Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Program Makan Gratis

22 Oktober 2024   12:20 Diperbarui: 22 Oktober 2024   12:41 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di pojok warung kopi Pak Udin yang selalu ramai, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal duduk melingkar, seperti biasa, sambil memesan kopi hitam dan gorengan. Kali ini, obrolan mereka tidak jauh dari berita yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial: program makan gratis dari pemerintah. Program yang katanya akan mengentaskan kemiskinan dan memberikan kesejahteraan untuk seluruh rakyat.

Kobar, sang pengamat politik dadakan, membuka percakapan sambil menatap layar ponselnya dengan cemberut. "Bro, lo pada denger nggak soal program makan gratis dari pemerintah? Katanya, mulai minggu depan, semua orang bisa makan gratis di warung-warung yang terdaftar."

Kahar, yang biasanya suka antusias dengan program-program pemerintah, langsung menanggapi dengan mata berbinar. "Iya, Bor! Gua denger tuh. Wah, keren banget, nggak? Bayangin aja, rakyat kecil bisa makan tanpa harus mikirin duit. Ini sih solusi buat kemiskinan!"

Badu, yang selalu skeptis, hanya mendengus. "Hahaha! Solusi buat kemiskinan katanya? Bro, lo beneran percaya sama program kayak gini? Ini program kayak gitu ujung-ujungnya cuma jadi bahan promosi doang. Bentar lagi pasti ada syarat ini-itu yang ribet, dan akhirnya yang bisa makan gratis cuma segelintir orang."

Rijal, yang biasanya lebih netral, menambahkan dengan bijak. "Yah, tapi paling nggak ada usaha buat membantu masyarakat, kan? Maksudnya, kalau memang bisa dijalankan dengan baik, program makan gratis ini bisa membantu banyak orang."

Kobar langsung nyamber dengan nada sarkasme. "Iya, kalau bisa dijalankan dengan baik. Tapi lo tau sendiri, kan? Kalau urusan pemerintah, sesuatu yang 'baik' itu biasanya cuma bertahan sampai tahap wacana. Begitu dijalankan, langsung amburadul."

Kahar, yang masih ingin bertahan pada harapannya, tetap mencoba berpikir positif. "Gue optimis, Bor. Gue yakin pemerintah kali ini beneran serius. Nggak mungkin mereka bikin program besar kayak gini cuma buat pencitraan doang."

Badu tersenyum sinis sambil menyesap kopinya. "Serius? Bro, lo pernah denger cerita soal program rumah murah yang akhirnya malah nggak jadi murah? Atau bantuan langsung tunai yang katanya buat rakyat, tapi habis dipotong sana-sini? Program makan gratis ini bakal kayak gitu juga, deh. Awalnya gratis, ujung-ujungnya bayar juga."

Rijal yang mencoba menengahi, menggeleng pelan. "Tapi setidaknya, ini program yang masih bisa dimanfaatkan. Siapa tahu memang bisa meringankan beban rakyat, terutama yang benar-benar membutuhkan. Gue liat warung Pak Udin juga udah daftar jadi salah satu tempat makan gratis."

Pak Udin yang kebetulan mendengar namanya disebut langsung mendekat ke meja mereka dengan senyum ramah. "Iya, bener, warung gue terdaftar. Tapi ya begitulah, ada syarat-syaratnya juga, kayak cuma berlaku di jam tertentu, porsi makanannya juga dibatasi. Terus, buat daftar aja, mesti isi formulir panjang banget. Lo tau sendiri, kan, kalau urusan sama pemerintah ribetnya kayak apa."

Kobar mengangguk setuju sambil memutar matanya. "Nah, itu dia masalahnya, Pak Udin. Di atas kertas, programnya bagus banget. Tapi eksekusinya? Ya kayak biasa, penuh birokrasi. Dan lo tau, yang bakal beneran bisa makan gratis itu ya orang-orang yang pinter ngakal-ngakalin aturan."

Badu tertawa keras. "Hahaha! Bener banget! Gue udah bisa ngebayangin, besok bakal ada influencer yang ikut makan gratis di warung ini sambil live streaming, terus dapet sponsor dari brand mie instan."

Kahar mulai terlihat ragu, tapi masih berusaha mempertahankan harapannya. "Tapi, kan ini buat kebaikan rakyat. Harusnya kita dukung dong. Mungkin kita bisa bantu sosialisasiin biar orang-orang yang benar-benar butuh bisa dapet manfaatnya."

Kobar menepuk pundak Kahar dengan senyum kecil. "Kahar, gue seneng lo masih optimis. Tapi inget, bro, kadang kita nggak bisa ngandelin niat baik aja. Sistemnya harus dibenerin dulu. Kalau nggak, ya yang kenyang malah orang-orang yang udah kaya raya."

Pak Udin, yang masih berdiri di dekat meja, mengangguk sambil tersenyum pahit. "Iya, gue setuju sama Kobar. Banyak program pemerintah yang niatnya bagus, tapi kenyataannya susah dijalanin. Apalagi kalau ada yang ngambil kesempatan di tengah jalan."

Rijal yang biasanya kalem, kini ikut menghela napas panjang. "Mungkin kita nggak bisa berharap terlalu banyak. Tapi setidaknya, kalau memang bisa dijalankan dengan baik, program ini bisa jadi harapan buat mereka yang benar-benar kesusahan."

Kahar mengangguk pelan, kali ini mulai menerima kenyataan. "Iya, gue ngerti maksud kalian. Gue cuma pengen percaya kalau masih ada yang peduli sama rakyat kecil."

Badu menutup percakapan dengan tawa kecil yang penuh sindiran. "Peduli, sih, peduli. Tapi ya kadang pedulinya cuma buat dapet simpati di media. Begitu sorotan kamera mati, yang peduli paling cuma kita-kita di warung ini."

Pak Udin tersenyum pahit, lalu berjalan kembali ke dapurnya. Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal kembali menyeruput kopi mereka, sementara di luar sana, dunia politik terus berputar dengan segala program-programnya yang penuh harapan tapi juga penuh tanda tanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun