Mendengar pernyataan itu, Pak Joko, pemilik warung kopi, ikut serta dalam percakapan. "Anak-anak, uang itu penting, tapi ingat, bahagia itu tidak melulu soal harta. Lihatlah di sekitar kita, banyak orang yang hidup sederhana tetapi bahagia. Mereka punya keluarga, teman, dan saling mendukung."
Kahar, dengan nada mengada-ada, berkata, "Tapi Pak Joko, bagaimana jika kita punya banyak uang dan tetap merasa kesepian? Kita bisa membeli banyak barang, tapi tidak ada yang menemani kita."
Badu menambahkan, "Itu dia! Kadang, kebahagiaan itu lebih tentang hubungan dan ikatan sosial daripada harta. Kita bisa memiliki banyak uang, tetapi jika tidak ada orang-orang yang kita cintai di sekitar kita, apakah itu berarti kita bahagia?"
Rijal, yang optimis, menyimpulkan, "Jadi, kuncinya adalah keseimbangan. Kita tidak bisa menolak bahwa uang itu penting, tapi jangan sampai kita mengorbankan hubungan kita demi mengejar harta. Kita harus menemukan kebahagiaan dalam keseharian kita."
Saat malam tiba, mereka semua sepakat bahwa kebahagiaan tidak datang hanya dari harta, tetapi dari bagaimana kita menjalani hidup, berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita, dan menciptakan kenangan indah.
Dalam perjalanan pulang, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal menyadari bahwa meskipun dunia sering kali mengukur kebahagiaan dari banyaknya harta, sejatinya kebahagiaan itu lebih dalam dan lebih berarti ketika ditemukan dalam hubungan, cinta, dan kebersamaan. Warung kopi "Tenang Saja" menjadi saksi bagaimana mereka menggali makna kebahagiaan sejati, yang tidak tergantung pada seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita bagi dan nikmati bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H