Badu tertawa keras. "Hahaha! Bener banget! Gue udah bisa ngebayangin, besok bakal ada influencer yang ikut makan gratis di warung ini sambil live streaming, terus dapet sponsor dari brand mie instan."
Kahar mulai terlihat ragu, tapi masih berusaha mempertahankan harapannya. "Tapi, kan ini buat kebaikan rakyat. Harusnya kita dukung dong. Mungkin kita bisa bantu sosialisasiin biar orang-orang yang benar-benar butuh bisa dapet manfaatnya."
Kobar menepuk pundak Kahar dengan senyum kecil. "Kahar, gue seneng lo masih optimis. Tapi inget, bro, kadang kita nggak bisa ngandelin niat baik aja. Sistemnya harus dibenerin dulu. Kalau nggak, ya yang kenyang malah orang-orang yang udah kaya raya."
Pak Udin, yang masih berdiri di dekat meja, mengangguk sambil tersenyum pahit. "Iya, gue setuju sama Kobar. Banyak program pemerintah yang niatnya bagus, tapi kenyataannya susah dijalanin. Apalagi kalau ada yang ngambil kesempatan di tengah jalan."
Rijal yang biasanya kalem, kini ikut menghela napas panjang. "Mungkin kita nggak bisa berharap terlalu banyak. Tapi setidaknya, kalau memang bisa dijalankan dengan baik, program ini bisa jadi harapan buat mereka yang benar-benar kesusahan."
Kahar mengangguk pelan, kali ini mulai menerima kenyataan. "Iya, gue ngerti maksud kalian. Gue cuma pengen percaya kalau masih ada yang peduli sama rakyat kecil."
Badu menutup percakapan dengan tawa kecil yang penuh sindiran. "Peduli, sih, peduli. Tapi ya kadang pedulinya cuma buat dapet simpati di media. Begitu sorotan kamera mati, yang peduli paling cuma kita-kita di warung ini."
Pak Udin tersenyum pahit, lalu berjalan kembali ke dapurnya. Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal kembali menyeruput kopi mereka, sementara di luar sana, dunia politik terus berputar dengan segala program-programnya yang penuh harapan tapi juga penuh tanda tanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H