Dalam masyarakat kita, ada istilah yang akrab namun sering kali penuh dilema: kebenaran normatif. Kebenaran normatif adalah konsep tentang apa yang dianggap benar oleh masyarakat meskipun, dalam banyak kasus, realitasnya bisa sangat berbeda.Â
Ini adalah kebenaran yang didukung oleh norma dan adat, bukan selalu oleh fakta atau bukti. Seringkali, kebenaran ini justru berfungsi lebih sebagai alat kontrol sosial, mencegah perdebatan, atau menekan mereka yang berbeda pandangan.
Kebenaran normatif adalah cermin dari "kebenaran yang nyaman" --- sesuatu yang kita percayai bukan karena itu mutlak benar, tetapi karena kita ingin atau perlu mempercayainya.Â
Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa kesuksesan hidup harus diwujudkan melalui pencapaian-pencapaian konvensional: lulus dengan nilai tinggi, mendapatkan pekerjaan mapan, menikah, dan memiliki anak. Pola ini diterima sebagai kebenaran normatif; masyarakat mendorongnya sebagai jalan yang ideal untuk mencapai kebahagiaan.
 Tetapi apakah kenyataannya begitu? Jika kita lihat lebih dalam, banyak orang yang menjalani jalur berbeda atau justru menemukan kebahagiaan mereka di luar parameter ini. Namun, tetap saja, mereka yang tidak menjalani hidup "normatif" seringkali dianggap menyimpang, kurang bahagia, atau bahkan gagal.
Masyarakat mengkondisikan kita untuk percaya pada kebenaran normatif ini seolah-olah tidak ada alternatif lain. Padahal, setiap individu memiliki latar belakang, impian, dan tujuan hidup yang berbeda.
 Ketika seseorang memilih jalan yang berbeda, tak jarang mereka menghadapi stigma atau penolakan dari masyarakat. Mereka dianggap melawan arus atau bahkan menentang norma yang sudah mapan.
 Hal ini menciptakan tekanan sosial yang luar biasa, membuat orang merasa perlu mengikuti norma meskipun itu mungkin bertentangan dengan nilai-nilai atau kebahagiaan pribadi mereka.
Kebenaran normatif juga sering kali menjadi dalih bagi status quo. Dalam dunia kerja, misalnya, terdapat kebenaran normatif bahwa loyalitas adalah bentuk kesetiaan paling utama dalam karier.
 Banyak perusahaan memandang karyawan yang bertahan lama sebagai tanda dedikasi, sementara mereka yang berpindah-pindah dianggap tidak setia. Namun, dalam kenyataannya, apakah loyalitas ini selalu membawa keuntungan bagi karyawan? Tidak selalu.