Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serangan Fajar Tim Pemenangan

22 Oktober 2024   16:24 Diperbarui: 22 Oktober 2024   17:06 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu pagi yang tenang, warung kopi Pak Kumis menjadi saksi bisu dari pertemuan mingguan Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Topik yang mereka bahas kali ini lebih panas dari kopi tubruk yang baru disajikan: 'serangan fajar' dari tim pemenangan calon dalam Pilkada.

Kobar, yang biasanya sarkastis, memulai diskusi dengan gaya khasnya. "Lo tau gak, gue sempet denger kabar kalau tim pemenangan calon udah mulai gerilya. Serangan fajar udah jadi strategi wajib, katanya."

Kahar mengernyitkan dahi, mencoba mencerna. "Serangan fajar? Itu kan strategi lama. Masa iya masih efektif?"

Badu, yang memang suka lelucon, langsung tertawa. "Efektif banget, Kah! Sekarang malah dikombinasiin sama teknologi. Serangan fajar level digital. Lo bangun pagi-pagi, buka HP, dapet transferan saldo e-wallet! Gak perlu amplop fisik lagi."

Rijal, yang biasanya tenang dan bijak, mencoba memberikan pandangan yang lebih seimbang. "Tapi lo jangan salah. Banyak juga yang udah tau dan sadar, kalo serangan fajar itu cuma cara tim pemenangan buat beli suara. Niatnya cuma buat menang, bukan buat benerin nasib rakyat."

Kobar mendengus, sembari menyeruput kopinya. "Ah, Ris, jangan terlalu idealis. Lo pikir rakyat peduli soal niat baik? Yang penting dapet dulu, urusan nanti belakangan. Mereka udah paham banget, janji paslon itu kayak mimpi di siang bolong, gak akan kejadian."

Badu, masih dalam mode bercanda, melanjutkan dengan gaya narator televisi. "Breaking news! Rakyat siap menyambut serangan fajar, dengan tangan terbuka dan dompet kosong! Siapa yang bakal menang kali ini, tim amplop fisik atau tim e-wallet?"

Tawa mereka pecah, tapi Kahar yang biasanya lebih serius, mencoba mengembalikan diskusi ke jalur yang lebih serius. "Tapi lo gak merasa ini udah keterlaluan? Masa demokrasi kita diukur dari siapa yang paling banyak ngasih uang pas fajar? Ini udah gak sehat, bro."

Rijal mengangguk setuju. "Bener. Harusnya pemilihan itu soal program, soal visi, bukan soal siapa yang paling banyak kasih amplop. Rakyat seharusnya milih calon yang punya kapasitas buat benerin kondisi."

Kobar menepuk bahu Rijal. "Ris, lo terlalu mulia buat politik Indonesia. Lo pikir rakyat masih mikir soal visi-misi? Mereka udah capek denger janji-janji kosong. Makanya serangan fajar masih laku. Buat mereka, ini kesempatan buat dapet keuntungan instan."

Badu, yang selalu pandai memancing tawa, mengangkat cangkir kopinya. "Kalau begitu, gue usul, di Pilkada berikutnya, dibuat aja aturan resmi. Setiap calon harus ngasih amplop ke rakyat. Biar semua kebagian rata. Udah gitu, sekalian aja diumumin di kampanye: 'Pilih saya, Anda akan dapat bonus langsung tanpa undian!'"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun