Di suatu pagi yang tenang, warung kopi Pak Kumis menjadi saksi bisu dari pertemuan mingguan Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Topik yang mereka bahas kali ini lebih panas dari kopi tubruk yang baru disajikan: 'serangan fajar' dari tim pemenangan calon dalam Pilkada.
Kobar, yang biasanya sarkastis, memulai diskusi dengan gaya khasnya. "Lo tau gak, gue sempet denger kabar kalau tim pemenangan calon udah mulai gerilya. Serangan fajar udah jadi strategi wajib, katanya."
Kahar mengernyitkan dahi, mencoba mencerna. "Serangan fajar? Itu kan strategi lama. Masa iya masih efektif?"
Badu, yang memang suka lelucon, langsung tertawa. "Efektif banget, Kah! Sekarang malah dikombinasiin sama teknologi. Serangan fajar level digital. Lo bangun pagi-pagi, buka HP, dapet transferan saldo e-wallet! Gak perlu amplop fisik lagi."
Rijal, yang biasanya tenang dan bijak, mencoba memberikan pandangan yang lebih seimbang. "Tapi lo jangan salah. Banyak juga yang udah tau dan sadar, kalo serangan fajar itu cuma cara tim pemenangan buat beli suara. Niatnya cuma buat menang, bukan buat benerin nasib rakyat."
Kobar mendengus, sembari menyeruput kopinya. "Ah, Ris, jangan terlalu idealis. Lo pikir rakyat peduli soal niat baik? Yang penting dapet dulu, urusan nanti belakangan. Mereka udah paham banget, janji paslon itu kayak mimpi di siang bolong, gak akan kejadian."
Badu, masih dalam mode bercanda, melanjutkan dengan gaya narator televisi. "Breaking news! Rakyat siap menyambut serangan fajar, dengan tangan terbuka dan dompet kosong! Siapa yang bakal menang kali ini, tim amplop fisik atau tim e-wallet?"
Tawa mereka pecah, tapi Kahar yang biasanya lebih serius, mencoba mengembalikan diskusi ke jalur yang lebih serius. "Tapi lo gak merasa ini udah keterlaluan? Masa demokrasi kita diukur dari siapa yang paling banyak ngasih uang pas fajar? Ini udah gak sehat, bro."
Rijal mengangguk setuju. "Bener. Harusnya pemilihan itu soal program, soal visi, bukan soal siapa yang paling banyak kasih amplop. Rakyat seharusnya milih calon yang punya kapasitas buat benerin kondisi."
Kobar menepuk bahu Rijal. "Ris, lo terlalu mulia buat politik Indonesia. Lo pikir rakyat masih mikir soal visi-misi? Mereka udah capek denger janji-janji kosong. Makanya serangan fajar masih laku. Buat mereka, ini kesempatan buat dapet keuntungan instan."
Badu, yang selalu pandai memancing tawa, mengangkat cangkir kopinya. "Kalau begitu, gue usul, di Pilkada berikutnya, dibuat aja aturan resmi. Setiap calon harus ngasih amplop ke rakyat. Biar semua kebagian rata. Udah gitu, sekalian aja diumumin di kampanye: 'Pilih saya, Anda akan dapat bonus langsung tanpa undian!'"
Tawa kembali pecah. Kahar, yang selalu terlihat serius, bahkan tidak bisa menahan diri kali ini. "Badu, lo ini emang ada-ada aja! Tapi ya, kalo gitu, mending sekalian ada aplikasi 'Serangan Fajar Official'. Setiap pemilih bisa dapet saldo langsung begitu coblos. Gak perlu repot-repot antri buat amplop."
Rijal menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa. "Lucu sih, tapi miris juga. Kalau begini terus, demokrasi kita bakal jadi ajang pasar bebas. Suara rakyat diukur dari nominal amplop."
Kobar, yang biasanya paling sinis, tiba-tiba melontarkan ide gila. "Gimana kalo kita bikin 'startup' baru: aplikasi serangan fajar. Nanti kita kerjasama sama tim sukses. Setiap pengguna yang daftar dapet poin, yang bisa dicairin jadi uang kalo udah milih. Gak perlu lagi serangan fajar keliling kampung. Semua tinggal klik!"
Tawa mereka semakin riuh mendengar ide gila Kobar. Badu sampai terbatuk karena terlalu banyak tertawa. "Kobar, lo jenius! Ntar bisa juga ada fitur notifikasi: 'Fajar menyingsing, siap-siap dapet saldo dari tim sukses!'"
Namun, di balik tawa mereka, tersirat keprihatinan terhadap kondisi politik yang terus terjebak dalam pola lama. Meski mereka bisa tertawa tentang serangan fajar, di hati kecil mereka, ada kesadaran bahwa politik seharusnya lebih dari sekadar uang dan janji kosong.
Rijal, yang selalu bijak, menutup diskusi dengan kata-kata penuh harap. "Semoga, bro, suatu hari nanti, kita bisa lihat pemilihan yang bersih. Di mana rakyat milih bukan karena amplop atau serangan fajar, tapi karena percaya sama pemimpin yang benar-benar mau kerja."
Kobar mengangkat cangkir kopinya. "Amin, Ris. Tapi sampai hari itu datang, mari kita nikmati dulu serangan fajar ala tim sukses."
Dan mereka pun kembali tertawa, sambil menyeruput kopi, menikmati pagi yang tak kalah hangat dari obrolan politik yang kerap menggelitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H