Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tebalnya Amplop Tebalnya Pilihan

23 Oktober 2024   17:25 Diperbarui: 23 Oktober 2024   17:29 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badu, masih dalam mode bercanda, kembali membuat lelucon. "Eh, gimana kalau di TPS nanti, setiap calon duduk di sebelah kotak suara sambil nenteng amplop? Biar pemilih bisa langsung lihat tebalnya amplop sebelum coblos."

Tawa mereka semakin keras, bahkan beberapa pengunjung warung kopi mulai memperhatikan. Namun di balik tawa itu, ada kepedihan yang tak terucapkan. Mereka tahu, amplop-amplop tebal itu adalah representasi dari matinya idealisme dalam politik.

Kahar, yang biasanya lebih santai, kali ini menghela napas panjang. "Kadang gue mikir, apa rakyat kita udah bener-bener gak peduli soal siapa yang mereka pilih? Apa semua ini cuma soal amplop?"

Rijal mengangguk. "Mungkin bukan karena mereka gak peduli. Tapi karena mereka merasa, siapapun yang menang, hidup mereka tetap gini-gini aja. Jadi, kalau bisa dapet keuntungan sekarang, kenapa nggak?"

Kobar, yang paling sering mencibir, kali ini terlihat sedikit lebih serius. "Lo bener, Ris. Rakyat udah lelah. Jadi mereka ambil apa yang bisa diambil sekarang. Dan amplop tebal itu, buat mereka, lebih nyata daripada janji kosong."

Badu, yang biasanya penuh lelucon, kali ini menatap serius ke arah temannya. "Gue jadi inget nenek gue, bro. Dia dulu sering bilang, 'Janji politisi itu kayak angin, gak bisa dipegang.' Mungkin karena itulah amplop jadi begitu penting sekarang. Karena itu yang bisa mereka pegang."

Suasana tiba-tiba berubah hening. Kopi di cangkir mereka mulai mendingin, sementara pikiran mereka melayang ke arah pemilu yang akan datang. Mereka tahu, tebalnya amplop akan terus menjadi penentu bagi banyak orang.

Tapi meskipun begitu, mereka juga sadar, di balik amplop-amplop tebal itu, ada harga yang jauh lebih mahal: masa depan bangsa yang dijual murah, demi kemenangan sesaat.

Kobar menutup percakapan dengan nada sinis namun penuh makna. "Ya sudah lah, bro. Selama amplop terus jadi raja, jangan kaget kalau kita terus dijajah... sama duit."

Dan mereka pun kembali tertawa. Tawa yang getir, tapi tak bisa dihindari. Di negara ini, tebalnya amplop mungkin memang menentukan pilihan. Tapi apakah pilihan itu akan membawa kebaikan? Itu pertanyaan yang jawabannya masih belum jelas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun