Di sebuah studio seni kecil, Kobar berdiri di depan kanvas yang tampak seperti medan perang. Warna-warna merah, biru, kuning, dan hijau berbaur dalam sapuan kuas yang kacau, garis-garisnya liar, dan teksturnya tampak seperti sesuatu yang dilukis oleh badai. Kobar baru saja selesai menciptakan masterpiece-nya yang ia sebut sebagai "Ekspresi Jiwa Tersesat di Antara Harapan dan Kegelisahan."
Sementara itu, tiga sahabatnya---Kahar, Badu, dan Rijal---berdiri di belakangnya, menatap penuh kebingungan dan sedikit ketakutan.
"Aku menyebut ini... ekspresionisme!" Kobar berkata dengan penuh keyakinan. "Ini tentang emosi yang tidak terkendali, ledakan perasaan yang tak terbendung. Lihat garis-garis ini! Lihat warna-warna ini! Ini adalah jeritan jiwa yang ingin keluar dari penjara kehidupan!"
Kahar, yang biasanya paling suportif, terlihat bingung. "Emosi... ya? Apa maksudmu ini lukisan emosi, Kobar?"
Badu, yang jarang bisa menahan komentar tajamnya, langsung memotong. "Ini lebih kelihatan seperti perkelahian cat. Apa ini tadi catnya berkelahi sendiri sebelum kamu mulai?"
Kobar langsung menatap Badu dengan tatapan yang nyaris dramatis. "Badu, kamu tidak mengerti! Ekspresionisme bukan soal bentuk atau detail yang rapi. Ini soal mengekspresikan emosi yang paling dalam, tanpa batas!"
Rijal, yang selama ini cukup sabar, maju mendekati lukisan itu. "Aku bisa melihat ada sesuatu yang sedang terjadi di sini... tapi jujur saja, aku nggak tahu itu apa. Apa yang kamu coba sampaikan, Kobar?"
Kobar menghela napas panjang, seperti seorang guru yang menghadapi murid-murid yang tidak paham pelajaran. "Rijal, ini adalah ungkapan kegelisahan manusia modern! Lihat sapuan merah ini! Ini adalah marah yang tak terucapkan! Dan biru di sini---ini adalah duka yang dalam, lautan kesedihan yang tidak terlihat. Semuanya mengalir bersama, dalam harmoni yang tidak sempurna!"
Kahar memiringkan kepala, mencoba lebih memahami. "Jadi, merah itu marah, biru itu sedih... dan yang kuning? Apa itu kebahagiaan?"
Kobar mengangguk penuh semangat. "Tepat sekali, Kahar! Kuning itu kebahagiaan yang terperangkap di antara semua kegelisahan ini. Dia berusaha keluar, tapi terhimpit oleh tekanan emosional di sekitarnya. Kalian harus merasakannya, bukan hanya melihatnya!"