia politik. Bagi mereka, politik bukan sekadar ajang untuk meraih kekuasaan, tetapi juga lahan pengabdian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Agar peran santri di dunia politik tidak sekadar menjadi simbol tanpa makna, santri perlu selalu mengingat prinsip dasar yang diajarkan di pesantren: ketulusan dalam mengabdi, keberanian untuk mengatakan kebenaran, dan kesetiaan pada nilai-nilai keadilan.
Santri yang terjun ke politik harus berani melawan arus, menolak korupsi, dan mengedepankan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Di sinilah pentingnya pembekalan spiritual dan moral yang kuat, agar santri bisa menjaga diri dari jebakan politik yang penuh godaan. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi pion dalam permainan politik, kehilangan idealisme, dan malah mencederai citra yang mereka bangun selama ini.
Harapan Baru bagi Politik yang Bermoral
Di tengah kekecewaan publik terhadap dunia politik, santri masih memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Masyarakat menaruh harapan bahwa santri mampu membawa angin segar dalam politik, menjadi pemimpin yang berintegritas, jujur, dan tidak silau oleh kekuasaan. Namun, ini bukanlah tugas yang mudah. Santri harus siap menghadapi segala konsekuensi dari keteguhan mereka dalam memegang nilai, bahkan jika itu berarti mereka harus berhadapan dengan kepentingan-kepentingan besar.
Pada akhirnya, peran santri di panggung politik bukan hanya soal menduduki jabatan, melainkan soal membawa nurani ke dalam kekuasaan. Mereka perlu menjadi sosok yang membela kepentingan rakyat dengan hati nurani yang bersih, menolak segala bentuk penyelewengan, dan menjaga agar politik tidak kehilangan arah. Hanya dengan cara inilah santri mampu berperan dalam membangun bangsa yang adil dan bermartabat, serta menjaga marwah yang telah lama mereka jaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H