Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Salah Pilih Salah Langkah

23 Oktober 2024   18:26 Diperbarui: 23 Oktober 2024   18:35 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah warung kopi yang sudah menjadi markas harian mereka, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal kembali berkumpul. Hari itu pembicaraan mereka terasa lebih intens. Pilkada baru saja berlalu, dan hasilnya tak sesuai dengan harapan mereka. Wajah keempatnya mencerminkan kebingungan dan sedikit penyesalan.

Kobar membuka pembicaraan dengan nada getir. "Bro, kalian ngerasa gak sih, kita kayak salah pilih paslon?"

Kahar, yang biasanya lebih tenang, kali ini terlihat gusar. "Ya gimana enggak. Gue pikir dia bakalan beda, bro! Visinya bagus, katanya peduli sama rakyat kecil. Eh, baru terpilih, malah sibuk foto-foto buat konten. Pemerintahannya gak jelas arahnya."

Badu, dengan gaya khasnya yang santai tapi penuh sindiran, tertawa kecil. "Lah, emang lo pikir paslon itu mau bener-bener kerja? Mereka cuma mau viral, bro! Janjinya aja yang muluk-muluk. Tapi di belakang kamera? Sibuk endorse barang dagangan."

Rijal, yang selalu lebih serius, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue udah feeling jelek dari awal. Tapi apa daya, amplopnya tebal. Banyak yang kecantol amplop, jadinya kita kebawa arus."

Kobar, yang dari tadi diam mendengarkan, akhirnya berbicara lagi. "Gue inget waktu mereka kampanye. Janjinya sampai bikin gue terkagum-kagum. 'Wah, ini calon yang kita tunggu-tunggu!' pikir gue. Tapi nyatanya? Nol besar."

Kahar melanjutkan dengan nada pahit. "Inget gak janji soal infrastruktur? Katanya dalam 100 hari pertama, jembatan baru bakal dibangun, sekolah diperbaiki. Nyatanya? Jembatan masih bolong-bolong, anak-anak sekolah malah belajar di teras rumahnya sendiri."

Badu menambahkan dengan sinis. "Dan jangan lupa, janji soal kesehatan gratis! Sekarang? Kartu antrian rumah sakit lebih panjang dari daftar janji kampanye mereka."

Tawa pahit terdengar dari keempat pria itu. Mereka tahu betul bahwa janji-janji manis kampanye hanya menjadi angin lalu. Tapi yang membuat situasi semakin parah adalah bahwa mereka ikut menjadi bagian dari orang-orang yang termakan janji tersebut.

Rijal, yang selalu cenderung berpikir rasional, mencoba memberi alasan. "Gue gak sepenuhnya nyalahin kita. Mereka pinter banget bungkus janji-janji itu. Siapapun pasti bisa kebawa suasana. Strategi kampanye mereka luar biasa, bro. Mereka tau apa yang kita mau denger."

Kobar menyilangkan tangan di depan dada. "Iya, bener juga. Mereka pinter banget nge-manuver. Tapi apa ini cukup untuk maafin kita yang salah pilih? Kita sekarang harus tanggung akibatnya, bro."

Kahar mengangguk setuju. "Mereka ahli mainin emosi kita. Masang baliho di mana-mana, tiap hari nongol di TV, janjiin kita surga dunia. Tapi ternyata cuma neraka kecil yang dikasih."

Badu, dengan ekspresi datar, menambahkan. "Lucunya, mereka sekarang malah sibuk nyalahin rakyat. Katanya, 'Sabar dulu, proses gak bisa instan'. Lah, yang bikin kita berharap instan siapa? Janji-janjinya sendiri, kan?"

Suasana hening sejenak. Warung kopi yang tadinya riuh dengan obrolan mereka kini seakan memberi ruang untuk merenung. Masing-masing dari mereka terdiam, membayangkan masa depan di bawah pemerintahan paslon yang mereka pilih dengan penuh antusias---namun berujung pada kekecewaan.

Rijal akhirnya bersuara, nadanya serius. "Kita ini korban dari politik janji, bro. Tapi, apakah kita belajar dari kesalahan ini? Tahun depan, kalau ada pemilihan lagi, jangan-jangan kita masih terbuai janji yang sama."

Kobar tersenyum sinis. "Itu dia masalahnya. Rakyat gampang lupa, bro. Paslon baru muncul dengan janji baru, dan rakyat lagi-lagi terbuai. Siklus ini gak akan pernah selesai kalau kita gak mulai buka mata."

Kahar menghela napas panjang. "Gue cuma berharap, nanti kita gak salah pilih lagi. Tapi kalau paslonnya cuma janji-janji kosong lagi, gimana?"

Badu, dengan gaya bercandanya yang khas, menyeringai. "Kalau masih salah pilih juga, kita bikin warung kopi aja. Tempat buat rakyat curhat sambil ngeluh soal pilihan yang salah."

Tawa kecil kembali terdengar. Namun kali ini, ada nada pesimis yang terselip di dalamnya. Mereka tahu bahwa dalam politik, janji adalah senjata utama. Dan selama rakyat terus termakan janji-janji itu, siklus ini akan terus berulang.

Kobar menutup percakapan dengan nada sarkastis. "Gue rasa, tahun depan amplopnya akan lebih tebal. Siapa tau itu cukup buat nutupin kekecewaan kita."

Dan dengan tawa getir, mereka kembali menyeruput kopi. Pilkada berikutnya mungkin masih lama, tapi bayangan janji manis yang belum terlaksana terus menghantui mereka. Rakyat, seperti mereka, terus berharap. 

Tapi entah sampai kapan mereka akan terus salah pilih, dan entah sampai kapan amplop tebal akan jadi penentu nasib bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun