Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perlukah Kurikulum Selalu Berubah?

21 Oktober 2024   21:05 Diperbarui: 21 Oktober 2024   21:15 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali posisi Menteri Pendidikan berganti, kita seakan-akan bersiap untuk menerima kurikulum baru. Seolah-olah pendidikan di Indonesia hanyalah sekedar eksperimen di tangan para pemimpin baru, yang ingin meninggalkan jejak mereka dengan kebijakan baru. Hal ini mengakibatkan pendidikan nasional selalu berada dalam keadaan "darurat penyesuaian". Sebuah fenomena yang tak jarang membuat guru, siswa, dan bahkan orang tua bingung dan kelelahan.

Mengapa selalu ada kecenderungan untuk mengganti kurikulum setiap kali pucuk pimpinan berubah? Apakah benar bahwa perubahan ini adalah solusi mutlak atas masalah pendidikan kita, atau justru menambah beban dan membuat sistem pendidikan semakin tidak stabil?

Perubahan yang Tak Pernah Tuntas

Bicara soal kurikulum, tampaknya kita sudah melewati berbagai bentuk kurikulum yang selalu berubah dalam beberapa dekade terakhir. Dari Kurikulum 1984 yang menekankan pada pendekatan proses, Kurikulum 1994 dengan fokus pada mata pelajaran, hingga Kurikulum 2013 yang mengintegrasikan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Di antara semua perubahan ini, selalu ada satu kesamaan: kebingungan di lapangan.

Ketika kurikulum berganti, tak hanya guru yang harus belajar ulang sistem pengajaran, tetapi siswa juga menjadi korban. Mereka harus menyesuaikan diri dengan metode baru yang kadang tidak mereka pahami sepenuhnya. Misalnya, ketika peralihan dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ke Kurikulum 2013 terjadi, guru-guru harus beradaptasi dengan modul-modul baru yang kadang masih belum jelas dan cenderung menambah beban administrasi.

Lebih buruknya lagi, perubahan kurikulum seringkali tidak diikuti dengan pelatihan yang memadai. Guru-guru harus berjuang sendiri untuk menafsirkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh kurikulum baru. Akibatnya, praktik pengajaran di kelas seringkali menjadi tidak seragam, bahkan antara sekolah di kota besar dengan sekolah di pedalaman.

Kepentingan Politik dan Ideologi Pendidikan

Di balik perubahan kurikulum ini, ada faktor lain yang tak kalah penting: kepentingan politik dan ideologi. Setiap menteri datang dengan visi mereka sendiri, yang sering kali dipengaruhi oleh pandangan politik dan ideologi yang mereka anut. Misalnya, kurikulum yang menekankan pada "pendidikan karakter" atau "pendidikan digital" sering kali merupakan refleksi dari tren global atau isu-isu yang sedang hangat dibicarakan di tingkat nasional.

Namun, pertanyaannya, apakah kurikulum baru selalu relevan dengan kebutuhan riil siswa? Ataukah hanya sekadar bentuk lain dari pencitraan politik? Pendidikan semestinya berfokus pada kemajuan jangka panjang bangsa, bukan sekadar agenda jangka pendek dari pemerintahan yang sedang berkuasa.

Sebagai contoh, di beberapa negara maju, kurikulum pendidikan lebih bersifat stabil dan fleksibel. Mereka memprioritaskan kualitas pendidikan melalui peningkatan kapasitas guru dan kesejahteraan siswa, bukan dengan selalu mengubah sistem pengajaran. Jepang, Finlandia, dan Korea Selatan misalnya, tidak mengubah kurikulum mereka secara drastis setiap kali menteri baru diangkat. Sebaliknya, mereka fokus pada pengembangan kompetensi guru dan memperkuat fondasi pendidikan yang sudah ada.

Pendidikan Butuh Kontinuitas, Bukan Revolusi

Pendidikan adalah proses jangka panjang, bukan proses instan yang hasilnya dapat dilihat dalam hitungan bulan atau tahun. Sebuah kurikulum yang efektif membutuhkan waktu untuk dievaluasi, diperbaiki, dan diterapkan dengan benar. Pergantian kurikulum yang terlalu sering justru mengganggu proses ini, membuat para pelaku pendidikan kesulitan untuk beradaptasi secara menyeluruh.

Lebih penting lagi, pendidikan harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa harus merombak sistem secara total. Teknologi, misalnya, sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, tetapi pengintegrasiannya ke dalam sistem pendidikan harus dilakukan dengan bijak, dan tidak hanya sekadar ikut tren.

Pendekatan yang lebih ideal adalah memperkuat dan memperbaiki sistem yang ada, bukan merombaknya dari akar setiap kali ada pemimpin baru. Pelatihan dan pengembangan guru secara berkelanjutan, peningkatan fasilitas pendidikan, serta keselarasan antara kurikulum dengan kondisi sosial-budaya masyarakat adalah hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan perubahan kurikulum semata.

Menata Ulang Arah Pendidikan Nasional

Daripada terus-menerus terjebak dalam siklus "ganti menteri, ganti kurikulum," pendidikan nasional kita memerlukan visi jangka panjang yang jelas dan berkesinambungan. Hal ini berarti menciptakan sebuah kebijakan pendidikan yang tidak tergantung pada siapa yang memimpin, tetapi berdasarkan konsensus nasional yang berorientasi pada kepentingan siswa dan bangsa di masa depan.

Visi pendidikan harus bersifat inklusif, memperhatikan kesetaraan akses antara daerah perkotaan dan pedalaman, serta memastikan bahwa pendidikan yang diberikan relevan dengan kebutuhan zaman dan dunia kerja. Dalam hal ini, pendidikan vokasi dan keterampilan hidup (life skills) menjadi sangat krusial, terutama di era di mana ketidakpastian pasar kerja semakin tinggi.

Dengan demikian, kita membutuhkan kebijakan pendidikan yang lebih adaptif dan bertahap, bukan kebijakan yang berubah-ubah setiap kali ada pergantian kursi di kementerian. Konsistensi dan kontinuitas dalam pendidikan jauh lebih berharga daripada sekadar perubahan yang berlandaskan kepentingan politik jangka pendek.

Pendidikan adalah investasi terbesar bangsa ini. Setiap kali kita mengubah kurikulum tanpa evaluasi yang matang, kita tidak hanya mengorbankan waktu, tenaga, dan sumber daya, tetapi juga masa depan generasi muda. Sudah saatnya kita berhenti melihat pendidikan sebagai arena eksperimen bagi setiap menteri baru dan mulai membangun sistem yang berkelanjutan, stabil, dan berorientasi pada kebutuhan masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun