Tawa kembali pecah. Kahar, yang selalu terlihat serius, bahkan tidak bisa menahan diri kali ini. "Badu, lo ini emang ada-ada aja! Tapi ya, kalo gitu, mending sekalian ada aplikasi 'Serangan Fajar Official'. Setiap pemilih bisa dapet saldo langsung begitu coblos. Gak perlu repot-repot antri buat amplop."
Rijal menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa. "Lucu sih, tapi miris juga. Kalau begini terus, demokrasi kita bakal jadi ajang pasar bebas. Suara rakyat diukur dari nominal amplop."
Kobar, yang biasanya paling sinis, tiba-tiba melontarkan ide gila. "Gimana kalo kita bikin 'startup' baru: aplikasi serangan fajar. Nanti kita kerjasama sama tim sukses. Setiap pengguna yang daftar dapet poin, yang bisa dicairin jadi uang kalo udah milih. Gak perlu lagi serangan fajar keliling kampung. Semua tinggal klik!"
Tawa mereka semakin riuh mendengar ide gila Kobar. Badu sampai terbatuk karena terlalu banyak tertawa. "Kobar, lo jenius! Ntar bisa juga ada fitur notifikasi: 'Fajar menyingsing, siap-siap dapet saldo dari tim sukses!'"
Namun, di balik tawa mereka, tersirat keprihatinan terhadap kondisi politik yang terus terjebak dalam pola lama. Meski mereka bisa tertawa tentang serangan fajar, di hati kecil mereka, ada kesadaran bahwa politik seharusnya lebih dari sekadar uang dan janji kosong.
Rijal, yang selalu bijak, menutup diskusi dengan kata-kata penuh harap. "Semoga, bro, suatu hari nanti, kita bisa lihat pemilihan yang bersih. Di mana rakyat milih bukan karena amplop atau serangan fajar, tapi karena percaya sama pemimpin yang benar-benar mau kerja."
Kobar mengangkat cangkir kopinya. "Amin, Ris. Tapi sampai hari itu datang, mari kita nikmati dulu serangan fajar ala tim sukses."
Dan mereka pun kembali tertawa, sambil menyeruput kopi, menikmati pagi yang tak kalah hangat dari obrolan politik yang kerap menggelitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H