Badu menatap lukisan itu lagi, kali ini lebih lama. "Tapi kalau semua yang dilukis persis kayak aslinya, di mana tempat bagi kreativitas? Apa seniman cuma jadi mesin fotokopi manusia?"
Kahar mengangkat bahu. "Mesin fotokopi manusia yang sangat berbakat, Badu. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mencapai tingkat keterampilan ini."
Rijal tertawa pelan. "Jadi menurutmu seni yang baik adalah yang paling mirip kenyataan?"
Kahar mengangguk tegas. "Tentu saja! Lihatlah para pelukis besar seperti Rembrandt atau Da Vinci. Mereka menciptakan seni yang bisa membuat orang tercengang dengan kemiripannya pada dunia nyata. Itu baru seni!"
Rijal tersenyum licik. "Jadi, kalau aku melukis sepatu usang dengan sangat detail, sampai semua goresan dan lecetannya tampak seperti aslinya, itu otomatis jadi seni hebat?"
Kobar langsung menyela, "Tentu saja! Kalau kamu bisa menangkap setiap detilnya dengan sempurna, maka itu seni luar biasa."
Rijal menghela napas panjang dan menatap ke arah Kobar dan Kahar. "Kalian terlalu terjebak pada ide bahwa seni harus meniru kenyataan. Bukankah seni juga seharusnya mendorong batasan, membebaskan imajinasi, dan mengekspresikan sesuatu yang lebih dari sekadar kenyataan yang bisa dilihat?"
Kobar menatap Rijal dengan tegas. "Seni yang baik harus bisa dilihat, dirasakan, dan dipahami. Kalau orang nggak bisa mengerti apa yang mereka lihat, lalu apa gunanya?"
Rijal tertawa kecil. "Kobar, seni bukan soal bisa dimengerti atau tidak. Kadang-kadang, seni adalah tentang memberi ruang bagi interpretasi, membiarkan orang menemukan makna sendiri. Bukankah itu lebih menarik daripada sekadar membuat salinan dunia nyata?"
Badu, yang tadinya bingung, sekarang mulai tersenyum. "Aku rasa, ada benarnya juga apa yang dibilang Rijal. Lukisan ini memang indah, tapi aku nggak merasa apa-apa selain kagum pada tekniknya. Aku lebih suka melihat sesuatu yang membuatku berpikir atau merasakan sesuatu yang baru, bukan cuma melihat salinan dunia."
Kahar, yang dari tadi berusaha mempertahankan pendapatnya, mulai merasakan keraguan. "Tapi kalau semua orang hanya melukis hal-hal yang nggak nyata, siapa yang akan menjaga seni tradisional? Siapa yang akan melestarikan keterampilan ini?"