Di sebuah studio seni yang penuh dengan kanvas, kuas, dan aroma cat minyak, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal berkumpul untuk melihat pameran seni lukis realis yang dipamerkan oleh seorang seniman yang katanya, "menangkap realitas seperti kamera hidup." Pameran itu bertajuk "Seni Sejati, Lebih Nyata dari Nyata."
Kobar, seperti biasa, merasa dirinya ahli dalam semua hal yang berhubungan dengan seni. Berdiri di depan salah satu lukisan pemandangan yang begitu detil sampai rumputnya terlihat seperti bisa disentuh, Kobar menarik napas panjang dan berseru, "Lihat ini, teman-teman. Inilah seni sesungguhnya! Seni realis, seni yang menunjukkan realitas dalam setiap detilnya. Nggak ada yang bisa menandingi keindahan yang nyata!"
Kahar mengangguk semangat. "Benar, Kobar! Lukisan ini terlihat seperti foto, tapi lebih bagus. Lihat bayangan daun-daun itu, sangat presisi. Ini adalah karya yang membutuhkan bakat sesungguhnya, bukan cipratan-cipratan warna yang nggak jelas."
Badu, yang selama ini diam, menatap lukisan itu dengan ekspresi bingung. "Tapi... apa gunanya melukis sesuatu yang sama persis dengan kenyataan? Kalau mau lihat pemandangan kayak gini, kenapa nggak foto aja? Lebih cepat dan nggak bikin sakit kepala."
Kobar terkejut dengan pernyataan Badu. "Kamu ini nggak ngerti seni, Badu. Seni realis itu lebih dari sekadar menggambar sesuatu seperti aslinya. Ini soal keterampilan teknis, tentang menangkap momen yang lebih indah dari aslinya. Fotografi itu cuma mekanis, tapi lukisan realis? Itu adalah perpaduan antara mata, tangan, dan jiwa!"
Badu tetap mengerutkan dahi. "Tapi aku masih nggak ngerti, kenapa harus melukis sesuatu yang udah ada? Kayaknya buang-buang waktu deh. Bukannya lebih seru kalau kita bisa bikin sesuatu yang nggak pernah ada di dunia nyata?"
Rijal, yang sejak tadi berdiri di pojok ruangan sambil menyilangkan tangan, akhirnya ikut bersuara. "Badu ada benarnya. Melukis sesuatu yang udah ada dengan detil sedemikian rupa, bukannya cuma memperkuat kenyataan yang sudah kita lihat setiap hari? Apa seni itu harus selalu tentang meniru apa yang sudah ada?"
Kahar tertawa kecil. "Rijal, kamu terlalu sok eksperimental. Realisme itu adalah esensi seni sejati. Lihatlah seniman-seniman besar dari masa lalu, mereka semua menguasai teknik realis sebelum melangkah ke hal lain. Ini soal keterampilan yang menakjubkan, bro."
Rijal mengangguk. "Aku nggak meremehkan keterampilan itu, Kahar. Tapi bayangkan, jika semua pelukis hanya membuat sesuatu yang sudah bisa dilihat di luar sana, di mana letak imajinasi? Bukankah seni juga tentang menciptakan hal-hal baru, yang mungkin belum pernah kita lihat atau bayangkan?"
Kobar, yang selalu senang berdebat, segera membalas. "Ah, kamu salah paham, Rijal. Justru dengan melukis realitas, kita bisa menghargai hal-hal kecil yang sering terlewat. Seperti tekstur kayu, bayangan di permukaan air, atau cara cahaya memantul di dedaunan. Itulah inti dari seni realis---membawa hal-hal yang biasa menjadi luar biasa!"