Rijal menepuk bahu Kahar. "Itu poin yang bagus, Kahar. Tapi seni tradisional nggak harus mati hanya karena seni modern berkembang. Ada tempat untuk semua gaya. Yang penting adalah kita tidak membatasi diri pada satu jenis seni dan menganggapnya sebagai yang paling benar."
Kobar, yang masih merasa dirinya paling tahu soal seni, berdecak kesal. "Baiklah, Rijal, mungkin kamu punya poin. Tapi seni realis akan selalu punya tempat di hati para pecinta seni yang mengerti keindahan yang nyata."
Rijal tersenyum. "Dan seni yang abstrak, imajinatif, atau eksperimental juga akan selalu punya tempat di hati mereka yang mencari lebih dari sekadar dunia nyata. Pada akhirnya, seni adalah tentang apa yang kita rasakan, bukan hanya tentang apa yang kita lihat."
Kahar, Kobar, Badu, dan Rijal saling bertukar pandang. Mereka mungkin tidak sepenuhnya setuju, tetapi satu hal yang pasti: seni, baik itu realis atau tidak, selalu membuka ruang untuk diskusi dan perdebatan yang tidak akan pernah selesai.
Di tengah ruangan, lukisan pemandangan yang begitu detail itu tetap diam, seakan menunggu giliran untuk berbicara lebih banyak. Atau mungkin, hanya ingin meniru alam yang sudah bicara lebih dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H