Kahar mengangguk setuju. "Mereka ahli mainin emosi kita. Masang baliho di mana-mana, tiap hari nongol di TV, janjiin kita surga dunia. Tapi ternyata cuma neraka kecil yang dikasih."
Badu, dengan ekspresi datar, menambahkan. "Lucunya, mereka sekarang malah sibuk nyalahin rakyat. Katanya, 'Sabar dulu, proses gak bisa instan'. Lah, yang bikin kita berharap instan siapa? Janji-janjinya sendiri, kan?"
Suasana hening sejenak. Warung kopi yang tadinya riuh dengan obrolan mereka kini seakan memberi ruang untuk merenung. Masing-masing dari mereka terdiam, membayangkan masa depan di bawah pemerintahan paslon yang mereka pilih dengan penuh antusias---namun berujung pada kekecewaan.
Rijal akhirnya bersuara, nadanya serius. "Kita ini korban dari politik janji, bro. Tapi, apakah kita belajar dari kesalahan ini? Tahun depan, kalau ada pemilihan lagi, jangan-jangan kita masih terbuai janji yang sama."
Kobar tersenyum sinis. "Itu dia masalahnya. Rakyat gampang lupa, bro. Paslon baru muncul dengan janji baru, dan rakyat lagi-lagi terbuai. Siklus ini gak akan pernah selesai kalau kita gak mulai buka mata."
Kahar menghela napas panjang. "Gue cuma berharap, nanti kita gak salah pilih lagi. Tapi kalau paslonnya cuma janji-janji kosong lagi, gimana?"
Badu, dengan gaya bercandanya yang khas, menyeringai. "Kalau masih salah pilih juga, kita bikin warung kopi aja. Tempat buat rakyat curhat sambil ngeluh soal pilihan yang salah."
Tawa kecil kembali terdengar. Namun kali ini, ada nada pesimis yang terselip di dalamnya. Mereka tahu bahwa dalam politik, janji adalah senjata utama. Dan selama rakyat terus termakan janji-janji itu, siklus ini akan terus berulang.
Kobar menutup percakapan dengan nada sarkastis. "Gue rasa, tahun depan amplopnya akan lebih tebal. Siapa tau itu cukup buat nutupin kekecewaan kita."
Dan dengan tawa getir, mereka kembali menyeruput kopi. Pilkada berikutnya mungkin masih lama, tapi bayangan janji manis yang belum terlaksana terus menghantui mereka. Rakyat, seperti mereka, terus berharap.Â
Tapi entah sampai kapan mereka akan terus salah pilih, dan entah sampai kapan amplop tebal akan jadi penentu nasib bangsa.